Rumah?
Ayra tidak memiliki rumah untuk benar-benar pulang. Rumah yang seharusnya menjadi pelukan hangat justru terasa seperti dinding-dinding dingin yang membelenggunya. Tempat yang semestinya menjadi surga perlindungan malah berubah menjadi neraka sunyi yang mengikis jiwanya.
Siapa sangka, rumah yang katanya tempat terbaik untuk pulang, justru menjadi penjara tanpa jeruji, tempat di mana harapan perlahan sekarat.
Nyatanya, rumah tidak selalu menjadi tempat ternyaman. Kadang, ia lebih mirip badai yang mencabik-cabik hati tanpa belas kasihan.
Ayra harus menanggung luka batin yang menganga, mentalnya hancur seperti kaca yang dihempas ke lantai, dan fisiknya terkikis habis, seakan angin menggempurnya tanpa ampun. Baginya, rumah bukan lagi tempat berteduh, melainkan medan perang di mana keadilan tak pernah berpihak, dan rumah adalah tangan tak terlihat yang paling kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MALAM YANG PANJANG
HAPPY READING
“Lo malam ini mulai masuk kerjakan?” Tanya Novia sembari menggandeng Ayra yang berjalan di antara dia dan juga Serin.
Ayra tersenyum tipis dan mengangguk cepat. “Iya, tapi aku pulang ke rumah dulu. Setelah pekerjaan rumah beres, baru deh aku berangkat.”
“Lo jangan terlalu capek Ay, akhir-akhir ini lo lebih sering pingsan dan mimisan. Gue sadar, wajah lo setiap harinya itu pucat mulu.” Serin tidak melihat Ayra sama sekali.
“Iya, ngak janji juga.” Ayra meringis saat keduanya berhenti tiba-tiba dan berdecak pelan dengan jawabannya.
“Isss, gue culik juga lo Ay.”
“Culik benaran boleh ngak si Rin?!”
Ayra kembali menggandeng keduanya, terkekeh pelan mendengar keduanya yang hendak menculiknya. Jika itu memang terjadi, apakah keluaranya akan panik mencarinya? Keluarganya akan khawatir?
Sepertinya tidak, dia tidak boleh berharap lebih.
“E-eh, KAK TIO!”
“Buset Ayra, suara lo bisa pelan-pelan aja gak, si!” Serin menggeleng pelan melihat Ayra yang hanya tersenyum kepadanya.
“Udah sehata lagi nih anak.” Novia ikut tersenyum menatap Ayra.
Posisi ketiganya dekat dengan parkiran siswa khusus kendaraan roda dua, di sana ada Tio yang sepertinya hendak mengambil motornya bersama teman-temannya. Ayra ingin berterimakasih kepada kakak tingkatnya itu karena telah mebantunya.
Tio tersenyum tipis, mengurungkan niatnya saat mendengar suara yang familiar. Benar saja, di sana ada Ayra dan kedua sahabatnya. Tak membuang waktu, dia segera menghampiri Ayra.
“Hai, lo udah baikan?” Sapa Tio dengan senyum tipis dengan wajah terdapat luka lebam hasil adu jotosnya dengan Bagas tadi.
“Hai, kak Tio,” sapa Novia dengan ramah. Senyum gadis itu mengembang sempurna melihat Tio dengan rambut
acak-acakan dan seragam yang tidak lagi rapih.
“Hai kak,” sapa Serin dengan senyum khasnya.
Tio mengangguk dan tersenyum membalas keduanya, tetapi perhatiannya kembali pada sosok gadis pendek didepannya ini yang juga tidak pernah melunturkan senyumnya, hingga membuatnya sedikit salah tingkah mungkin.
“Aku udah baik kak, aku mau ngucapin terimakasih karena udah bawah aku ke uks tadi.” Ayra mengucapkan itu dengan hati yang tulus.
Tio mengangguk. “Sama-sama,” balasnya. “Lo benaran udah ngak apa-apa? Wajah lo masih kelihatan pucat,” lanjutnya. Ayra memegang kedua pipinya, lalu tersenyum.
“Tio, gue balik duluan ya!”
Tio mengangguk saat salah satu temannya menyapanya. “Yoi, hati-hati lo.”
“Lain kali, jangan paksa ikut upacara kalau lo kurang sehat. Lo bisa izin ngak ikut, poin lo jua tetap aman kok.” Tio menatap Ayra dalam.
Ayra hanya mengangguk. “Iya kak, maaf ya, aku udah repotin kak Tio.”
“Udah, gue suka lo ngerepotin gue, hahah.”
Ayra, Serin, dan Novia saling melirik. Saling berkomunikasi lewat tatapan mereka, ini untuk pertama kalinya mereka melihat Tio si musuh Bagas berwajah tampan ini tertawa sedekat ini.
“Lupain,” katanya dengan wajah yang kembali biasa.
“Intinya, lo sakit jangan dipaksain. Istirahat, bukan malah ikut panas-panasan.”
“I-ya kak.”
“Um, kak Tio. Kayaknya kita pamit duluan, jemputan kita udah datang tuh.” Serin melihat supir sang ayah yang baru.
“Sekali lagi, makasih ya kak.”
Tak jauh dari keempatnya, mata tajam penuh dengan kilatan amarah itu menatap kedekatan mereka. Kedua tanganya kembali terkepal kuat, memukul stir mobilnya dengan kasar.
Awas aja lo cewek sialan.
&&&
Setelah kembali dari sekolah, gadis berambut panjang itu sibuk mengurus rumah dengan seragam sekolah yang masih melekat ditubuh kecilnya. Dia tidak punya banyak waktu, jadi segala pekerjaan rumah dia kerjakan dengan tergesa-gesa.
Dari membereskan lantai satu, mencuci pakaian, mengangkat jemuran, mencuci piring bekas keluarganya, dan menyiapkan makan malam. Semua dia kerjakan dengan tergesa-gesa.
“Hari pertama aku masuk kerja ngak boleh telat.”
“Aku harus cepat.”
16;23.
Ayra selesai membereskan ruang tamu, kemudian mencuci pakaian semua penghuni rumah besar ini yang sangat banyak. Untung saja dia bisa menggunakan mesin cuci, jika tidak, maka mampus lah tangan kecilnya ini.
Agista dan Vynessa hanya menatap Ayra, kedua wanita berbeda generasi itu cuek dan fokus pada kegiatan mereka.
“Anak itu terlihat senang,” ucap Agista.
“Biarkan saja,” balas Vynessa.
16;48.
Ayra menjemur pakaiannya, lalu mengangkat jemuran yang semalam dia cuci. Segalanya harus cepat, dia mengejar waktu yang terus berjalan.
“Dia kenapa terlihat sangat buru-buru?” Kardi dapat melihat di atas sana Ayra terburu-buru menjemur dan mengangkat jemuran yang kering.
“Aduh neng Ayra,” lirihnya. Dia bisa melihat Ayra, karena posisinya ada di belakang rumah. Sangat jelas melihat rooftop lantai dua ini yang tidak memiliki pembatas tinggi.
16;55.
Ayra saat ini berada di dapur, mencuci piring yang kotor, seteah selesai. Gadis itu kembali memasak, seadanya saja karena ternyata bahan di dapur telah menipis. Dia akan belanja kebutuhan dapur jika Vynessa memberinya uang belanja bulanan.
“Kenapa dia?” Maverick menatap heran Ayra yang mengerjakan pekerjaan dapur dengan cepat.
“Dasar.”
17;25.
Semua pekerjaannya selesai. Gadis itu kembali ke kamarnya dengan berlari kecil, dia mandi dan bersiap untuk masuk kerja. Hari pertama, membuatnya gugup dan bersemangat juga. Senyum kecil dibibirnya tidak hilang walau lelah membereskan semuanya, dia akan sedikit memiliki pengalaman mencari uang.
“Nyonya,” panggil Ayra dengan pelan. Dia telah rapi dengan pakaian yang pas untuknya.
Vynessa menatap Ayra. “Mau kemana kamu?” Tanyanya dengan wajah serius.
Ayra menunduk, memegang erat tali sling bag kecil yang berwarna cokelat muda. Gadis itu terlihat cantik dengan outfit kaos putih polos, dengan bawahan rok plisket berwarna sage green, dan sneakers putih. Ayra terlihat sangat cantik, walau outfitnya sederhana.
“A-ku mau izin keluar nyonya.” Ayra tidak ingi mengatakan jika dia izin untuk bekerja. Sudah dapat dipastikan dia tidak akan mendapatkan izin jika mengatakan yang sebenarnya.
Vynessa melihat sekelilingnya, rumah telah bersih. “Makan malam kami sudah siap?” Tanyanya lagi tanpa melihat Ayra.
Ayra mengangguk cepat. “Sudah nyonya.”
“Pergi dan jangan pulang telat.”
&&&
18;05. Kafe Cozy Bean.
Ayra menghela napas panjang, tersenyum menatap bangunan di depannya. “Semoga hari pertama ini ngak ada kesalahan.”
Langkah kecilnya membawanya masuk ke dalam, saat masuk ke dalam Ayra mendapati suasana kafe yang tidak begitu ramai.
“Karyawan baru ya?”
Ayra melihat seorang wanita yang dia tebak seumuran dengan abangnya yaitu Rykar, dengan senyum ramahnya, dia mengangguk.
“Iya kak, aku karyawan baru.”
“Jangan canggung begitu,” serunya. “Kenalin, nama aku Lili. Aku yang akan bantu kamu selama kerja di sini, amanah dari pak Bima.”
Ayra mengangguk lagi. “E-h iya kak, salam kenal. Aku Ayra,” balasnya.
“Nah, karena yang lainnya udah pada pulang karena pergantian sif. Sebelum aku ajak kamu kenalan, sekarang kamu ganti pakain dulu di belakang.”
“Baik kak Lili.”
&&&
“Kapan kembali ke Kanada? Sudah betah di sini?” Tanya Bima kepada Rykar yang duduk di sofa ruang kerjanya.
“Tidak tahu,” jawabnya dengan cuek.
“Tidak tahu, berarti kau sudah betah di sini tua muda Rykar.” Rio menepuk-nepuk lututnya lalu bangkit dari sofa.
Rykar menatap Rio. “Bukan betah, urusanku di sini belum selesai.”
“Iya deh, si paling sibuk.”
“Diam Rio.”
“Bisa kita berbincang di bawah saja? Aku haus, duduk berjam-jam di sini tapi kau sama sekali tidak menawari minum.”
“Baiklah-baiklah. Ayo, kita ke bawah saja.”
“Hum.”
Bima, Rio, dan Rykar, mereka menjadi pusat perhatian pengunjung kafe karena ketampanan mereka dan kewibawaan mereka ketika berjalan beriringan.
“Loh, itu bukannya Ayra? Karyawan barumu, ya?” Rio dengan jelas melihat Ayra yang sibuk mengantarkan pesanan pengunjug kafe.
Bima mengangguk. “Benar, hari ini dia mulai bekerja.”
Rykar terdiam, wajahnya kian datar saat melihat adik bungsunya berada di kafe sahabatnya. Kedua tangannya di masukkan kedalam sakunya, apakah anak itu bekerja di sini? Untuk apa? Bukankah Syan memberinya uang bulanan, jadi kenapa dia bekerja?
“Paruh waktu?” Tanya Rykar kepada Bima.
“Ya, aku kasihan kepadanya. Jadi, aku menerimanya.”
Ayra masih sibuk melayani pelanggannya, hingga tidak menyadari Rykar terus saja menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Kasihan?”
SEE YOU DI PART SELANJUTNYA👋👋👋
thor . . bantu dukung karya chat story ku ya " PUTRI KESAYANGAN RAJA MAFIA "