NovelToon NovelToon
The Unfinished Story

The Unfinished Story

Status: tamat
Genre:Tamat / Reinkarnasi / CEO / Time Travel / Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Firaslfn

Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.

Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.

Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.

Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34: Masa Kini yang Pudar

Elyana berdiri di tengah-tengah ruangan yang berkilauan dengan lampu neon biru dan merah. Suasana di sekitar seakan bergetar, mengisi udara dengan energi aneh yang membuatnya merasa terombang-ambing. Dia menatap tangan kirinya, merasakan goyangan ringan seiring dengan detak jantungnya yang tak stabil. Layar-layar digital di dinding memperlihatkan aliran data yang begitu cepat, seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti. Setiap angka, setiap simbol, semakin tampak kabur di matanya.

"Kenapa semua ini terasa begitu asing?" gumam Elyana, suaranya serak, seakan berada dalam ruang yang semakin sempit. Ia melangkah ke arah layar besar di depannya, berharap menemukan sesuatu yang bisa mengingatkan dirinya tentang tujuan mereka. Tapi saat dia membaca angka-angka yang berputar cepat, bayangan masa depan yang seharusnya jelas dan terang menjadi samar dan kabur, seperti bercak air di kaca yang digosok dengan tangan basah.

Davin berdiri di dekatnya, memerhatikan ekspresi Elyana yang berubah dari cemas menjadi bingung. Dia bisa merasakan ketegangan di tubuh Elyana, keheningan di antara mereka yang menjadi semakin berat.

"Elyana, apakah kamu baik-baik saja?" tanya Davin, suara khawatirnya membangkitkan sedikit kesadaran di dalam dirinya. Elyana mengalihkan pandangannya ke Davin, matanya yang biasanya tajam kini seperti berusaha menembus dinding kabut yang semakin tebal di benaknya.

"Aku... aku tidak tahu, Davin," jawab Elyana, suaranya seakan terputus di tengah-tengah. Wajahnya berubah, seakan ada ketakutan yang mendalam yang mulai merayap masuk, mengisi setiap sudut hatinya. "Semua ini mulai terasa tidak nyata. Seperti aku mulai kehilangan bagian-bagian dari masa depan yang aku ketahui."

Davin terdiam sesaat, memproses apa yang baru saja Elyana katakan. Kehilangan ingatan tentang masa depan—itu adalah sesuatu yang tidak pernah dia duga. Dia tahu bahwa mereka berhadapan dengan ancaman yang lebih besar dari yang mereka bayangkan, tetapi melihat Elyana dalam keadaan seperti ini membuatnya merasa cemas.

"Kita perlu pergi dari sini. Sekarang," kata Davin, lebih tegas dari sebelumnya. Dia meraih tangan Elyana, merasakan gemetar di telapak tangannya. "Kita harus mencari tahu apa yang terjadi pada kamu dan mengembalikan segala sesuatu sebelum terlambat."

Elyana mengangguk lemah, dan meskipun matanya masih penuh kebingungan, ada sebuah kedamaian sejenak ketika dia merasakan kehangatan tangan Davin yang menyentuhnya. Dengan langkah yang terhuyung, mereka mulai berjalan menjauhi pusat kendali yang berkilauan itu. Setiap langkah semakin terasa berat, seperti berjalan di atas pasir basah yang tak bisa dia atasi.

Ketika mereka keluar dari lorong-lorong gelap dan berjalan menuju ruang yang lebih terang, bayangan masa depan yang sempat terang di benak Elyana mulai memudar sepenuhnya, menyisakan hanya kegelapan yang menggantung di atasnya. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang bahkan tak bisa dia pahami—dan itu membuatnya semakin takut.

"Jangan khawatir," Davin berbisik, seakan membaca pikirannya. "Kita akan menemukan jalan keluar dari ini. Aku janji."

Namun, dalam hati Elyana, ada pertanyaan yang terus mengganggu, sebuah teka-teki yang tak dapat dipecahkan: Apakah masa depan yang aku kenal benar-benar ada, ataukah semuanya hanya ilusi yang akhirnya akan menghilang seperti angin?

Davin memandang Elyana dengan intens, berusaha membaca ekspresi di wajahnya yang penuh kebingungan. Ia tahu bahwa waktu mereka semakin sempit; ancaman Kardinal Nocturne tidak akan menunggu mereka untuk mengatur strategi. Namun, melihat Elyana seperti ini membuatnya merasa cemas. Tidak hanya untuk keselamatan mereka, tetapi juga untuk kesejahteraan mental Elyana yang semakin rapuh.

"Apakah kamu ingat apa yang terjadi sebelum kita sampai di sini?" Davin bertanya, mencoba meraih potongan-potongan ingatan yang mungkin bisa membantu. Elyana mengerutkan dahi, matanya yang mulai kabur memandang sekeliling ruang yang kini tampak semakin asing.

"Aku... aku tidak tahu," jawabnya, suaranya hampir tak terdengar. "Aku hanya ingat, kita berlari dari sesuatu yang besar dan menakutkan... tapi detailnya, semuanya mulai pudar."

Davin menarik napas dalam-dalam. Di luar sana, dunia masih dipenuhi ancaman, tetapi di dalam dirinya, rasa takut untuk kehilangan Elyana jauh lebih menakutkan. Ia menyadari bahwa sekarang, lebih dari sebelumnya, mereka perlu melawan bukan hanya musuh mereka, tetapi juga ketidakpastian yang menggerogoti pikiran Elyana.

"Baiklah, kita harus ke tempat aman. Aku akan melindungimu, tidak peduli apa pun yang terjadi," kata Davin, matanya penuh tekad.

Elyana menatapnya, merasa hangat sejenak di dalam hatinya. Meskipun semua yang ada di sekitarnya terasa asing dan kabur, ada satu hal yang tetap jelas: Davin. Keberadaannya, suaranya, dan komitmennya untuk melindunginya. Itu adalah satu-satunya kepastian yang masih bisa dia pegang.

Mereka melangkah keluar dari gedung yang berkilauan itu, menembus jalanan kota yang hening di bawah sinar bulan yang pucat. Keheningan malam seolah menjadi saksi bisu bagi perjalanan mereka yang penuh teka-teki. Setiap langkah Elyana terasa seperti berjalan di atas es tipis—setiap momen, setiap napas, berpotensi menjadi yang terakhir.

Tiba-tiba, suara gemuruh mesin di kejauhan membangunkan kesadaran Elyana. Dia menoleh, melihat kendaraan-kendaraan yang berkilauan dengan lampu-lampu neon biru dan merah. Semakin lama, suara itu semakin dekat, memecah keheningan malam. Sebuah perasaan janggal mengalir dalam dirinya, seolah-olah dia mengenali suara itu. Tapi di sisi lain, suara itu tampak asing dan menakutkan, seiring dengan ingatan yang semakin menjauh.

"Davin, aku merasa... seperti ada yang salah," Elyana berkata, gemetar. Pandangannya mulai kabur, tetapi di dalam kepalanya, potongan-potongan gambar mulai saling berhubungan. Wajah yang dikenal, suara yang menusuk, dan wajah yang penuh dengan kebencian. Semua ini melawan logika dan membuat kepalanya berputar.

Davin meraih lengan Elyana, memaksanya untuk melihat ke matanya. "Jangan pikirkan itu sekarang. Fokus pada aku. Kita akan mencari tempat aman."

Namun, suara di dalam kepalanya semakin menguat. Sebuah bisikan, samar namun jelas, seperti ombak yang menggulung di pantai. Jangan percayai siapa pun... mereka tidak seperti yang kamu kira. Elyana menggigil, merasakan ketakutan yang begitu dalam hingga membuatnya hampir tidak bisa bernapas.

"Ada sesuatu yang aku lupakan, Davin," katanya, matanya penuh dengan keputusasaan. "Aku merasa seperti aku sedang kehilangan diriku sendiri."

Davin mengeratkan pelukannya, memberi Elyana rasa aman yang mungkin terakhir kali ia rasakan. "Kita tidak akan membiarkan itu terjadi, Elyana. Aku berjanji, aku akan menemukan cara untuk membawamu kembali."

Namun, dalam kegelapan malam yang menyelimuti mereka, rasa takut yang semakin menguasai Elyana menyimpan rahasia yang belum terungkap—sebuah kebenaran yang bisa mengubah segalanya.

Elyana merasakan tubuhnya semakin lemas di pelukan Davin. Suara gemuruh mesin semakin mendekat, menambah ketegangan yang menggantung di udara. Suasana malam yang seharusnya tenang kini dipenuhi dengan ancaman yang tak terlihat.

“Davin...” suara Elyana hampir hilang, diiringi oleh rasa cemas yang semakin mencekamnya. Di dalam kepalanya, gambaran-gambaran samar mulai bersatu. Wajah-wajah yang pernah dia kenal, kata-kata yang tak pernah dia ucapkan, dan sebuah nama yang terngiang-ngiang di pikirannya: Ryo.

“Elyana, dengarkan aku,” Davin berkata, suaranya lebih keras, mencoba mengusir kebingungan yang menelan wanita di hadapannya. “Kita harus bergerak. Jika tidak, kita akan terjebak di sini.”

Elyana mengangguk perlahan, meskipun pandangannya masih kabur. Dia berusaha mengingat setiap detail, tetapi semuanya mulai bercampur aduk, seakan-akan aliran ingatan itu hilang satu per satu. Di luar, kendaraan-kendaraan itu sudah hampir tiba di tempat mereka, suara mesin mereka memecah kesunyian malam dengan keras. Tiba-tiba, lampu-lampu di jalanan berkedip, menyorot wajah Davin dengan bayangan yang tidak alami.

“Davin, aku... aku merasa seperti ada sesuatu yang sudah lama aku lupakan,” katanya, suaranya bergetar. Rasa takutnya semakin dalam, seperti gelombang yang menariknya ke dasar laut.

Davin menatap Elyana dengan penuh perhatian, hatinya seolah terbelah melihat wanita yang telah dia perjuangkan, terjebak dalam ketakutan yang tak bisa dia pahami sepenuhnya. Dia mengulurkan tangannya, meraih wajah Elyana dan memaksa agar mereka saling menatap. “Jangan biarkan dirimu terjebak dalam ketakutan itu. Ingat, kita melawan ini bersama. Kamu tidak sendirian, Elyana.”

Tapi Elyana tahu, di dalam benaknya, ada bisikan yang semakin keras, seperti suara angin yang menggelegar. Jangan percaya pada siapa pun, bahkan dia. Suara itu mengganggu, membuat dadanya sesak. Sepertinya dia sudah mendengar peringatan itu sebelumnya, di waktu yang sangat jauh dan kini hampir terlupakan.

Saat kendaraan-kendaraan itu berhenti di ujung jalan, sebuah bayangan gelap melintas di bawah sinar lampu. Dari dalam kegelapan, seorang pria muncul dengan langkah yang tegas, matanya seperti api yang tak bisa padam. Elyana tahu siapa itu. Itu adalah sosok yang muncul dalam mimpi-mimpinya, sosok yang kini memimpin apa yang seharusnya menjadi kekuatan kegelapan yang mendominasi.

“Kardinal Nocturne,” bisik Elyana, suaranya hampir tidak terdengar. Jantungnya berdetak lebih kencang, membuatnya hampir kehilangan kendali.

Davin menggertakkan giginya. “Kita tidak bisa tinggal di sini. Ayo, sekarang!” Ia menarik Elyana menjauh dari jalanan, mencoba mencari jalan keluar yang bisa menyelamatkan mereka.

Tapi langkah mereka tertahan saat bayangan itu bergerak cepat, menghalangi jalan keluar mereka. Sosok itu memandang Elyana dengan mata yang tajam, seolah menembusnya. “Kamu akhirnya datang. Aku sudah menunggu terlalu lama, Elyana,” kata suara itu, penuh dengan kepastian.

Elyana merasa semua yang ada di sekelilingnya mulai pudar. Pandangannya semakin gelap, dan perasaan aneh menyelimuti dirinya. Sepertinya ini bukan pertama kalinya dia berada dalam situasi ini. Dia pernah mengalami ini sebelumnya, di waktu yang jauh sebelum semuanya menjadi begini.

Di dalam kebingungan itu, satu hal yang Elyana tahu pasti—dia harus membuat pilihan. Tetapi pilihan apa yang benar di dunia di mana ingatan dan kenyataan saling bertabrakan?

Elyana menatap pria itu, jantungnya berdegup sangat kencang seolah hendak melonjak keluar. Setiap otot di tubuhnya menegang, seakan merespons ancaman yang dihadapinya. Bayangan pria itu semakin mendekat, dan hanya satu hal yang dia tahu: dia harus bertahan, apapun yang terjadi.

“Davin, jangan biarkan dia mendekat!” seru Elyana, suaranya penuh panik. Namun, seiring dengan kebingungannya yang meningkat, bayangan itu semakin jelas, menampilkan senyuman dingin yang seolah ingin menelan segalanya.

Davin menyiapkan diri, tangan kanannya meraih pisau kecil yang disimpan di balik jasnya. Matanya tak pernah lepas dari pria itu, berusaha menilai setiap gerakan yang bisa menjadi ancaman. “Elyana, dengarkan aku, kita harus menemukan cara untuk keluar dari sini. Sekarang!”

Tapi kata-kata Davin terdengar seperti gema yang teredam di telinga Elyana. Dia menatap pria itu, yang kini semakin dekat, hingga jarak di antara mereka hanya beberapa langkah. Wajahnya terasa sangat asing, namun juga akrab, seperti kenangan yang tak pernah sepenuhnya menghilang.

“Apa yang terjadi di sini?” tanya Elyana, suaranya gemetar.

Pria itu mengangkat tangan, dan dalam sekejap, aura gelap mulai mengalir dari telapak tangannya, membentuk lingkaran hitam berkilau yang melingkupi tubuh Elyana dan Davin. Mereka berdua terhenti seketika, tubuh Elyana terasa seolah terjepit oleh kekuatan tak terlihat.

“Kenapa aku merasa sudah tahu tentang semua ini?” Elyana berbisik, kepalanya pusing dengan suara-suara yang semakin keras. Di dalam kepalanya, seolah ada bayangan-bayangan yang mengalir, potongan-potongan kenangan yang mulai hilang—kenangan yang menuntunnya pada sosok ini. “Siapa... siapa aku?”

Pria itu hanya tersenyum sinis, matanya berkilat penuh kemenangan. “Kamu tidak mengingatku, Elyana? Sayang sekali. Seharusnya, kamu sudah tahu siapa yang sebenarnya mengendalikan semuanya.”

Tiba-tiba, suara yang lebih dalam dan tegas terdengar dalam kepalanya. Elyana, jangan biarkan dia menguasaimu. Ingat siapa kamu.

Elyana menggigit bibirnya, mencoba menahan sakit kepala yang mencekam. Segalanya mulai jelas dalam kabut kebingungan yang mengelilinginya—kenangan yang hilang, sebuah perasaan terputus, dan sosok di depannya yang seharusnya dikenal baik olehnya. Ini adalah pertarungan antara ingatan yang pudar dan kenyataan yang semakin mengancam.

“Davin!” Elyana menatap Davin dengan mata yang dipenuhi tekad, meskipun matanya berkaca-kaca. “Aku ingat sekarang. Aku... aku harus menghadapinya sendiri.”

Davin menatap Elyana dengan cemas. “Elyana, tidak! Jangan sendirian!”

Tapi Elyana hanya menggeleng, air mata mengalir di pipinya. “Ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang aku, siapa aku, dan kenapa aku harus berdiri di sini. Aku harus menghentikannya, Davin. Aku harus melawan masa lalu yang menghantui kita.”

Davin ingin berkata sesuatu, tetapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Dia tahu apa yang harus dilakukan, tetapi hatinya berteriak untuk melindungi Elyana. Di saat-saat terakhir ini, dia hanya bisa berharap bahwa Elyana cukup kuat untuk menghadapi apa pun yang menantinya.

Pria itu melangkah lebih dekat, tatapan matanya mengintimidasi, namun di baliknya ada sebuah kebijaksanaan yang mengerikan. “Waktumu sudah habis, Elyana. Sekarang, buktikan siapa dirimu yang sebenarnya.”

Elyana menarik napas dalam-dalam, menahan rasa takut yang semakin menjalar di tubuhnya. Dengan satu langkah berani, dia maju ke depan, bersiap menghadapi masa depan yang masih pudar namun kini mulai terungkap.

...****************...

1
lena09
ceritanya baguss🎉🎉
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!