Riga tidak menyadari dia sedang terjebak dalam sebuah masalah yang akan berbuntut panjang bersama Abel, gadis 18 tahun, putri temannya yang baru saja lulus SMA.
Obsesi Abel kepada Auriga yang telah terpendam selama beberapa tahun membuat gadis itu nekat menyamar menjadi seorang wanita pemandu lagu di sebuah tempat hiburan malam. Tempat itu disewa oleh Mahendra, ayah Abel, untuk menyambut tamu-tamunya.
“Bel, kalau bokap lo tahu, gue bisa mati!” Kata Ode asisten sang ayah tengah berbisik.
“Ssst...tenang! Semuanya aman terkendali!” Abel berkata penuh percaya diri.
“Tenang-tenang gimana? Ini tempat bukan buat bocah ingusan kayak elo!”
“Dua hari lagi aku 18 tahun! Oh my God, gatel ya,Mahen!Lo ya, ganjen banget! Katanya nggak mau nikah lagi tapi ani-aninya seabrek!" Umpat Abel pada sang papa.
***
Di satu sisi lain sebuah kebahagiaan untuk Auriga saat mengetahui hubungan rumah tangga mantannya tidak baik-baik saja dan tidak bahagia dia pun kembali terhubung dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tris rahmawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34 Carolina Reaper
Setelah berjam-jam menunggu dengan situasi yang sangat mengkhawatirkan, akhirnya Mahendra menunjukkan tanda-tanda siuman. Perlahan, tangannya bergerak sedikit di sisi tempat tidur, disusul oleh kelopak matanya yang mulai membuka dengan lemah. Cahaya redup dari lampu ruangan memantul di matanya yang masih kabur, seolah berusaha mengenali di mana dirinya berada.
Auriga yang berdiri tak jauh dari tempat tidur langsung menyadari gerakan itu. "Pak Mahen?" panggilnya dengan suara tegas namun hati-hati. Di sebelahnya, Rieke yang sedari tadi memegang tas di pangkuannya ikut berdiri mendekat.
"Mahendra, kamu sadar?" suara Rieke terdengar penuh kekhawatiran.
Mahendra mencoba memfokuskan pandangannya. Wajahnya masih pucat, dan napasnya terasa berat. Ia tampak mencoba berbicara, tetapi suara seraknya nyaris tidak terdengar. Gerakannya terbatas, tetapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia sadar.
Auriga segera memencet tombol panggil di dekat tempat tidur.
"Suster Pak Mahendra siuman." katanya antusias.
Tak lama, seorang perawat masuk dengan cepat. "Pasien sudah siuman," kata Auriga.
Perawat langsung mendekat untuk memeriksa Mahendra. Ia memantau denyut nadinya, tekanan darah, dan tingkat kesadarannya dengan cermat. "Pak Mahendra, apakah Bapak bisa mendengar saya?" tanya perawat dengan nada lembut sambil memegang tangannya.
Mahendra mengangguk lemah, matanya perlahan mulai lebih fokus.
Tidak lama kemudian, dokter dan asistennya masuk membawa clipboard. Ia menghampiri tempat tidur dan memeriksa Mahendra dengan teliti. "Bagaimana, Pak Mahendra? Ada yang terasa sakit atau tidak nyaman?"
Mahendra hanya menggeleng pelan, tetapi wajahnya menunjukkan rasa lelah yang luar biasa. Dokter melanjutkan pemeriksaan vital dan memberikan instruksi kepada perawat untuk menjaga Mahendra tetap stabil.
"Semuanya berjalan sesuai harapan. Kondisinya mulai stabil, tapi beliau harus tetap diawasi ketat selama 24 jam ke depan," kata dokter kepada Auriga dan Rieke, sebelum melangkah keluar.
Sementara itu, Rieke memandang Mahendra dengan mata berkaca-kaca, tetapi tak berani bicara terlalu banyak.
Sementara Auriga tetap tenang di tempatnya, meski matanya sesekali melirik ke arah pintu, berharap Abel segera kembali. Namun, tidak ada tanda-tanda gadis itu di sana. Abel masih memilih untuk menjauh, dia tidak tahu papanya sudah di pindahkan.
"A...arabella..." Sebuah nama terucap perlahan dari bibir Mahendra yang lemah. Suaranya serak, nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat suasana di ruangan itu bersuara.
Rieke segera mendekat, wajahnya penuh kekhawatiran. "Mas, ini saya. Saya di sini. Arabella sudah tiba, tapi mungkin dia sedang ke toilet atau ke mana," ujarnya lembut, mencoba menenangkan Mahendra.
Sementara itu, Auriga tidak mmenanggapi panggilan Mahendra kepada anaknya itu Ia berdiri, lalu melangkah keluar dari ruangan tanpa sepatah kata.
Di sepanjang koridor rumah sakit yang masih sunyi menjelang pagi, ia mencoba menghubungi Arabella. Nada sambung terdengar, tetapi tidak ada jawaban.
Auriga terus mencari, berputar di area rumah sakit yang mulai diterangi cahaya samar dari pintu besar. Akhirnya, di ujung tangga yang sepi dan sedikit gelap, ia menemukannya. Arabella duduk di sana, bersandar di dinding dengan tatapan kosong. Wajahnya tampak kelelahan dan kesedihan yang mendalam, seolah dunia telah menghimpitnya terlalu berat.
Auriga menyimpan ponselnya kembali ke saku, lalu mendekati gadis itu. Langkahnya perlahan, mencoba tak mengagetkan.
"Papa bangun," katanya tanpa basa-basi.
Arabella menoleh dengan cepat, matanya membengkak, penuh air mata yang tertahan. Namun, tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Ia segera bangkit, melengos pergi tanpa memedulikan Auriga yang masih berdiri di tempatnya dan ada di sana karena mencari dia.
Di lantai tempat Abel duduk sebuah tas tertinggal. Auriga memungutnya, kemudian berjalan mengikuti Arabella.
"Arabella," panggilnya dengan nada datar, tetapi cukup untuk menghentikan langkah gadis itu.
Arabella berhenti sejenak, menarik napas panjang, mencoba mengatur perasaannya. Ia berbalik dengan tatapan tajam. "Jangan sok dekat dan sok peduli. Kita tidak saling kenal, sekalipun Anda dekat dengan Papa," ucapnya dingin, lalu kembali melangkah menjauh.
Auriga mengangkat tasnya, sedikit menggelengkan kepala. "Tas kamu," katanya singkat.
Arabella berhenti lagi, mendengus kesal, merasa malu sendiri karena telah salah tebak berpikir Auriga mau berbasa-basi. Ia berbalik cepat, mendekat, lalu menarik tas itu kasar dari tangan Auriga tanpa sepatah kata.
Auriga hanya tersenyum samar, ambigu, sambil mengusap tengkuknya. "Kenapa anak itu? Salah saya apa, sih?" gumamnya lirih. Ia menatap punggung Arabella yang semakin menjauh, membiarkannya pergi dengan semua kekesalan yang ia tahu, pasti jauh lebih berat dari yang terlihat.
Sebelum Abel masuk, Rieke diminta keluar oleh perawat. Dengan senyum tipis, Rieke mengangguk sopan pada Mahendra sebelum melangkah ke luar ruangan. Namun, ketika berpapasan dengan Abel di pintu, gadis itu sama sekali tidak menyapanya, bahkan sekadar melirik pun tidak. Abel berjalan lurus, langsung menuju tempat papanya terbaring.
Auriga menunggu di luar, membiarkan Abel dan Mahendra memiliki waktu berdua tanpa gangguan. Ia bersandar di dinding lorong rumah sakit, menatap jam di pergelangan tangan, pikirannya melayang ke hal-hal lain yang harus ia urus pagi ini.
Di dalam ruangan, Abel langsung menghampiri Mahendra. Air matanya sudah tidak dapat ia tahan. Ia menangis, suaranya lirih namun penuh isak saat ia memeluk tubuh lemah papanya yang masih belum sepenuhnya pulih.
“Papa! Kenapa Papa kayak gini? Aku takut, Pa! Aku takut...” isaknya, gemetar.
Mahendra membuka matanya perlahan. Suara putrinya seolah memanggil jiwanya kembali. “A-Arabella...” suaranya serak, lemah, nyaris berbisik.
Mendengar itu, Abel semakin terisak. Ia menggenggam tangan papanya yang berusaha bergerak perlahan, lalu memeluknya erat. “Papa! Hiks... Papa masih bisa nyebut nama aku... Papa masih ada...”
Mahendra menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. Melihat Abel menangis seperti ini membuat hatinya terasa berat. Meski tubuhnya tidak berdaya, ia tahu bahwa hidup adalah misteri yang tidak bisa ia kendalikan. Tapi di lubuk hatinya, ia berharap masih diberi waktu lebih lama untuk menjaga putrinya.
Sementara itu, di luar ruangan, pagi perlahan menjelang. Cahaya matahari mulai menyelinap melalui jendela besar di lorong rumah sakit. Auriga memutuskan untuk pulang setelah memastikan keadaan Mahendra stabil. Ia mengingat janji dengan Jevas, anak laki-laki yang sering ia antar ke sekolah. Ia mengangkat ponselnya, menelepon sambil melangkah santai.
“Halo, Uncle!” suara ceria Jevas terdengar di ujung sana.
“Hey, ya boy. Siap-siap aja, Uncle jadi antar kamu sekolah pagi ini,” jawab Auriga sambil tersenyum.
Dari belakang, terdengar suara samar Sahara, ibunya Jevas, memberi instruksi pada anaknya. Auriga hanya mendengar sedikit, tapi cukup untuk membuatnya menghela napas panjang atas perintah itu.
Auriga memang tinggal di apartemen yang sama dengan Sahara, dan sejak beberapa waktu ini, Sahara kerap menumpangi Auriga yang akan ke kantor kebetulan sejalan dengan sekolah Jevas.
“Ya, oke, tunggu ya...” katanya sebelum menutup telepon.
Auriga kembali memasukkan ponsel ke sakunya dan berjalan menuju ruangan Mahendra. Ia mengenakan maskernya, lalu melongok ke dalam ruangan untuk berpamitan. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara tangis Abel di dalam.
Auriga berdiri diam, mendengarkan suara itu. Abel berbicara lirih pada papanya, mengungkapkan cinta dan kekhawatiran yang terdengar begitu tulus. Sesaat, Auriga merasa tersentuh. Tapi di sisi lain, ia ingin sekali mengetuk pintu dan mengingatkan Abel untuk tidak memandangnya seolah ia musuh besar tanpa alasan.
“Anak ini...” gumamnya sambil mengusap tengkuknya, senyum kecil tersungging di wajahnya. “Hari ini beberapa kali terkena serangan terus sama dia tanpa tau salahnya apa.”
Meski begitu, Auriga tidak masuk. Ia memilih menunggu sampai Abel selesai bersama Mahendra, memberikan waktu yang mereka butuhkan untuk bersama.
Namun, Auriga menyadari ia tidak bisa menunggu terlalu lama. Janji dengan Jevas menanti, dan waktu terus berjalan. Dengan langkah hati-hati, ia memutuskan untuk masuk ke ruangan itu. Ia mengetuk pintu pelan, lalu menyelipkan kepalanya ke dalam sambil berkata sopan, “Maaf mengganggu.”
Abel yang sedang duduk di tepi tempat tidur langsung menoleh. Tatapannya seperti pedang dingin, penuh kemarahan yang tertahan. Ia menatap Auriga seperti musuh bebuyutannya. Suaranya tegas dan penuh emosi.
“Tidak bisakah Anda memberi saya waktu? Tidak bisa menunggu sebentar saja? Tolonglah, sedikit pengertian!” katanya, suaranya penuh ketegangan.
Auriga tertegun sejenak. Ia tidak menyangka respons Abel akan sekeras itu. Ia mengangkat kedua tangannya setengah, menunjukkan isyarat damai. “Saya nggak bermaksud mengganggu, Arabella. Saya hanya ingin pamit."
Abel tidak berkata apa-apa. Dia hanya menunduk, kedua tangannya meremas erat selimut papanya. Auriga menatapnya dengan pandangan serba salah.
“Saya benar-benar nggak mau mengganggu momen kalian. Saya Cuma merasa perlu kasih tahu papa kamu."kata Auriga dengan nada tenang, meski ia tahu percuma mencoba melunakkan suasana.
Abel tetap bungkam, tatapannya sekarang menatap lurus ke arah papanya yang masih terbaring lemah. Auriga menghela napas panjang. Dia tahu lebih baik tidak memperpanjang percakapan ini.
“Baiklah, Pak Mahen saya pulang dulu.” ucap Auriga akhirnya. “Saya pergi dulu. Kalau ada apa-apa, tolong kabari saya apapun itu?”
Tanpa menunggu jawaban, Auriga berbalik dan berjalan keluar ruangan. Tapi sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, ia menoleh sekali lagi ke arah Abel yang tetap membelakanginya.
“Suka lolipop? Tidak, saya suka Carolina Reaper,” sindirnya pelan, lalu melanjutkan langkahnya pergi ada rasa ketertarikan untuk membalas skakmat gadis ini terkadang. Ya tunggu aja waktunya.
.
.
.
.
.
.
hanya itu selisih umur brp taun 😂
jdi semua orang tau kn...
akhirnya....
bisa bikin senyum² sendiri dan nangis sesenggukan ☺
Ini cerita anak dari julain kan ya
makin seruu