Zefanya Alessandra merupakan salah satu mahasiswi di Kota Malang. Setiap harinya ia selalu bermimpi buruk dalam tidurnya. Menangisi seseorang yang tak pernah ia temui. Biantara Wisam dosen tampan pengganti yang berada dalam mimpinya. Mimpi mereka seperti terkoneksi satu sama lain. Keduanya memiliki mimpi yang saling berkaitan. Obat penenang adalah satu-satunya cara agar mereka mampu tidur dengan tenang. Anehnya, setiap kali mereka berinteraksi mimpi buruk itu bak hilang ditelan malam.
Hingga sampai saat masa mengabdinya usai, Bian harus kembali ke luar negeri untuk menyelesaikan studinya dan juga merintis bisnis. Saat keberangkatan, pesawat yang diduga ditumpangi Bian kecelakaan hingga menyebabkan semua awak tewas. Semenjak hari itu Zefanya selalu bergantung pada obat penenang untuk bisa hidup normal. Mimpi kecelakaan pesawat itu selalu hadir dalam tidurnya.
Akankah harapan Zefanya untuk tetap bertemu Bian akan terwujud? Ataukah semua harapannya hanya sebatas mimpi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Harti R3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Emang Boleh Bolos Bareng?
Hari itu bertepatan pulang dengan hari keberangkatan kakaknya ke Singapore. Bian dimintai tolong kakaknya untuk mengantar ke bandara. Sementara kakak iparnya menginap di rumah orang tuanya di perbatasan kota.
“Baik, Pak. Saya sedang di bandara,
pesawatnya mengalami delay, jadi kemungkinan siang baru stay di Singapore. Ya, baik Pak.”
“Berapa hari di Singapore?”
“Belum pasti, tergantung kliennya.”
Jadwal keberangkatan kakaknya mengalami keterlambatan. Tak sengaja ia melihat ke arah lain dan menemukan sosok Zizi di sana. Ia melihat sepasang suami-istri yang tergolong masih muda dan juga cowok yang menjemput Zizi akhir-akhir ini. Terlihat seperti keluarga cemara.
Bian duduk di kursi tunggu, sesekali menoleh ke kakaknya yang tengah sibuk dengan obrolan ponsel. Terdengar sayup-sayup obrolan diantara Zizi dan lainnya.
Ayah sama Ibu berangkat dulu.
Benar seperti dugaannya, mereka adalah keluarga dan cowok itu adalah Jeff, kakak Zizi. Ternyata ia salah sangka selama ini tentang hubungan Zizi dengan kakaknya. Tak dipungkiri, Jeff memiliki paras rupawan, jangkung, perhatian tiada batas untuk Zizi. Rasanya iri ketika Bian melihat Zizi dan kakaknya.
Jaga diri baik-baik. Teruslah mengganggu semau loe. Aku hanya kuliah, menrintis bisnis......dan membalas pesanmu.
Tersenyumlah, itu lebih cantik untuk wajahmu.
“Gue gak nyangka, ada kakak cowok semanis itu sama adiknya. Adik kecil? Sebutan yang membuatku iri.”
“Loe ngomong sama siapa sih?” tanya kakaknya mengagetkan.
“Monolog.” Jawab Bian singkat dan mencoba tetap cool meski kaget.
Pesawat dengan penerbangan nomor xxx.....
“Gue masuk dulu, pesawatnya udah dateng tuh.”
“Oke, safe flight.”
Bertepatan dengan itu pula, pesawat Jeff siap berangkat. Tak sengaja pula Bian melihat Zizi dipeluk begitu erat oleh Jeff. Sontak ia berdecih, mengedarkan pandangan ke sekitar. Entah mengapa dadanya terasa terbakar api cemburu melihatnya. Meskipun ia tau hubungan mereka kakak beradik, namun hatinya tak sanggup menerima. Jeff pun selalu melihat ke belakang saat memasuki bandara. Ia juga mengisyaratkan senyuman dengan tangannya.
Setelah Jeff masuk, dilihatnya Zizi menangis di sana. Entah apa yang mengganggu pikirannya. Bian kemudian membeli tisu dan air mineral untuk Zizi. Dengan hati-hati Bian melangkah dan berdiri tepat di depan Zizi yang tengah terisak. Meyodorkan sebuah tisu kepada Zizi. Pandangan mereka bertemu kala Zizi mendongak ke arahnya.
“Kau sudah terlalu lama menangis. Tersenyumlah, itu lebih cantik untuk wajahmu.”
Zizi mengambil tisu yang diberikan Bian, sesegera mungkin menghapus air mata yang membasahi pipinya.
“Pak Bian ngapain di sini?”
“Nemenin kamu.” Jawabnya enteng. “Kamu sendiri ngapain nangis di sini?”
“Bukannya bapak ada jam?
Bian terdiam. Ia senderkan tubuhnya dikursi bandara. Kedua mata Zizi mengikuti pergerakannya. Ia tampak sedang berpikir.
“Kamu udah makan?”
Zizi menoleh, menggelengkan kepala. Bian mengangkat tangan kirinya, melihat jam. 08.30.
“Mau ke kampus pun kayaknya gak cukup waktu. Makan aja yuk.”
“Emang boleh?”
“Apanya?”
“Bolos bareng dosen?”
“Kamu udah ijin ke saya gak masuk. Saya udah ijin Jordy gak ada kelas hari ini. Jadi dimana masalahnya? Kita kan gak sengaja ketemu di sini.” Ia mengendikkan kedua bahunya.
“Hah? Sinting juga lama-lama nih dosen.” Ujarnya lirih memalingkan muka.
“Kamu bilang apa tadi?” mencoba melihat wajah Zizi.
Zizi menoleh, ia kaget melihat wajah Bian yang telah sejajar dengan wajahnya, menatapnya lurus. Ia mencoba menyembunyikan salah tingkahnya, namun rona merah wajahnya tak bisa diajak kompromi.
“Engga ada. Ayo makan.” Ia berdiri dan berjalan meninggalkan Bian. Memegangi dada dan pipinya. Ia merasa begitu gugup. “waaah apa yang terjadi?”
“Akhirnya, bisa melihat kepiting rebus bersemayam di wajahmu.” Tersenyum kecil dan segera menyusul Zizi.
Di sepanjang perjalanan Zizi kembali terdiam. Ia mengutak-atik ponselnya, menggulir ke bawah, ke atas. Entah apa yang ia lakukan. Masihkah ia terlarut sedih atau merasa gugup bersama Bian?
“Mau makan kepiting rebus?” Tiba-tiba Bian membuka suara.
Zizi menghentikan aktivitasnya, melirik Bian dan kembali mengulir ponselnya tanpa menjawab pertanyaan Bian. Tiba-tiba ponselnya berdering. Kak Jeff.
--- Udah sampai Kak? ---
--- Baru aja turun, rehat dulu satu jam. Udah balik? ---
--- Lagi di jalan. Kak Jeff udah sarapan? ---
--- Sama siapa? ---
Zizi melihat ke Bian
--- Mmm temen. Temen kampus. ---
--- Ganti vc, gue pengen liat orangnya. ---
--- Kenapa gitu? ---
--- Buruan. ---
Zizi mengubah panggilan menjadi vc. Tentu saja suara obrolan terdengar lantang. Ponsel Bian berdering, dia mengangkat panggilan disela-sela Zizi menerima telepon.
--- Kak Jeff diam sebentar, temenku lagi angkat telpon. ---
Jeff menyanggupi permintaan Zizi. Sesekali Zizi melihat ke arah Bian yang mengobrol serius via ponsel. Ia juga memperhatikan Jeff yang diam namun seolah menelisik sesuatu. Ia menaikkan satu alisnya mengisyaratkan bertanya, mengapa Jeff menjadi turut serius mendengarkan.
“Kenapa ngobrolnya berhenti?”
“Oh..gapapa. Mencoba memberi ruang orang yang sedang mengangkat panggilan, karena kakakku sangat berisik.”
--- Uhukkk! Ya! ---
Bian kaget ternyata panggilan Zizi tidak di-mute. Dia berdehem bahkan menutup mulutnya.
“Sorry. Saya pikir panggilannya di-mute.” Ucap Bian lirih hampir tak bersuara. Zizi hanya menarik nafas panjang dan siap mendapat omelan. Benar juga kenapa tadi dia tidak kepikiran untuk mematikan suara panggilan.
--- Ya! Kak Jeff gapapa? Apa cangkang kepitingnya ikut masuk mulut? ---
Bian mencoba menahan ketawanya dengan membungkam mulutnya dan melihat ke arah luar.
--- Minum dulu gih, biar gak nyangkut. ---
--- Gue jitak kepala loe yaa! Udah gue matiin dulu, yang ada piringnya ikut masuk kalo ngeladenin loe! ---
Panggilan dimatikan Jeff sepihak. Zizi mengerjap-ngerjapkan matanya dan menggelengkan kepalanya.
“Jadi dia Kak Jeff yang buat kamu nangis waktu itu?” tanya Bian sambil tertawa kecil.
“Hmm. Dia sangat menyebalkan, cerewet, protektif dan membuatku gila.”
“Kocak juga ternyata. Kamu tau? Kamu sangat beruntung.”
“Beruntung?”
“Hmm. Kakakmu sangat menjagamu, dia tulus menyayangimu. Dia keren juga.” Zizi menoleh diikuti Bian. “Ya saya akui kakakmu keren. Saya lihat di bandara dia bak superhero untuk adiknya. Bahkan dia tetap menyebutmu adik kecil.”
“Pak Bian ngikutin saya?” melihat Bian yang fokus mengemudi.
“No.” Ia menghentikan mobilnya karena lampu merah. “Seperti yang saya bilang tadi, saya di bandara mengantar kakak dan tak sengaja melihat ayah, ibu, kakak...” Menoleh ke Zizi. “...dan kamu.”
Bian kembali fokus ke jalan setelah lampu hijau menyala. Zizi termenung dan melihat ke luar jendela.
Ternyata Pak Bian melihat semuanya, bahkan saat aku menangis ditinggal sendirian.
Di tempat lain, Jeff terdiam duduk menunggu pesawatnya datang. Dalam duduknya ia masih saja memikirkan teman yang bersama adiknya saat ini.
Seperti apa orangnya? Bicaranya tentang bisnis, sudah pasti bukan orang kaleng-kaleng. Darimana Zizi mengenalnya?
Pesawat dengan penerbangan no xxx... Mendengarnya, Jeff segera bergegas masuk area keberangkatan. Sepertinya ia sudah sedikit lega dengan mendengar obrolan teman Zizi tadi.