Mentari merupakan seorang perempuan yang baik hati, lembut, dan penuh perhatian. Ia juga begitu mencintai sang suami yang telah mendampinginya selama 5 tahun ini. Biarpun kerap mendapatkan perlakuan kasar dan semena-mena dari mertua maupun iparnya , Mentari tetap bersikap baik dan tak pernah membalas setiap perlakuan buruk mereka.
Mertuanya juga menganggap dirinya tak lebih dari benalu yang hanya bisa menempel dan mengambil keuntungan dari anak lelakinya. Tapi Mentari tetap bersabar. Berharap kesabarannya berbuah manis dan keluarga sang suami perlahan menerimanya dengan tangan terbuka.
Hingga satu kejadian membuka matanya bahwa baik suami maupun mertuanya dan iparnya sama saja. Sang suami kedapatan selingkuh di belakangnya. Hanya karena pendidikannya tak tinggi dan belum juga dikaruniai seorang anak, mereka pun menusuknya dari belakang.
Tak terima perlakuan mereka, Mentari pun bertindak. Ia pun membungkam mulut mereka semua dan menunjukkan siapakah benalu sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA PULUH SATU
"Begini pak, pemilik rumah ini ingin Anda segera meninggalkan rumah ini. Kami akan memberi Anda waktu 1 jam untuk beres-beres. Ambil barang pribadi Anda sendiri. Anda dilarang mengambil satupun perabot di rumah ini karena barang-barang tersebut akan dilelang dan atas instruksi pemiliknya, rumah ini akan segera kami hancurkan dalam beberapa jam ke depan. Jadi mohon kerjasamanya untuk segera berbenah sebab kami tidak akan menambah waktu lagi," jelas pria itu yang sukses membuat shock Shandi dan keluarganya.
"Apa?" seru mereka kompak dengan mata terbelalak.
"Nggak, ini nggak mungkin. Mas, ini nggak mungkin kan? Ini pasti salah. Pasti yang dimaksud bukan Shandi kamu kan, mas? Lagian, bukankah rumah ini rumah kamu?" cecar Erna tak percaya pun tak terima bila rumah ini benar-benar diratakan dengan tanah. Rumah ini termasuk cukup mewah. Belum lagi lokasi yang strategis merupakan perpaduan luar biasa. Erna lebih memilih rumah ini dijual sehingga mereka bisa mendapatkan uang yang banyak daripada dihancurkan. Erna sampai mengumpat dalam hati, orang itu bodoh, bego, atau gila? Rumah mewah dihancurkan? Buang-buang uang saja, bukan?
Tapi berbeda dengan pemikiran Mentari, ia lebih rela rumah yang ia beli hasil jerih payahnya dimusnahkan daripada dihuni orang lain.
Ia lebih rela istananya dihancurkan menjadi serpihan-serpihan kecil agar ia pun dapat memusnahkan kenangan-kenangan indah yang pernah ia bangun di sana. Bila rumah itu masih berdiri kokoh, maka itu tentu bisa mengingatkannya dengan impiannya yang kandas.
Mentari pernah memiliki impian. Ia membeli rumah itu dengan mimpi-mimpi indahnya. Membangun sebuah keluarga yang bahagia, hidup bersama,, menua bersama, tapi apa yang ia dapat? Justru kehancuran dan luka mendalam.
Mentari memang masih bisa tersenyum lebar, tapi tak ada yang tahu, dibalik senyum itu, tersimpan luka yang tak terkata. Mentari bukanlah sosok yang mudah mengungkapkan isi hatinya. Ia lebih suka memendam luka dan memamerkan senyuman.
"Benar apa yang dikatakan Erna, yang dimaksud orang-orang ini pasti bukan kamu kan, Shan? Mereka pasti salah orang dan salah alamat!" tukas Rohani ikut menimpali, sedangkan Shandi masih mematung. Otaknya benar-benar buntu. Ia benar-benar kesulitan mencerna apa yang sedang terjadi saat ini.
Kemudian Septi meringsek maju untuk berbicara dengan pria berjaket hitam itu. Meskipun ia sedikit takut, tapi ada satu hal yang ingin ia tanyakan pada laki-laki itu.
"Permisi, pak. Tadi bapak bilang, pemilik rumah inilah yang meminta kami segera pergi karena rumah ini akan dihancurkan, kalau boleh tahu, siapa pemilik yang bapak maksud itu? Sebab rumah ini milik kakak saya, bisa jadi itu hanya akal-akalan orang yang tidak bertanggungjawab untuk mengacaukan kehidupan keluarga kakak saya?"
Laki-laki itu menatap Septi, kemudian menjawab pertanyaan Septi tanpa ragu.
"Oh, itu, yang memberikan perintah ini ibu Mentari. Dan asal Anda tahu, beliau lah pemilik rumah ini. Sebelum menjalankan tugas, tentu kami akan memeriksa kebenarannya terlebih dahulu sebab kami tidak ingin berurusan dengan pihak yang berwajib karena sudah menghancurkan rumah orang lain. Tapi karena rumah ini benar milik ibu Mentari, jadi kami bersedia menjalankan tugasnya," tegas laki-laki itu membuat Septi mengepalkan tangannya.
"Mentari? Dasar perempuan gila. Sialan. Brengsekkk. Apa sih mau perempuan itu sebenarnya? Mas, kamu ngomong dong, jangan bengong aja kayak ayam sayur gitu!" bentak Erna yang sudah naik pitam.
"Kak Shandi, ayu bilang, Tari itu cuma mau ngaku-ngaku aja. Rumah ini rumah kakak kan? Dari mana coba dia uang sebanyak itu untuk beli rumah sebesar ini? Mau jadi jalaaang seumur hidup pun tetap kagak mungkin," sinis Septi dengan api kebencian menyala-nyala. Bahkan ia sudah tak mau memanggil Mentari mbak lagi.
"Shandi, kamu kenapa sih? Ayo, buruan bilang ke orang-orang itu kalau pemilik rumah itu kamu, bukan si perempuan mandul itu!" bentak Rohani yang sudah kesal bukan main melihat putranya hanya terdiam. "Septi, telepon perempuan mandul itu, mama mau bicara sama dia!" titahnya pada Septi yang langsung diangguki Septi.
Baru saja Septi hendak menekan sebuah nama di layar ponselnya, tiba-tiba terdengar suara yang begitu familiar di telinganya datang mendekat dan menyapa mereka semua.
"Hai, semuanya? Pasti lagi pada nungguin aku ya? Duh, udah kangen banget nih kayaknya sama aku!" seloroh Mentari dengan wajah cerianya. Ia tidak datang sendiri. Ada seorang wanita dengan style kantoran kemeja, blazer, dan celana bahan tapi berwajah sangat datar ikut berjalan di belakangnya dengan sebuah map di tangan.
Melihat kehadiran Mentari, Septi segera saja meringsek ke depan ingin menampar wajah Mentari, tapi perempuan yang berjalan di belakang Mentari justru bergerak lebih cepat dan menahan tangan Septi kemudian menghempasnya keras hingga ia hampir terjungkal ke belakang kalau tidak ada Rohani menahan tubuhnya.
"Wow, mantan adik iparku ternyata ganas juga, hm! Ah, emang dari dulu deh kayaknya!" kekeh Mentari sambil tersenyum lebar.
"Tari, apa-apaan kamu mau mengusir Shandi dari rumah ini, hah? Kau pikir kau siapa? Seenaknya mengakui rumah ini sebagai rumahmu, emangnya mau dapat uang dari mana bisa membeli rumah ini, dasar benalu tak tahu malu!" hardik Rohani dengan tatapan nyalang. Seandainya tatapan itu bisa membolongi, sudah pasti tubuhnya sudah penuh dengan lubang-lubang karena tatapan bak laser itu.
Mentari terkekeh geli. Ia berjalan sambil menyibak rambutnya ke samping telinga membuat Erna yang melihatnya berdecih.
"Cih, dasar sok cantik!"
"Aku memang cantik, so what?" seloroh Mentari sambil terkekeh. "Apa tadi katamu ibu Rohalus? Eh ... maksud saya ibu Roha-ni. Hehehe ... Kau pikir aku siapa? Aku? Aku ya pemilik sah rumah ini, memangnya kenapa?"
"Nggak usah mimpi kamu, sialan. Memangnya dapat yang dari mana kamu bisa beli rumah ini? Jual diri?" bentak Rohani.
"Tutup mulut Anda, Nyonya? Saya bisa saja langsung merobek mulut Anda kalau sekali lagi Anda menghina atasan saya!" hardik perempuan yang sedari tadi menjaga Mentari. Dia adalah Belinda, asisten pribadi Mentari. Ia bukan hanya pintar tapi juga jago beladiri. Ia direkomendasikan oleh Jeanara untuk membantu dan menjaganya kemanapun pergi dan Mentari pun menyambutnya dengan senang hati. Saat ini, ia memang membutuhkan sosok seperti Belinda.
"Wow, pake bodyguard segala! Pasti dia dipekerjakan sugar Daddy mu kan?" tuding Septi sesuka hati.
Belinda hendak maju dan memberi pelajaran dengan Septi, tapi Mentari menahannya.
"Apa katamu tadi? Aku jual diri? Aku heran, kenapa sih mulut kalian ini tak ada manis-manisnya? Selalu saja berasumsi dan berprasangka buruk padaku? Padahal apa kurangnya aku selama ini? Padahal aku sudah lakukan segalanya demi membahagiakan kalian, tapi apa? Apa yang aku dapat? Hanya cemoohan dan caci maki yang tiada henti? Kalian mau tahu siapa aku? Tanya aja sama karyawanku ini, siapa aku? Anda tahu kan siapa saya pak Shandi? Atau kau tiba-tiba amnesia? Ah, sudahlah, lupakan sejenak pembahasan ini. Kalian bisa bertanya tentang aku dari bapak Shandi ini nanti. Tapi saya ingin menegaskan satu hal, memangnya gaji anak Anda ini sebesar apa sih sampai-sampai bisa membeli rumah seharga 1,5 milyar ini? Bahkan gajinya selama 10 tahun saja masih belum cukup untuk membelinya, apalagi hanya dalam 2 tahun? Apalagi rumah ini beli cash lho! Otak Anda ada dimana sih? Oh, mungkin udah dicolong tikus kali ya?" seloroh Mentari tetap dengan gaya anggunnya.
Jelas saja, apa yang dikatakan Mentari tadi membuat mulut mereka semua menganga tak percaya.
"Nggak percaya? Mari saya buktikan!"
Lalu Mentari mengulurkan tangannya. Sedetik kemudian, sebuah map bukti kepemilikan dan bukti pembayaran saat rumah itu pertama kali dibeli telah berada di tangan Mentari. Kemudian Mentari membuka lebar-lebar isi dokumen itu.
"Lihat, pemilik, Mentari Dwi Pertiwi. Dan ini bukti pembelian yang saya bayar cash pakai cek senilai 1,5 Milyar. So, masih belum percaya?"
Sontak saja, mata Rohani, Septi, dan Erna terbelalak saat melihat nominal yang tertera di dalam berkas-berkas itu.
"Kamu pasti bohong kan? Itu nggak mungkin, gimana mungkin kamu bisa membeli rumah semahal itu?"
"Ya tentu bisa lah, penghasilan aku dari perusahaan aku aja main M-M'an perbulannya. Aku aja bisa gaji orang ratusan, masa' cuma beli seharga gitu aja nggak bisa. 1,5 M itu ketchilll!" ujar Mentari sambil memainkan dalam pengucapan kecil dan menjentikkan jarinya. "Lha, si mas mantan suami aku aja kerjanya di perusahaan aku lho, benar kanas mantan?" seloroh Mentari sambil memasang senyum mengejek membaut Shandi tertunduk malu.
"Hahaha ... halumu ketinggian, Tari. Kamu ?" tunjuk Septi, "pemilik perusahaan tempat kak Shandi bekerja? Mimpimu kelewatan banget. Hahaha ... "
"Ya udah kalau nggak percaya, aku nggak masalah kok. Yang penting, segera tinggalkan rumah ini karena aku ingin rumah ini segera diratakan dengan tanah. Aku tak rela rumah yang ku beli dengan keringatku dihuni oleh para manusia benalu seperti kalian!" sinis Mentari seraya tersenyum miring. Entah sudah berapa banyak ekspresi yang Mentari tunjukkan hari ini, yang pasti, senyuman kali ini benar-benar terlihat sangat mengerikan.
"Tari, mas mohon, jangan hancurkan rumah ini? Kalau rumah ini hancur, mas harus kemana? Bagaimana dengan mas, Tari? Mas, mohon!" Akhirnya Shandi mulai mengeluarkan suaranya walaupun sedikit tercekat sebab ia tak tahu harus pulang kemana bila rumah ini dihancurkan.
"KAU BERTANYA PADAKU ANDA AKAN KEMANA BILA RUMAH INI DIHANCURKAN? APA KAU BERPIKIR KEMANA AKU PERGI SAAT AKU KELUAR DARI RUMAHKU SENDIRI, HAH? IYA, KAU MEMANG MENAHANKU, TAPI KAU MENAHANKU UNTUK TINGGAL BERSAMA WANITA MURAHAN ITU DALAM SATU ATAP? KAU BERNIAT MENJADIKANKU BABU DI RUMAHKU SENDIRI? HEI, OTAKKU MASIH WARAS YA! KAU PIKIR AKU MAU HIDUP SATU ATAP DENGAN JALAANG ITU KEMUDIAN DIPERBUDAKNYA? SORRY YA! NGGAK SUDI. DAN KINI GILIRAN KALIAN YANG PERGI DARI RUMAH INI AGAR KALIAN PUN MERASAKAN APA YANG KURASA SAAT ITU!" bentak Mentari dengan nafas memburu menahan emosi yang membuncah. Seandainya kepala Mentari dapat mengeluarkan api, mungkin semua orang kini sudah terbakar karena emosi Mentari yang meletup-letup.
"Tapi Tari, bukankah rumah ini penuh dengan kenangan indah kita? Bagaimana kau begitu tega menghancurkannya begitu saja?" Shandi tetap berusaha berjuang agar Mentari membatalkan niatnya menghancurkan rumah megah mereka.
Mentari lantas terkekeh sampai-sampai sudut matanya mengeluarkan air mata. Ia benar-benar merasa geli saat ini.
"Bapak Shandi yang terhormat, perlu diingat, di rumah ini, aku bukan hanya mendapatkan kenangan indah, tapi juga sekaligus menyakitkan atau lebih tepatnya mimpi buruk. Jadi, sekalian saja aku hancurkan seperti hancurnya hatiku karena perbuatanmu dan keluargamu. Biar saja, semuanya hancur lebur menjadi serpihan yang tak mungkin bisa disatukan kembali seperti perasaanku yang telah luluh lantak tak bersisa karena pengkhianatanmu," tegas Mentari dengan sorot mata penuh dendam dan amarah. "Asal kau tahu, aku tidak akan berbuat sampai sejauh ini seandainya kalian tidak lagi mengusikku. Tapi ... nyatanya kalian masih saja seolah tidak pernah puas untuk menyakitiku. Kau, ibumu, adik perempuanmu, dan istrimu, kalian sudah benar-benar jahat padaku. Jadi jangan salahkan aku kalau berbuat nekat. Aku ... tidaklah sebaik itu untuk selalu bersabar dan mengalah."
Usai mengucapkan itu, Mentari pun segera angkat kaki dari sana.
"Lanjutkan perintahku tadi, pak. Waktu terus bergulir, ingatkan mereka untuk segera angkat kaki sebelum barang mereka ikut dihancurkan!" titah Mentari tegas.
"Baik, Bu." jawab laki-laki berjaket hitam tadi.
"Saya hitung satu jam mulai dari sekarang agar kalian segera berbenah. Dan kalian ... " tunjuk laki-laki itu pada anak buahnya. "Angkut semua perabotan dan masukkan ke dalam mobil kemudian bawa ke lokasi pelelangan!"
"Nggak, kalian nggak bisa lakukan itu! Nggak, berhenti! Aku bilang berhenti!" teriak Erna seperti orang gila.
"Tari, mas tahu mas, salah, mas mohon maafkan, mas? Atau perlu mas ceraikan Erna agar kau mau kembali pada, mas?" bujuk Shandi yang mencoba mengejar Mentari tapi Mentari justru tak acuh saja.
"Mas," pekik Erna geram saat mendengar Shandi akan menceraikannya agar dapat kembali dengan Mentari.
Setelah Mentari berada di dalam mobil, tiba-tiba ada yang memanggilnya, Mentari pun segera menoleh, "mbak Tari," panggil seseorang membuat Mentari tersenyum.
"Tian, apa kabar kamu, hm?"
"Kabar Tian, baik mbak. Mbak juga kan?"
"Iya, mbak juga," jawab Mentari seraya tersenyum lebar.
"Mbak, maafin Tian ya yang nggak bisa belain mbak saat kak Shandi, mama, sama mbak Septi bersikap nggak adil sama mbak Tari."
"Udah, mbak nggak papa kok. Lagipula, mbak nggak nyalahin kamu kok. Kamu fokus belajar aja ya! Mbak akan tetap biayain sekolah kamu. Kalau ada apa-apa, hubungi aja kakak ke nomor ini!" tukas Mentari seraya menyerahkan kartu namanya pada Septian.
"Makasih ya mbak, atas segalanya."
Setelah sedikit berbincang, akhirnya Mentari pun segera pergi dari sana meninggalkan orang-orang yang tampak begitu panik karena waktu yang kian menipis.
...***...
Jam 00.06, baru kelar ngetik. 🥱
Tidur dulu ya! See you on the next chapter.
Jangan lupa dukungannya yaaaa biar makin semangat ngetiknya! 🤩🤩🤩
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...
nyirih tu era 80an deh.. entahlah klo emak2 suku pedalaman
atau bnyk novel istri tua diusir malam² trus hujan deras ditengah jln diseruduk banteng eh mobil, bukannya berteduh dl di teras atau numpang rmh ttangga yg paliing dekat dg dia atau mushola.. malah jln hujan deras basah2an, bikin nyengir drama..
atau pas istri pergi tak bw perhiasan dan tabungan yg mmg hak pribadi pemberian nafkah suami..mau2nya merugikan diri..lagi2 template ah elap 😅
Tq athur,ceritanya bagus/Good//Good//Good/