🥈JUARA 2 YAAW S2 2024 🏆
Perceraian, selalu meninggalkan goresan luka, itulah yang Hilda rasakan ketika Aldy memilih mengakhiri bahtera mereka, dengan alasan tak pernah ada cinta di hatinya, dan demi sang wanita dari masa lalunya yang kini berstatus janda.
Kini, setelah 7 tahun berpisah, Aldy kembali di pertemukan dengan mantan istrinya, dalam sebuah tragedi kecelakaan.
Lantas, apakah hati Aldy akan goyah ketika kini Hilda sudah berbahagia dengan keluarga baru nya?
Dan, apakah Aldy akan merelakan begitu saja, darah dagingnya memanggil pria lain dengan sebutan "Ayah"?
Atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#2
#2
...WARNING!!...
...Sekedar informasi bagi pembaca baru yang belum tahu, Novel ini di adaptasi dari cerpen yang pernah othor tulis, berjudul "Ketika Aku Bertemu Mantan Istriku". Tentunya di novel ini akan ada beberapa perubahan, demi menyesuaikan isi cerita, tapi tak akan jauh berubah dari cerpen, jasi secara garis besar akan tetap sama jalan ceritanya....
...Bagi pembaca baru yang penasaran dengan cerpennya, silahkan mampir ke profile Othor yess....
...Gumawoooo and Happy Reading 🥳🥳🥳...
...🌸🌸🌸...
Aldy menatap nanar tubuh Hilda yang meringkuk di pembaringan, pastilah Hilda tertidur, setelah lelah menumpahkan tangis sedihnya.
Hanya berbekal insting alaminya, Aldy berbaring di sisi tubuh ringkih tersebut, kemudian memeluknya dengan erat, sepenuh hati ia berterima kasih, atas pengabdian tulus Hilda selama menjadi istrinya. Pelukan Aldy semakin erat manakala tanpa sadar, Hilda mencari posisi ternyamannya.
Tubuh Aldy bergetar hebat, seperti ada tumpukan rindu yang tengah merasuki kalbunya, membuatnya lupa bahwa Ia ingin menyudahi bahteranya bersama Hilda.
Dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh tubuh keduanya, malam itu berbagai rasa melebur jadi satu. Hening berganti dengan kidung yang mengalun mesra, dawai menjadi musik pengiring yang indah, hingga tanpa terasa malam berlalu begitu saja. Menyisakan selaksa bahagia tanpa untaian kata.
Esok mungkin akan segera tiba, tinggallah sesak dan luka tak kasat mata, karena mahligai indah itu kini hanya berupa puing-puing berserakan, dan hari ini tak mungkin sama dengan hari esok.
“Maaf Mas, Bukan aku mengelak dari kewajiban ku sebagai istri, tapi rasanya tak etis jika kita masih melakukannya, bahkan mungkin menjadi dosa, karena yang Mas bayangkan adalah wajah dan tubuh wanita lain, aku harap kejadian semalam tak akan terulang lagi.” Getir memang, pahit dan pedih mencabik relung hatinya, tapi Hilda harus bangun, karena bahtera indahnya sudah diambang kehancuran.
Mendengarnya saja membuat hati Aldy terasa getir, bagaimana dengan Hilda yang setiap detik mencoba menguatkan hatinya, setiap saat menyemangati dirinya yang mulai rapuh.
Walau tuduhan Hilda tidaklah benar, tapi entah kenapa lidahnya kelu, tak sedikitpun ia berniat membantah tuduhan Hilda. Karena semalam ia begitu menikmati percintaan mereka, bahkan selama menjalani bahtera bersama Hilda, belum pernah ia merasakan pengalaman bercinta sehebat malam tadi.
Usai mengatakannya, Hilda berlalu pergi, membiarkan Aldy menikmati sarapan paginya seorang diri, memilih mengurung diri hingga Aldy pergi bekerja.
Hari-hari selanjutnya pun demikian, Hilda tetap mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa, memasak, membersihkan rumah, mencuci dan menunggu Aldy pulang kerja. Tapi ketika Aldy sudah kembali ke rumah, yang Hilda lakukan justru hanya berdiam diri di kamar berbeda, karena sejak kejadian malam itu Hilda menolak tidur satu kamar dengan Aldy.
.
.
Security komplek menghentikan mobil yang Aldy kemudikan, “selamat siang Pak?” Sapa security.
“Siang Pak, ada apa ya?” Tanya Aldy.
“Ada titipan kunci rumah dari Bu Hilda.”
Dengan perasaan tak menentu, Aldy menerima kunci rumah tersebut, berbagai pikiran buruk mulai berkecamuk, tapi Aldy berusaha menampiknya.
“Baik, terima kasih pak.” Ucap Aldy.
Sesudahnya Aldy memacu kencang mobilnya menuju rumah yang selama 4 tahun ini ia huni bersama Hilda, Aldy tergesa-gesa membuka pintu rumahnya, sunyi … sepi … dan dingin. Tak ada sapaan Hilda, tak ada senyuman Hilda, tak ada canda tawa lagi, sejak beberapa minggu yang lalu, usai Aldy menyatakan keinginan terpendam nya.
Aldy membuka pintu kamar yang selama beberapa minggu ini Hilda tempati, single bed dengan sprei putih bersih, kamar yang semula mereka rencanakan untuk kamar anak mereka kelak, yang hingga palu perceraian di ketuk, tak kunjung hadir.
Kini kamar itu telah kosong, seiring dengan kepergian Hilda tak ada satupun pakaian dan jejak Hilda yang tertinggal di sana.
Hanya sepucuk surat di atas meja yang menjadi penyambung lidah mereka.
.
.
Assalamualaikum, Mas …
Maaf Mas karena aku melanggar aturan syari'at, untuk tidak pergi dari rumahmu selama menjalani masa iddah. Sungguh setiap detik aku merasa seperti menjalani siksaan jika aku terus berada di rumah ini, melihatmu hari demi hari, tapi tak bisa lagi berinteraksi seperti dulu.
Maafkan aku yang egois Mas, tapi inilah aku yang serakah karena tak rela membagi dirimu, hati, serta cintamu, dengan wanita lain. Maka untuk terakhir kali aku minta ridho mu untuk melangkah keluar dari rumah yang selama ini kamu sediakan sebagai istana tempatku bernaung. Aku sudah menyingkirkan barang barang pribadiku, yang tersisa hanya perabot rumah, jadi Mas tak perlu repot menyingkirkan barang-barang pribadiku.
Aku pulang Mas, kembali ke kampung halamanku, mencoba kembali menata hidupku tanpa hadirmu. Aku harap Mas juga kembali menata kehidupan Mas, hapuslah aku dari pikiranmu, dan bahagialah menyongsong kehidupan baru Mas bersama Mbak Widya.
Terima kasih karena selama ini memberiku kasih sayang dan perhatian luar biasa, walau tanpa cinta.
Selamat tinggal mas.
Wassalamualaikum…
.
.
“Astaghfirullaah, Ya Allah … ampuni hamba …”
“Astaghfirullah…”
“Astaghfirullah…”
Entah berapa kali Aldy mengucap istighfar melalui lisannya, ia bersimpuh menangis seorang diri seperti anak kecil, baru lah ia tersadar ia sudah mendzolimi istri nya sendiri, membuat Hilda terpaksa menjanda, demi menuruti keinginannya menikahi mantan kekasihnya yang juga seorang janda.
Dengan sisa isak tangisnya, Aldy meremas surat tersebut dengan kedua tangannya, ia berlari keluar rumah kemudian kembali memacu kencang mobilnya, harap harap bisa menemukan wanita yang telah ia sakiti, memohon maafnya, jika Hilda bersedia, Aldy ingin merujuknya kembali.
Selama dalam perjalanan, tak terhitung berapa kali ia melakukan panggilan, entah panggilan tersebut tak terdengar atau sengaja hilda abaikan, Aldy tak tahu, “Angkat dong sayang, izinkan aku bicara, beri aku kesempatan kedua.” gumam nya gusar sepanjang perjalanan.
Sasaran pertama adalah stasiun, mungkin saja Hilda ke Jogja dengan menggunakan kereta api, namun hingga 30 menit Aldy mengelilingi stasiun, ponselnya pun tak henti-henti melakukan panggilan, namun wanita berparas Ayu itu tak juga Aldy temukan, berkali-kali pula Aldy memeriksa jadwal keberangkatan kereta yang melalui Jogja, tapi sosok yang ia harapkan tak juga berhasil ditemukan.
“Pergi kemana kamu sayang … kenapa tak mencoba memberi Mas kesempatan?” Lirih Aldy dengan langkah gontai meninggalkan stasiun. Kini barulah terasa betapa berat hatinya melepaskan Hilda, namun semua sia-sia, janjinya pada Widya sudah terucap, serta palu perceraiannya dengan Hilda sudah terlanjur di ketuk. Lara hatinya kini terbalut nestapa, demi ego sesaat ia salah melangkah, hingga berakibat salah dalam mengambil keputusan.
Setelah menghabiskan berjam-jam di jalanan, Aldy menghentikan mobilnya di bahu jalan, “haruskah aku menyusulmu ke Jogja?” Gumam Aldy ketika matanya terpejam lelah, usai mengarungi jalanan ibu kota.
Tak lagi berpikir panjang, Aldy kembali memutar kemudi mobilnya, tujuannya adalah pintu tol menuju Jawa Tengah, jika tak ada halangan berarti, besok subuh ia sudah tiba di kota tersebut.
Tetapi baru beberapa menit mobilnya berjalan, ponselnya berdering, ia segera menyambar ponselnya, “Hilda?” jawab Aldy tanpa melihat siapa peneleponnya,
“Hilda? … ini aku Mas!!” seru suara yang berada di ujung sana, nampak sekali dari nada suaranya, bahwa wanita itu tengah kesal, hanya gara-gara Aldy salah sebut nama.
“Oh Maaf … aku kira kamu Hilda.”
“Mau ngapain Mas cari-cari Hilda, bukankah kalian juga masih tinggal se rumah?”
Aldy menyugar rambutnya, ia bingung, hatinya bimbang, mendadak galau memikirkan apakah sudah benar keputusannya menceraikan Hilda? “Maaf Wie … aku …”
“Jangan di ulangi, kamu milikku mas, kalian sudah bercerai.” sembur Widya tanpa memberi kesempatan pada Aldy untuk menyelesaikan kalimatnya.
Aldy pun hanya bisa diam, enggan mengungkapkan apa yang ia alami hari ini, takut jika itu akan kembali memicu pertengkaran diantara mereka. Sudah cukup pertengkaran hebat mereka satu bulan yang lalu, penyebabnya adalah karena Widya tak terima dengan keputusan Aldy yang tetap ingin tinggal serumah dengan Hilda, walau status mereka sudah bercerai.
“Ada apa meneleponku Wie?” tanya Aldy pasrah.
Widya terdiam sesaat, “Gerd ku kambuh Mas, dan sekarang aku mejalani rawat inap di Rumah sakit.” Lapor Widya dengan suara manja seperti biasa. “Bisakah Mas menemaniku di Rumah sakit?”
andai..andai.. dan andai sj otakmu skrg