Amira kira setelah menikah hidupnya akan bahagia tapi ternyata semua itu tak sesuai harapan. Ibu mertuanya tidak menyukai Amira, bukan hanya itu setiap hari Amira hanya dijadikan pembantu oleh mertua serta adik iparnya. Bahkan saat hamil Amira di tuduh selingkuh oleh mertuanya sendiri tidak hanya itu setelah melahirkan anak Amira pun dijual oleh ibu mertuanya kepada seorang pria kaya raya yang tidak memiliki istri. Perjuangan Amira begitu besar demi merebut kembali anaknya. Akankah Amira berhasil mengambil kembali anaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Non Mey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ULANG TAHUN ARKA
Malam itu suasana kota terasa cukup hangat. Angga mengajak Anjani keluar untuk mencari makan setelah hari yang sibuk di toko. "Anjani, kamu suka makan apa? Ada tempat nasi goreng enak loh di ujung jalan sana," tanya Angga sambil tersenyum.
Anjani mengangguk sambil membenahi rambutnya yang dikuncir rapi. "Terserah kamu aja, Mas. Aku ikut aja."
Namun, ketika mereka melewati sebuah trotoar dekat toko kue terkenal, Angga tiba-tiba menghentikan langkahnya. Di depan mereka, berdiri Amira bersama Arka yang digendong dengan penuh kasih sayang. Di sebelahnya, Bu Sari menemani mereka sambil membawa beberapa tas belanjaan.
"Amira?" panggil Angga dengan nada terkejut.
Amira menoleh, dan raut wajahnya berubah sedikit kaget. "Angga?" katanya pelan. Arka, yang semakin besar dan mulai bisa berbicara, menggumamkan sesuatu sambil memeluk Amira.
Angga segera menghampiri mereka. "Kalian sedang apa di sini malam-malam begini?" tanyanya sambil melirik Arka yang semakin lucu.
Amira tersenyum lembut. "Kami sedang mencari toko kue. Dua hari lagi Arka ulang tahun, jadi aku mau pesan kue."
"Oh, begitu." Angga tersenyum sambil menatap Arka dengan penuh haru. "Arka sudah besar, ya. Dia pasti pintar sekali sekarang."
"Iya, Arka sangat pintar. Oh iya nanti kamu jangan lupa datang ke acara ulang tahun Arka ya?"
"Aku pasti datang, Amira," sahut Angga sambil tersenyum.
Anjani, yang berdiri di belakang Angga, merasa sedikit canggung. Namun, Angga menyadarinya dan segera memperkenalkan mereka. "Oh iya, Amira, ini Anjani. Dia karyawan baru di toko ku. Kami sedang keluar mencari makan."
Amira mengangguk sopan sambil tersenyum ramah. "Senang bertemu denganmu, Anjani."
Anjani balas tersenyum. "aku juga senang bertemu dengan mu Mbak. Mas Angga sering cerita tentang Mbak dan Arka loh."
Mendengar itu, Amira tersenyum kecil. "Begitu ya?" tanya Amira sambil melirik kearah Angga yang nampak terdiam.
"Oh iya Anjani, nanti kamu datang juga ya ke pesta ulang tahun Arka, dua hari lagi. Aku tunggu kedatangan kalian."
"Iya, tentu aja, Mbak. Aku dan Mas Angga pasti datang" jawab Anjani sambil melirik Arka dengan senyuman.
Ketika Amira dan Bu Sari mulai berbincang dengan Anjani, Angga memanfaatkan momen itu untuk mendekati Arka. "Boleh aku gendong dia sebentar?" tanya Angga hati-hati.
Amira menatap Angga sejenak, lalu mengangguk pelan. "Tentu boleh."
Angga segera mengulurkan tangannya untuk menggendong Arka. Bocah itu tampak ceria di pelukan Angga, meski sedikit heran melihat siapa pria yang menggendongnya. "Arka, andai kamu tahu, aku Ayahmu,Nak," bisik Angga dalam hati sambil menahan air mata.
Anjani, yang memperhatikan dari kejauhan, merasakan hatinya sedikit sakit. Ada rasa cemburu yang tidak bisa ia kendalikan saat melihat kedekatan yang hangat antara Angga, Amira, dan Arka. Ia sadar, betapa pun dekatnya ia dengan Angga, ada bagian hati pria itu yang masih dimiliki oleh Amira.
Namun, Anjani mencoba menutupi perasaannya dengan tetap tersenyum. "Arka lucu sekali, ya," katanya sambil mendekat.
Amira mengangguk. "Iya, dia anak yang ceria. Tapi kadang-kadang, energinya terlalu besar. Jadi harus benar-benar sabar," katanya sambil tertawa kecil.
Setelah berbincang sejenak, Amira berpamitan untuk melanjutkan pencarian tokonya. "Kami harus pergi sekarang. Masih ada beberapa tempat yang harus dikunjungi," katanya.
Angga mengangguk pelan. "Baiklah. Kalau butuh bantuan apa pun, jangan ragu untuk hubungi aku, ya."
Amira hanya tersenyum sebagai jawaban. Setelah itu, ia pergi bersama Bu Sari dan Arka, meninggalkan Angga dan Anjani di trotoar.
Saat mereka sudah cukup jauh, Anjani akhirnya memberanikan diri untuk bicara. "Mas, kelihatannya masih ada sesuatu di antara Mas Angga dan Mbak Amira, ya?" tanyanya pelan.
Angga terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Jujur saja, Anjani, perasaan itu nggak pernah benar-benar hilang. Tapi sekarang aku sadar, Amira punya kehidupan yang lebih baik tanpa aku. Aku hanya bisa berharap dia bahagia."
Anjani mengangguk pelan, mencoba mengerti. Namun, di dalam hatinya, ia masih merasa terluka. Ia menyadari bahwa meskipun ia ingin mendekati Angga, bayangan Amira akan selalu ada di antara mereka.
"Mungkin memang lebih baik seperti itu, Mas. Yang penting, kita semua bisa menjalani hidup masing-masing dengan baik," katanya dengan senyum getir.
Angga menatap Anjani dan mengangguk. "Kamu benar, Anjani. Hidup harus terus berjalan. Aku pun ingin bahagia dengan jalan hidup ku sendiri."
Didalam hati keduanya, ada sesuatu yang mengganjal. Meskipun mereka mencoba melangkah maju, bayangan masa lalu terus menghantui mereka, membawa mereka pada pertanyaan akankah mereka menemukan kebahagiaan sejati dalam hidup masing-masing?
Pagi itu, Angga menutup toko lebih awal dari biasanya. Ia merasa hari itu adalah hari yang penting ulang tahun pertama Arka, anaknya. Walaupun sudah tidak lagi bersama Amira, Arka tetap darah dagingnya, dan Angga ingin menunjukkan bahwa ia tetap peduli.
Sebelum menutup toko, Angga mengumpulkan semua karyawannya Loli, Rika, dan Anjani. "Hari ini, aku ingin kalian semua ikut ke acara ulang tahun Arka," kata Angga dengan senyuman.
Rika terlihat antusias. "Wah, ulang tahun anakmu, Mas? Tentu aku ikut!"
Anjani juga tersenyum, meskipun ada sedikit rasa canggung. "Kalau Mas Angga mengajak, Aku pasti datang."
Loli mengangguk setuju. "Ini kan acara untuk Arka, kita semua harus hadir. Apalagi, aku juga kangen sama Arka."
Setelah memastikan semuanya setuju, Angga pulang untuk bersiap-siap. Sesampainya di rumah, ia langsung mengajak ibunya, Ratna, untuk ikut. Awalnya, Ratna menolak mentah-mentah. "Untuk apa aku datang ke rumah Amira? Aku nggak ada urusan dengannya."
Namun, Angga dan Loli terus membujuknya. "Bu, bagaimanapun Arka itu cucu Ibu. Nggak pantas kalau kita nggak hadir di hari spesialnya," kata Loli.
Ratna mendesah panjang. "Baiklah, aku ikut. Tapi hanya karena Arka, bukan karena Amira!"
Sore itu, mereka semua bersiap-siap menuju rumah Amira. Sesampainya di sana, rumah Amira terlihat semarak dengan dekorasi balon warna-warni dan tema superhero yang membuat suasana ceria. Banyak tamu sudah hadir, dari kerabat dekat hingga teman-teman Amira dan Bram.
Angga bersama rombongannya disambut hangat oleh Amira dan Bram. Amira tersenyum lembut. "Terima kasih udah datang, Angga. Ibu, Loli, semua, silakan masuk."
Ratna hanya mengangguk singkat dengan wajah masam, sementara Loli tampak lebih santai, langsung bermain dengan Arka yang sudah berpakaian rapi.
Acara ulang tahun berlangsung meriah. Tawa anak-anak terdengar riuh, sementara para tamu menikmati makanan yang disediakan. Semua berjalan lancar hingga acara tiup lilin. Arka, meski belum terlalu mengerti apa yang terjadi, terlihat senang ketika semua orang menyanyikan lagu ulang tahun untuknya.
Namun, setelah tamu-tamu mulai pulang, suasana menjadi lebih tenang. Yang tersisa hanya Amira, Bram, Arka, Angga, Ratna, Anjani dan beberapa orang yang dekat. Bu Sari sudah pamit lebih dulu karena harus kembali ke laundry, sementara Rika juga pulang lebih awal. Begitu juga dengan Loli yang sudah pergi bersama Reza.
Ketika suasana mulai santai, Ratna membuka pembicaraan dengan nada menyindir. "Amira, aku rasa Arka sesekali perlu menginap di rumah Angga. Bagaimanapun juga, dia ayahnya."
Amira menatap Ratna dengan tenang. "Bu, aku rasa untuk sekarang belum memungkinkan. Arka masih terlalu kecil untuk jauh dariku."
Ratna mendengus. "Terlalu kecil? Anak itu butuh waktu dengan ayahnya. Jangan sampai nanti dia lupa siapa ayah kandungnya."
Angga mencoba menengahi. "Bu, sudahlah. Jangan bahas ini sekarang. Ini hari ulang tahun Arka."
Namun, Ratna tidak berhenti. "Aku hanya ingin cucuku tahu keluarga sebenarnya. Jangan sampai dia lebih mengenal orang lain daripada ayah kandungnya."
Bram, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Bu Ratna, aku rasa Amira tahu apa yang terbaik untuk Arka. Aku di sini hanya mendukung, bukan mengambil tempat siapa pun."
Ratna menatap Bram tajam. "Itu kan katamu bilang begitu. Tapi aku tahu, kamu terlalu banyak campur tangan dalam kehidupan mereka."
Amira menghela napas panjang, mencoba menahan emosi. "Bu, aku harap Ibu bisa menghormati keputusan ku. Aku hanya ingin yang terbaik untuk Arka."
Melihat situasi yang memanas, Anjani mencoba mencairkan suasana. "Bu, bagaimana kalau kita ambil foto bersama untuk kenang-kenangan?"
Ratna menggeleng. "Aku nggak mau foto-foto. Aku hanya ingin memastikan cucuku mendapatkan yang seharusnya."
Setelah beberapa saat, Ratna akhirnya berdiri dan berkata dengan nada kesal. "Baiklah, aku nggak akan mengganggu lagi. Tapi ingat, Amira, aku akan memastikan Arka nggak melupakan asal darah dagingnya."
Ratna keluar dari rumah tanpa berpamitan. Angga menatap Amira dengan penuh penyesalan. "Maafkan Ibu, Amira. Aku benar-benar nggak tahu harus berkata apa. Ibu memang keterlaluan"
Amira tersenyum kecil meskipun hatinya terasa berat. "Nggam apa-apa, Mas. Aku udah terbiasa."
Bram menggenggam tangan Amira, mencoba memberinya dukungan. "Yang penting, kita semua bisa menjaga Arka dengan baik."
Angga hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya terasa hancur. Melihat Bram begitu dekat dengan Amira dan Arka, ia menyadari bahwa kehidupannya dengan Amira mungkin sudah benar-benar berakhir.