"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Lily berjalan keluar dari kamar mandi dengan langkah ragu. Rambutnya masih sedikit basah, dan pakaiannya masih sama seperti yang ia kenakan sejak semalam, terasa lembap di beberapa bagian. Meskipun air hangat tadi berhasil mengusir rasa lelah dari tubuhnya, pikirannya masih kalut.
Begitu ia keluar, Zhen sudah duduk di sofa, terlihat santai sambil memegang sebuah koran. Ia tampak tidak terlalu peduli, tetapi begitu Lily muncul, matanya langsung terangkat. Sorot matanya tajam, seolah menilai sesuatu.
Lily langsung merasa tidak nyaman.
Zhen melipat korannya perlahan, meletakkan di meja di sampingnya. "Ganti pakaianmu."
Lily mengerjap. "Apa?"
Zhen menggerakkan dagunya ke arah meja di dekat Lily. Lily mengikuti arah tatapan Zhen dan melihat sebuah paper bag berwarna krem dengan tali hitam yang tampak elegan.
"Pakailah itu," ucap Zhen tanpa basa-basi.
Lily menggigit bibir bawahnya, menatap paper bag itu dengan ragu. "Saya bisa menggunakan pakaian saya sendiri."
Zhen menatap Lily dengan ekspresi datar. "Kau pikir aku akan membiarkanmu bertemu keluargaku dengan pakaian seperti itu?"
Lily menunduk, melihat pakaiannya yang sudah kusut. Ia tahu Zhen benar, tapi tetap saja, ia enggan menurut begitu saja.
"Saya tidak perlu pakaian ini. Saya bisa—"
"Jangan membantah," potong Zhen. "Kalau kau pikir aku akan membiarkanmu berdiri di hadapan keluargaku dengan pakaian yang bahkan tidak pantas dipakai untuk tidur, kau salah besar."
Lily menghela napas pelan. "Aku tidak nyaman menggunakan pakaian pilihan orang lain."
Zhen menatap Lily sebentar, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Begitu?" gumamnya pelan, lalu menyilangkan kakinya dengan santai. "Kau mau masuk ke ruang makan dengan pakaian yang kusut dan rambut berantakan? Kalau begitu, aku tidak akan melarang."
Lily menegang. "Saya tidak bilang begitu—"
"Kalau begitu, berhenti membuang waktuku dan ganti pakaian."
Nada suaranya begitu tenang, tapi penuh tekanan. Lily tahu Zhen tidak akan menerima penolakan. Dengan enggan, ia akhirnya meraih paper bag itu dan berjalan kembali ke kamar mandi.
Zhen memperhatikan Lily dengan ekspresi puas. Tatapannya mengikuti Lily sampai wanita itu menghilang di balik pintu.
Lily berdiri di depan cermin di dalam kamar mandi, menatap paper bag di tangannya dengan perasaan tak menentu. Ia membuka tas itu perlahan, mengeluarkan satu per satu pakaian yang ada di dalamnya.
Matanya membulat begitu melihat gaun berwarna putih gading dengan potongan sederhana, tetapi terlihat sangat mahal.
Kainnya jatuh dengan lembut, terasa halus di tangannya. Di dalamnya juga terdapat pakaian dalam baru, bahkan sepasang sepatu hak rendah yang senada dengan gaunnya.
Lily menggigit bibirnya, merasa tidak nyaman dengan perhatian seperti ini. Ia tidak suka menerima barang-barang dari orang lain, apalagi dari seseorang seperti Zhen. Namun, ia tahu menolak bukanlah pilihan yang bijak.
Dengan enggan, Lily melepas pakaiannya dan mengenakan gaun tersebut. Kainnya terasa nyaman di kulitnya, tetapi ada perasaan terjebak yang menyelinap dalam hatinya. Setelah memastikan penampilannya rapi, ia menghela napas panjang dan membuka pintu.
Saat Lily melangkah keluar, Zhen sudah tidak lagi memegang koran. Pria itu kini duduk dengan santai, satu lengannya bertumpu di sandaran sofa, sementara tatapannya langsung tertuju pada Lily.
Sorot matanya tajam, menilai Lily dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Bagus," gumamnya setelah beberapa detik. "Setidaknya sekarang kau terlihat layak."
Lily mengernyit, tidak suka dengan nada suara Zhen yang meremehkan. "Terima kasih," ucapnya datar.
Zhen bangkit dari duduknya, langkahnya tenang saat mendekat. Lily langsung menegang, tubuhnya secara refleks ingin mundur, tetapi ia menahan diri.
Pria itu berhenti tepat di depan Lily, lalu tanpa peringatan, ia mengangkat tangannya. Lily menahan napas, tetapi yang dilakukan Zhen hanyalah merapikan ujung kerah gaunnya.
"Ayo turun," ajaknya singkat. "Jangan bicara terlalu banyak. Jawab hanya jika ditanya."
Lily mengerjap, lalu mengangguk pelan. "Baik."
Zhen berbalik, berjalan menuju pintu tanpa melihat ke belakang. Lily mengikuti di belakangnya, hatinya dipenuhi kegelisahan yang semakin menyesakkan.
Saat mereka menuruni tangga, aroma masakan yang lezat mulai tercium di udara. Lily bisa merasakan ketegangan yang semakin menumpuk dalam dirinya. Ia tahu, pertemuan ini bukanlah sesuatu yang sederhana.
Dan ia masih belum tahu bagaimana akhirnya semua ini akan berjalan.
Begitu Zhen dan Lily mencapai lantai bawah, suasana di ruang makan terasa begitu kaku. Wang Ze dan Zhao sudah duduk di sana, menunggu dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan.
Berbeda dengan bayangan Lily tentang mereka yang selalu tampil formal dan berwibawa, pagi ini keduanya justru mengenakan pakaian santai.
Wang Ze hanya menggunakan kemeja longgar berwarna abu-abu dengan celana kain, sementara Zhao mengenakan blus sederhana berwarna pastel. Meskipun begitu, aura dominan mereka tetap terasa, membuat Lily semakin gugup.
Tatapan Wang Ze langsung tertuju pada Lily, menilainya dari ujung kepala hingga kaki, sementara Zhao menyambut Lily dengan senyum lembut. Namun, suasana tetap terasa berat, seolah ada sesuatu yang tidak terucapkan di antara mereka.
Lily menelan ludah, jantungnya berdegup lebih kencang. Bagaimana tidak? Di hadapannya kini duduk dua sosok yang pernah ia dengar namanya di kantor.
Pemilik perusahaan Wang yang dulu hanya bisa ia lihat dari jauh. Walaupun sekarang Zhen yang memimpin perusahaan, Lily tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dua orang ini masih punya pengaruh besar.
Langkah Zhen tetap tenang saat ia berjalan ke meja makan. Tanpa ragu, ia menarik kursi untuk Lily dan menoleh padanya. "Duduk," perintahnya.
Lily langsung menundukkan kepala sedikit sebelum duduk. "Selamat pagi," ucapnya pelan, memberikan salam dengan sopan.
Wang Ze mendengus lagi, menatap Zhen dengan tajam sebelum mengalihkan pandangan ke Lily. "Kau memaksanya?" tanyanya dingin.
Zhen yang tengah menuangkan teh ke cangkirnya sendiri, berhenti sejenak sebelum menatap kakeknya. "Tidak!" jawabnya tegas. "Aku hanya melakukan tugasku sebagai seorang yang bertanggung jawab."
Tatapan Wang Ze mengandung ketidakpuasan yang jelas. "Tanggung jawab ya?" gumamnya, menyesap tehnya perlahan. "Aku harap kau benar-benar memahami arti kata itu."
Zhao yang sedari tadi hanya tersenyum lembut, kini mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Lily, makanlah yang banyak," perintahnya ramah. "Kau pasti butuh energi."
Sebelum Lily sempat menjawab, Zhao sudah mengambil sepotong ikan salmon dari piring di tengah meja dan dengan cekatan meletakkannya di piring Lily yang sudah berisi nasi putih.
"Ikan sangat bagus untuk wanita yang sedang hamil," lanjutnya ringan, seolah itu hal yang sudah pasti.
Lily langsung membeku. Matanya melebar, dan napasnya tercekat di tenggorokan.
Hamil?
Detik itu juga, Wang Ze menurunkan cangkir tehnya dengan keras, menatap Zhen dengan tajam. "Kau tidak bilang apa-apa soal ini."
Zhen yang baru saja mengambil sumpit, terhenti sejenak. Ia melirik Lily yang masih membatu, lalu kembali menatap kakeknya dengan ekspresi datar. "Karena tidak ada yang perlu dikatakan."
Wang Ze mengerutkan kening. "Jadi kau hanya bertanggung jawab saja?"
Lily semakin terkejut. Kepalanya hampir pusing karena situasi ini. "Tunggu—"
"Aku sudah mempersiapkan dokter pribadi untuk memeriksa kondisimu, Lily," Zhao menyela dengan senyum lembut, tidak terganggu oleh ketegangan di meja. "Jangan khawatir, Lily. Kami akan memastikan kau dan bayi dalam kandunganmu dalam kondisi terbaik."
Lily hampir tersedak. Ia menoleh ke Zhen dengan panik, berharap pria itu akan segera meluruskan kesalahpahaman ini.
Namun, Zhen hanya menatap Lily dengan tenang, tanpa niat segera menjelaskan.
Lily ingin berteriak. Kenapa Zhen diam saja?