Apakah benar jika seorang gadis yang sangat cantik akan terus mendapatkan pujian dan disukai, dikagumi, serta disegani oleh banyak orang?
walaupun itu benar, apakah mungkin dia tidak memiliki satu pun orang yang membencinya?
Dan jika dia memiliki satu orang yang tidak suka dengan dirinya, apakah yang akan terjadi di masa depan nanti? apakah dia masih dapat tersenyum atau justru tidak dapat melakukan itu sama sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menerima rekomendasi
Happy reading guys :)
•••
Rabu, 08 Oktober 2025
Hari ini, cuaca terlihat sangat begitu cerah, matahari telah sampai di puncak tertinggi angkasa, memancarkan cahaya panas yang membuat bayang-bayang setiap makhluk dan benda menjadi mengecil karenanya.
Suasana koridor SMA Bima Sakti yang biasanya ramai, kini terlihat sangat sunyi. Para siswa-siswi tidak ada yang keluar dari dalam kelas karena suhu udara begitu panas.
Akan tetapi, hal itu tidak berpengaruh kepada Angelina dan Vanessa. Kedua gadis itu saat ini sedang tersenyum dan tertawa, menyusuri koridor yang sangat sepi.
“Eh, ini koridor tumben sepi banget? Biasanya juga rame,” ujar Angelina, baru saja menyadari tentang keadaan koridor yang sangat tidak biasa.
Vanessa mengamati sekitar, juga sedikit bingung dengan keadaan koridor saat ini. “Iya, ya, Ngel, biasanya juga rame. Apa mungkin efek panas, ya, makanya pada gak mau keluar?”
Angelina menjentikkan jari tangan kanan, menoleh, menatap wajah Vanessa. “Bisa jadi, Van. Ini gue juga udah mau keluar keringat. Ayo, cepet, kita ngadem di ruang OSIS.”
Angelina menggenggam tangan Vanessa, berlari, membawa sang sahabat menuju ruangan OSIS yang memang menjadi tujuan utama mereka berdua.
Sesampainya di depan ruang OSIS, Angelina berhenti berlari, menghirup udara sebanyak yang dirinya bisa, dengan masih terus menggenggam tangan Vanessa.
Vanessa pun juga melakukan hal yang sama. Ia memegangi dada kirinya, berusaha menetralkan kembali detak jantung yang sudah cukup tidak beraturan.
Pintu ruangan OSIS tiba-tiba saja terbuka, menampilkan sosok seorang gadis cantik dengan bando berwarna cokelat menghiasi kepala.
Gadis itu sedikit mundur beberapa langkah, saat melihat Angelina dan Vanessa berada di depan pintu.
“Loh, Angel, ngapain lu di depan pintu? Bukannya masuk aja ke dalam,” tanya gadis itu.
Angelina mengangkat kepala, melihat ke arah gadis yang sedang bertanya kepadanya. “Eh, Kak Gita. Bentar, Kak, gue sama Vanessa masih cape banget.”
Gita mengangguk paham, kedua matanya kini terkunci pada sosok Vanessa. “Kalian mau ketemu sama Renata?”
Angelina menghembuskan napas panjang, merasa lega karena asupan udara dan detak jantungnya telah kembali menjadi normal.
“Iya, Kak. Kak Rena ada di dalam, kan?” jawab dan tanya balik Angelina.
“Dia ada di dalam, kok, kalian masuk aja.” Gita berjalan keluar dari dalam ruangan, menepuk pelan pundak Angelina dan Vanessa dengan disertai sebuah senyuman manis. “Gue tunggu kabar baik dari kalian berdua.”
Setelah mengatakan itu, Gita melanjutkan jalannya, meninggalkan Angelina dan Vanessa yang sedang menatap ke arahnya.
“Senyuman kak Gita manis banget,” gumam Vanessa, kedua matanya melebar dan berbinar.
“Manisan senyuman lu, Van.” Angelina menepuk pelan pipi kanan Vanessa, saat mendengar gumaman dari sang sahabat. ”Udah, yuk, masuk. Di sini panas banget.”
Mendengar dan mendapatkan tepukan pelan dari Angelina, membuat Vanessa sontak menoleh ke arah gadis itu, lalu mengangguk, membiarkan Angelina membawanya masuk ke dalam ruangan OSIS.
Di dalam ruangan OSIS, kini terlihat Renata sedang sibuk dengan banyaknya map dokumen yang ada di atas meja. Gadis itu membuka satu per satu map dokumen, memindahkan semua isinya ke dalam laptop miliknya.
Sesekali, Renata memijat kening, ketika mendapatkan sedikit kendala dalam mengerjakan tugasnya.
Renata mengambil handphone dari atas meja, mencari nomor milik Fajar, lalu menelepon cowok itu.
Setelah panggilan telepon terhubung, Renata mulai menanyakan beberapa kendala yang sedang dirinya hadapi kepada Fajar, berharap cowok itu dapat membantu menghilangkan rasa pusingnya.
Senyuman tipis tiba-tiba saja terukir di wajah Renata, saat Fajar dapat menjawab semua kendala yang sedang dirinya hadapi. Ia dengan cepat menaruh handphone di atas meja, mulai mengetikkan semua jawaban yang telah diperoleh dari Fajar.
“Akhirnya selesai.” Renata menghembuskan napas panjang, menyadarkan tubuh di sandaran kursi miliknya.
“Cape, Ren? Aku ke sana, ya, nganterin makanan buat kamu?” tanya Fajar, saat mendengar perkataan dari Renata.
Renata melihat ke arah handphone, mengambil benda pipih yang masih terhubung dengan Fajar itu, lalu kembali tersenyum tipis. “Gak usah, Jar. Makasih, ya, udah mau bantuin aku.”
“You're welcome, Ren. Ya, udah, kalo gitu aku matiin, ya, teleponnya.”
“Iya, Jar, matiin aja. Sekali lagi makasih, ya, udah bantuin aku.” Renata memperbaiki beberapa helai rambutnya yang sedikit berantakan.
“Iya, Renata. Oh, iya, nanti kabarin kalo urusan kamu udah selesai,” ujar Fajar, lalu mematikan sambungan telepon secara sepihak.
Renata melihat layar handphone seraya menggeleng-gelengkan kepala pelan dan tersenyum manis. “Belum juga gue jawab, udah dimatiin aja. Dasar kulkas rusak.”
Setelah Renata mengatakan itu, terlihat Angelina dan Vanessa yang sedang berjalan mendekati gadis itu. Angelina dan Vanessa sedikit mengerutkan kening bingung, melihat sang kakak kelas sedang tersenyum sendirian.
“Kak, are you okay?” tanya Angelina.
Renata sontak mengangkat kepala, melihat ke arah depan saat mendengar suara dari Angelina. “Eh, Angel sama Vanessa, kalian berdua udah datang?”
Angelina berjalan menuju salah satu meja, mengangkat kursi dan membawanya ke depan meja Renata.
“Belum, Kak. Gue sama Vanessa masih di kelas,” jawab Angelina, duduk di kursi, dan melipat kedua tangan di atas meja.
Mendengar jawaban Angelina, membuat Renata kembali tersenyum. Ia menoleh ke arah Vanessa yang juga sedang tersenyum, lalu menyuruh gadis itu untuk duduk di kursi milik Fajar.
Vanessa mengangguk, berjalan menuju kursi milik Fajar, dan mendudukkan tubuhnya.
“Jadi, gimana? Kalian udah ngambil keputusan soal rekomendasi yang gue tawarin kemarin?” Renata melihat Angelina dan Vanessa secara bergantian dengan sangat bersemangat.
Melihat semangat yang tertera di wajah Renata, Angelina dan Vanessa sontak saling pandang, tersenyum dengan sangat manis, kemudian mengangguk. “Iya, kami udah ngambil keputusan.”
“Serius! Terus, keputusan kalian berdua apa?!”
“Jadi, keputusan kami ….” Angelina dan Vanessa menggantungkan ucapan mereka, melihat raut wajah penuh harap milik Renata.
Renata menunggu, bersiap melakukan selebrasi jika Angelina dan Vanessa menerima rekomendasinya. Namun, sudah dua menit ia menunggu, tetapi belum juga terdengar jawaban dari kedua adik kelasnya itu, membuat semangat di dalam dirinya perlahan-lahan mulai hilang.
“Kalian mau nolak, ya?” tanya Renata, dengan bibir maju dan raut wajah yang berubah menjadi lemas.
Angelina dan Vanessa menggelengkan kepala. “Nggak, kok, Kak. Siapa yang bilang kami mau nolak?”
Renata merebahkan kepala di atas meja, menatap wajah cantik Vanessa yang sedang tersenyum manis ke arahnya. “Kalo kalian gak nolak, kenapa lama banget jawabannya? Terus juga jawaban kalian apa?”
Melihat wajah Renata yang semakin lemas, membuat Vanessa merasa sangat kasihan. Ia mengusap lembut punggung sang kakak kelas. “Kami nerima rekomendasi dari Kakak, kok, kak.”
Raut wajah Renata sontak kembali berubah menjadi bersemangat. Gadis itu mengangkat kepala, kemudian langsung memeluk erat tubuh Vanessa yang duduk di sampingnya seraya bersorak gembira.
Senyuman Vanessa semakin melebar, saat tubuhnya dipeluk oleh Renata. Ia perlahan-lahan menggerakkan kedua tangan, membalas pelukan yang diberikan oleh sang kakak kelas.
Angelina menopangkan dagu, tersenyum manis, melihat kedua gadis di hadapannya sedang saling berpelukan. Di dalam hati, ia benar-benar merasa sangat bahagia, karena Vanessa dapat berteman dengan Renata.
Sekitar dua menit lebih Renata dan Vanessa saling berpelukan. Sampai pada akhirnya, Renata sedikit mengendurkan pelukannya pada tubuh Vanessa, lalu menatap lekat wajah sang adik kelas.
“Jadi, siapa yang mau jadi ketuanya?”
Vanessa membalas tatapan Renata, masih dengan senyuman manis yang menghiasi wajahnya. “Yang jadi ketuanya Ang—”
“Yang jadi ketuanya Vanessa, Kak,” potong Angelina.
Vanessa sontak melebarkan mata saat mendengar perkataan Angelina. Ia menoleh ke arah gadis itu, menatap tak percaya dan meminta penjelasan kepada sang sahabat.
“Kok, aku, Ngel? Bukannya kita udah sepakat kalo kamu yang akan jadi ketuanya?”
“Iya, tapi gue berubah pikiran. Menurut gue, lu yang lebih cocok jadi ketua.” Angelina melebarkan senyuman hingga kedua matanya tertutup. “Gak papa, ya, Van, lu yang jadi ketuanya?”
Vanessa diam sejenak, terpaku pada senyuman lebar dan manis milik Angelina. Gadis itu kemudian mengangguk secara perlahan-lahan.
Melihat hal itu, membuat Renata meregangkan otot-otot tubuhnya, lalu membuka laci, mengambil sebuah map dokumen yang sudah dirinya siapkan beberapa hari yang lalu.
“Ngel, Van, coba lihat ini,” panggil Renata, seraya membuka map dokumen itu, dan meletakkannya di tengah-tengah meja agar dapat dilihat oleh kedua adik kelasnya.
Senyum Angelina sedikit berkurang, membuka mata, melihat isi dari map dokumen yang telah berada di depannya. Setelah melihat isi dari map dokumen itu, kedua mata Angelina sontak melebar.
“Kak, lu udah nyiapin ini semua dari kapan?”
Renata memperbaiki beberapa helai rambutnya, lalu melihat kedua tangan di atas meja. “Beberapa hari yang lalu, setelah anak-anak angkatan gue ngerekomendasiin kalian berdua. Semoga, ini membantu kalian, ya.”
“Ini, mah, bukan semoga lagi, Kak. Ini bener-bener membantu gue sama Vanessa banget. Semua syarat buat daftar udah lu siapin, bahkan udah lu isi.” Angelina mengangkat kepala, melihat Vanessa yang juga kagum dengan bantuan dari Renata. “Bener gak, Van?”
Vanessa mengangguk setuju, masih terus melihat isi dari map dokumen itu. “Iya, kamu bener banget, Ngel. Ini ngebantu kita banget.”
Setelah mengatakan itu, Vanessa menoleh ke arah Renata dengan diikuti oleh Angelina. Kedua gadis lalu secara bersamaan mengucapkan terima kasih kepada sang kakak kelas.
“Iya, sama-sama. Gue juga berterima kasih ke kalian berdua, karena udah mau nerima rekomendasi ini.” Renata menutup map dokumen, menaruhnya kembali ke dalam laci meja. Ia bangun dari tempat duduk, menatap Angelina dan Vanessa secara bergantian. “Oh, iya, ikut gue, yuk. Ada sesuatu yang harus kita bertiga lakuin.”
“Sesuatu apa, Kak?” tanya Angelina, seraya mengerutkan kening bingung.
“Ada, deh. Udah, ayo, ikut gue.”
Renata menggandeng lengan Angelina dan Vanessa, lalu berjalan membawa kedua adik kelasnya itu meninggalkan ruangan OSIS.
^^^To be continued :)^^^