Di pertengahan tahun 1980, Dewi merasakan pedihnya dijadikan tulang punggung layaknya sapi perah, tapi tetap dianggap sebagai benalu. Bahkan, KDRT kerap Dewi maupun anaknya dapatkan dari suami dan juga keluarga suami, yang selama 5 tahun terakhir Dewi nafkahi. Karenanya, Dewi nekat menjadikan perceraian sebagai akhir dari rumah tangganya.
Dewi bertekad bahagia bahkan sukses bersama kedua anaknya. Segala cara Dewi lakukan, termasuk menjadi ART, sebelum akhirnya menjadi warung keliling. Namun pada kenyataannya, menjadi sukses bukanlah hal mudah. Terlebih, Dewi masih saja diganggu orang-orang dari masa lalunya. Dewi sampai berurusan dengan hukum akibat fitnah keji, sebelum akhirnya mengikuti program transmigrasi di era Orde Baru yang tengah berlangsung.
Akan tetapi karena sederet cobaan itu juga, Dewi menemukan cinta sejati sekaligus kesuksesan yang selama ini Dewi perjuangkan. Kesuksesan yang membuat Prasetyo sekeluarga sangat menyesal!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Lagi Membutuhkan Laki-Laki
Sebagian besar paket barang dalam kantong berukuran bervariasi, Dewi keluarkan dari tempat tinggalnya. Kemudian, tinggal sepeda onthel yang sempat membuat tempat tinggalnya makin sempit. Dua buah kerombong atau itu keranjang anyaman bambu juga menjadi barang terakhir yang Dewi keluarkan. Semua pesanan termasuk itu paket pesanan ikan, Dewi susun di dalam kerombong. Pesanan untuk yang jaraknya paling jauh sengaja Dewi taruh paling bawah.
Mas Abdul yang menyaksikan persiapan Dewi sampai ngeri pada kecekatan Dewi. Berbeda dari sebelumnya, Dewi yang sempat masuk ke toilet umum di sebelah, sengaja ganti celana panjang. Dewi tak lagi memakai kain jarit sebagai bawahan. Namun, ada yang bagi mas Abdul lebih ngeri lagi, dan itu ketika Dewi sampai mengambil alih Utari dari dekapannya.
“Eh, Wi ... apaan? Masa kamu mau bawa Utari antar pesanan? Yang benar saja?” panik mas Abdul tak rela melepaskan Utari dari dekapannya.
“Ya iya, kalau enggak dibawa, memangnya sama siapa? Utari anakku, jadi wajib aku bawa ke mana pun aku pergi. Malahan andai aku enggak bawa, yang ada jadi seperti tadi. Rasanya enggak bisa tenang,” ucap Dewi masih melakukan segala sesuatunya dengan cekatan.
“Eh, ini perempuan yah!” batin nas Abdul yang juga langsung bengong ketika melihat Alif dengan cekatan naik ke boncengan yang bagian belakangnya sudah dihiasi tumpukan pesanan.
Warung atau malah pasar keliling, tampaknya sebutan itu cocok untuk usaha yang Dewi geluti.
“Maaa, ... nanti kalau kerombongnya sudah kosong, aku masuk kerombong, ya!” ucap Alif sangat antusias. Ia berpegangan pada sadel sepeda dan sebentar lagi akan menjadi tempat duduk Dewi.
“Oke, ... nanti kalau barang-barangnya sudah diantar sebagian, mas Alif masuk kerombong!” balas Dewi sengaja memberi janji kepada Alif.
Menyaksikan itu, mas Abdul menghela napas panjang sekaligus dalam kemudian istighfar. “Ya Allah, Wi ... daripada begini, mending kita nikah saja. Biar aku yang kerja dan kamu cukup di rumah bareng anak-anak,” ucap mas Abdul benar-benar sedih.
Mendengar itu, Alif yang sudah mulai tahu maksud dari ucapan, juga jadi ikut sedih. Alif jadi tak ceria lagi, kemudian diam-diam menatap pedih sang mama. Dewi yang hampir menuntun sekaligus membawa pergi sepedanya, jadi murung.
Puji-pujian menjelang adzan subuh mulai terdengar. Dewi sengaja pamit dan tetap menolak uluran tangan mas Abdul. Tawaran mas Abul yang akan mengantar Dewi menggunakan mobil, tetap Dewi tolak. Kendati demikian, mas Abdul tetap mengikuti dari belakang.
Seiring bergulirnya waktu, semilir angin yang sangat segar mengiringi keceriaan Alif. Bocah itu terus berteriak “sayur-sayur” sepanjang sang mama mengayuh sepeda ontelnya.
Jalanan berliku dan agak terjal menjadi saksi bisu perjuangan Dewi dan kedua anaknya. Alih-alih merengek kesakitan ketika sepeda sang mama melewati jalan terjal, Alif yang sudah masuk kerombong malah cekikikan.
Mendoan dan gembus selaku makanan khas sana yang Dewi beli ke penjual langganan, menjadi menu sarapan Alif. Sepanjang perjalanan, bocah itu makan dengan lahap sambil sesekali mengajak sang mama yang mengayuh sepeda, mengobrol.
“Luka yang Dewi dapat dari masa lalunya pasti sangat dalam. Hingga Dewi sungguh tidak butuh orang lain untuk bergantung. Dewi bahkan tak lagi percaya cinta dari laki-laki,” pikir mas Abdul. Ia masih mengikuti Dewi menggunakan mobilnya.
Tak beda dengan Alif, kini mas Abdul juga tengah sarapan gembus dan mendoan.
“Kalau begini caranya, ... fix, Dewi enggak mungkin ingin menikah lagi!” batin mas Abdul jadi putus asa.
“Mas, turun dulu ya. Ini rumah terakhir. Mbak Sumi bilang, harusnya ini rumah pelanggan baru kita,” ucap Dewi.
Matahari pagi sudah menyapa penuh kehangatan. Andai hari ini tidak mendung, pasti keadaan di sana sangat terik lantaran kanan kiri belum banyak pohon tinggi.
Pemesan terakhir Dewi juga tinggal di kontrakan jauh dari keramaian. Dewi menurunkan Alif dari kerombong. Dengan bibir dihiasi sisa minyak mendoan dan gembus, Alif langsung menghampiri mas Abdul yang juga berhenti.
Kemana pun Dewi pergi, mas Abdul memang akan mengikuti. Begitu juga ketika Dewi berhenti, mas Abdul akan melakukan hal yang sana layaknya sekarang.
Kini, Dewi membawa satu kantong besar pesanan yang tersisa, ke rumah tujuannya. Suasana di sana juga masih sepi karena kini memang baru pukul setengah pagi. Saking semangatnya karena dapat banyak pesanan, Dewi memang sampai ke setiap pelanggan jauh lebih cepat dari biasanya.
“Minum ...,” lembut mas Abdul yang membantu Alif minum. Lagi-lagi Alif masuk ke dalam mobilnya. Alif duduk di tempat duduk sebelahnya sambil terus tersenyum ceria. Berbeda dari terakhir kali mereka bertemu, sekarang pipi Alif terbilang gembul. Alif bahkan tampak jauh lebih besar dari sebelumnya.
“Ada yang bilang, kalau mau dapat mamanya, dekati dulu anaknya,” pikir mas Abdul yang detik itu juga jadi tersenyum geli. “Patut dicoba sih. Lagian, Alif dan Utari juga bikin gemes banget. Aku sayang banget ke mereka apalagi ke mamanya,” batin mas Abdul yang kemudian memangku Alif yang ia dekap sekaligus ci umi dengan gemas. Alif cekikikan dan sampai menular kepada mas Abdul.
“Assalamualaikum ...?” sapa Dewi sangat sopan.
Suasana di balik pintu kontrakan yang ia hadapi terbilang ramai. Ada suara televisi yang disetel agak keras, menandakan bahwa penghuninya memang di dalam rumah. Namun karena tak kunjung mendapatkan balasan, Dewi berinisiatif mengetuk pintu kontrakannya sambil kembali melayangkan salam.
“Assalamualaikum ...?” lembut Dewi.
“Kok mama, lama?” ucap mas Abdul masih memangku sekaligus mendekap Alif.
Mas Abdul berangsur keluar dari mobil untuk memastikan. Namun, kenyataan tersebut tidak Alif lakukan karena Alif masih betah duduk di sofa tempat duduk mobil yang bagi bocah itu sangat empuk. Belum apa-apa saja, saking nyamannya duduk di sana, Alif sudah ketiduran.
“Waalaikumsalam ....” Balasan tersebut akhirnya Dewi dapatkan dari balik pintu. Balasan yang terdengar sangat tidak asing di telinga Dewi.
Benar saja, ketika pintu kontrakan akhirnya dibuka, ibu Surmi ada di balik pintu. Ibu Surmi yang terlihat makin tua langsung menatap tak percaya Dewi. Wanita itu langsung mengenali Dewi, dan tak segan mengundang pasukan di dalam kontrakannya.
“Dewi datang, Dewi datang!” ucap ibu Surmi.
Alih-alih menyapa dan menanyakan kabar Dewi, anak-anak saudara Prasetyo yang usianya sudah belasan tahun, justru langsung merebut kantong yang Dewi bawa. Bahkan, mereka tak segan berebut hingga isi kantongnya jadi tercecer berantakan.
Keadaan keluarga Prasetyo benar-benar masih sama. Mereka masih tinggal sempit-sempitan dengan suasana yang masih saja jo.rok.
“Ya sudah, ... saya minta bayaran pesanannya!” ucap Dewi sengaja menagih pembayarannya. Dewi merasa sangat tidak nyaman ada di antara keluarga Prasetyo yang masih sangat urakan.
Yang membuat Dewi kesal, bukannya membayar atau setidaknya meminta waktu untuk mengambil uang sebelum membayar, ibu Surmi malah dengan sengaja buru-buru menutup sekaligus mengunci pintu kontrakannya.
saat itu jamannya.....
semuanya pada sakit......