Auriga tidak menyadari dia sedang terjebak dalam sebuah masalah yang akan berbuntut panjang bersama Abel, gadis 18 tahun, putri temannya yang baru saja lulus SMA.
Obsesi Abel kepada Auriga yang telah terpendam selama beberapa tahun membuat gadis itu nekat menyamar menjadi seorang wanita pemandu lagu di sebuah tempat hiburan malam. Tempat itu disewa oleh Mahendra, ayah Abel, untuk menyambut tamu-tamunya.
“Bel, kalau bokap lo tahu, gue bisa mati!” Kata Ode asisten sang ayah tengah berbisik.
“Ssst...tenang! Semuanya aman terkendali!” Abel berkata penuh percaya diri.
“Tenang-tenang gimana? Ini tempat bukan buat bocah ingusan kayak elo!”
“Dua hari lagi aku 18 tahun! Oh my God, gatel ya,Mahen!Lo ya, ganjen banget! Katanya nggak mau nikah lagi tapi ani-aninya seabrek!" Umpat Abel pada sang papa.
***
Di satu sisi lain sebuah kebahagiaan untuk Auriga saat mengetahui hubungan rumah tangga mantannya tidak baik-baik saja dan tidak bahagia dia pun kembali terhubung dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tris rahmawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27 HANTU!
Dalam lift yang hening menuju lantai 17, hanya ada bunyi mesin yang mengiringi perjalanan mereka. Arabella berdiri kaku, menggenggam clutch-nya erat, sementara Auriga berdiri dengan tenang, meski pikirannya berkecamuk.
Keduanya tenggelam dalam perang pikiran masing-masing. Arabella menahan ketakutannya, berusaha keras menjaga wajahnya tetap tenang, meski jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Sementara itu, Auriga memandangi gadis di sebelahnya, membandingkan sosok ini dengan kenangannya akan Ana.
Bayangan pertama kali bertemu Ana kembali melintas di benaknya. Ana, wanita asing yang ia temukan malam itu, sangat berbeda dari Arabella. Saat itu, Ana tampil dengan pakaian mencolok baju yang terlalu seksi, make-up bold yang membuatnya terlihat jauh lebih dewasa, dan cara bicara yang penuh percaya diri. Kini, di hadapannya, Arabella adalah gambaran gadis muda yang menawan namun sederhana. Rambutnya tergerai alami, gaun hijau dengan aksen tali di pundak melekat sempurna, dan make-up tipis hanya mempertegas kecantikannya tanpa berlebihan.
Perbandingan itu membuat Auriga ragu lagi. Apakah mereka benar-benar orang yang sama? pikirnya, mencoba mencari celah yang bisa menjawab pertanyaannya.
Namun masih ada satu hal yang terus mengusik Auriga asisten Mahendra. Ia ingat betul malam itu, ketika Ana pingsan, asisten itu dengan yakin berkata tidak mengenal wanita tersebut. Tapi tidakkah dia melihat kemiripannya dengan putri bosnya, mustahil? Auriga bertanya-tanya.
Ia ingin menanyakan itu langsung pada asisten tersebut. Tapi malam ini, ia memutuskan untuk menunggu. Tidak bijaksana jika terlalu tergesa-gesa apa lagi merusak acara Mahendra. Kini, ia hanya memandang lurus ke depan, sementara Arabella mencuri pandang dengan gelisah, berharap lift segera berhenti di lantai 17.
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Detik-detik keheningan itu diisi oleh pikiran yang berputar liar, membawa mereka ke arah yang berlawanan Auriga mendekat pada kebenaran, sementara Arabella mencoba melarikan diri darinya.
Tiba-tiba saja lift berguncang ringan, membuat Abel terhuyung dan refleks mencari pegangan. Namun, sebelum sempat dia menemukan itu, lift berhenti di lantai yang belum menjadi tujuan mereka.
"Apa yang terjadi?" suara Abel bergetar, matanya penuh kecemasan.
Lampu lift berkedip-kedip beberapa kali, menciptakan bayangan suram di ruang sempit itu. Auriga segera mendekati panel tombol, mencoba mencari solusi.
"Papa? Papa? Apa ini?" Abel mulai panik, tangannya gemetar.
"Liftnya mati," jawab Auriga tenang, meskipun situasi ini pun cukup membuatnya cemas.
"Mati? Gimana ini? Gimana kalau kita enggak bisa keluar?" suara Abel semakin meninggi, hampir histeris.
Auriga menekan beberapa tombol dengan cepat, berusaha memanggil bantuan. "Hallo? Siapapun? Ada yang mendengar?" katanya menghadap kamera CCTV di pojok lift.
Abel selangkah mulai mendekati Auriga, wajahnya sudah basah oleh air mata yang turun tanpa bisa ditahan. "Papa... papa... hikss," isaknya seperti anak kecil, ketakutan yang tidak bisa ia sembunyikan lagi.
Auriga menoleh, melihat gadis itu yang tampak begitu rapuh. Sesaat dia terdiam, ragu-ragu sebelum akhirnya mengulurkan tangannya. Dengan lembut, dia menggenggam tangan Abel yang gemetar. "Tenang, kita akan segera keluar," suaranya rendah namun tegas, mencoba memberikan rasa aman.
Namun, ketakutan Abel semakin memuncak. Bayangan lift yang tiba-tiba jatuh, atau terjebak tanpa harapan, membayangi pikirannya. "Papa... Abel takut," katanya lagi, sebelum akhirnya ia menyerah sepenuhnya pada rasa paniknya, menangis terisak.
Tanpa pikir panjang, Auriga menarik Abel ke dalam pelukannya. Tubuhnya kaku, namun perlahan rileks dalam dekapan pria itu, namun rasa takut masih Abel rasakan. "Ini akan segera terbuka," bisik Auriga di dekat telinganya, berusaha menenangkan. "Tenanglah, kamu tidak sendiri."
Sampai akhirnya suara dari speaker lift terdengar. "Harap tenang. Kami sedang mengatasi gangguan teknis ini. Mohon tunggu beberapa saat."
Auriga menghela napas lega. Meski situasi masih belum terselesaikan, setidaknya ada harapan. Sementara itu, Abel tetap dalam pelukannya, mencoba mengatur napas yang tersendat. Untuk sesaat rasanya tegang hanya menyisakan mereka berdua di ruang sempit itu, dalam keheningan yang perlahan menenangkan.
Beberapa menit berlalu, dan suasana dalam lift mulai sedikit lebih tenang. Arabella perlahan menyadari situasi dan terutama fakta bahwa dirinya masih berada dalam pelukan Auriga. Wajahnya langsung memerah, dan dia dengan cepat melangkah mundur.
"Ma-maaf..." gumamnya pelan, malu setengah mati.
Auriga menatapnya sejenak, kemudian mengangguk dengan tenang. "Tidak apa-apa. Wajar, semua orang pasti panik dalam situasi seperti ini." Nada suaranya tetap santai, meskipun di dalam hati, pikirannya masih bergulat dengan berbagai hal.
Di rooftop, Mahendra sudah mendapat kabar dari Ode tentang anaknya yang terjebak. Panik, ia segera turun tangan dan menghubungi Arabella.
Ponsel Arabella berdering di dalam lift, getarannya terdengar jelas di ruang sempit itu. Dengan tangan sedikit gemetar, Abel mengangkatnya. "Papa?" suaranya terdengar lega sekaligus cemas.
"Sayang, tenang ya. Iya, tenang. Papa sudah tahu, dan ini sedang diurus. Kamu enggak apa-apa, kan?" suara Mahendra di seberang terdengar penuh kekhawatiran.
Arabella menarik napas, mencoba menenangkan diri. "Aku... aku baik-baik saja, Pa."
Mahendra langsung bertanya lagi, "Kamu sendirian di lift?"
Sebelum Arabella sempat menjawab, Auriga mendekatkan diri dan berbicara langsung di telepon. "Tidak, Pak Mahen. Saya di sini bersama Arabella. Tenang saja, dia aman."
Mahendra terdiam sejenak, mungkin terkejut mendengar suara Auriga. "Auriga? Kamu di sana juga? Syukurlah... kalau begitu, Abel tidak apa-apa. Dia aman sama kamu. Kalau kamu takut, pegang saja lengan Om Riga, ya."
Arabella hampir kehilangan kata-kata mendengar respons papanya. Pegang lengan Om Riga? Sepertinya tidak perlu ada yang mengajari, karena semuanya sudah terjadi secara alami dan itu membuat Arabella merasa seperti jatuh ke dalam neraka.
Waktu terasa berjalan lambat, setiap detik seperti sengaja mempermalukannya lebih lama. Di sisi lain, Auriga hanya menatapnya dengan diam, seolah menganalisis setiap ekspresi dan gerak-geriknya.
Arabella mendesah pelan, berharap pintu lift segera terbuka agar kebisuan yang menyiksa ini berakhir. "Ya Tuhan, tolong aku."
Sudah setengah jam berlalu, dan belum ada tanda-tanda pintu lift itu akan terbuka. Arabella mulai kehilangan kesabaran. Dia kini berjongkok di sudut lift, bersandar pada dindingnya, tampak lelah dan frustrasi.
“Kenapa sih kerjanya enggak becus? Ngapain aja sih sampai lift bisa rusak begini? Enggak tahu apa ini menyusahkan!” gumamnya sambil menggerutu, lebih kepada dirinya sendiri.
Auriga, yang berdiri di dekat panel lift, mendengar keluhannya dan tersenyum tipis. “Siapa yang mau kejadian seperti ini? Namanya juga kecelakaan. Memang seperti itu, kan, sesuatu yang enggak sesuai dengan harapan kita? Pasti menyebalkan... atau, apa tadi kata kamu? Menyusahkan?”
Arabella menatapnya sekilas, merasa ucapannya sedang dipelintir.
Auriga melanjutkan dengan nada yang lebih santai, namun mengandung arti yang dalam. “Ya, kadang sesuatu yang menyusahkan datang tiba-tiba, tanpa kita duga. Tapi ini bukan sesuatu yang disengaja. Yang paling menyebalkan itu... kalau sesuatu hal yang menyusahkan itu disusun rapi, direncanakan, dan sengaja dibuat untuk menyusahkan.”
Arabella menegang sejenak, mendengar ucapan Auriga terkesan seperti sindiran yang di selip dalam kata-katanya. “What the... huh?” gumamnya, menahan respons lebih lanjut.
Tatapan Auriga tetap tenang, tetapi penuh makna. Arabella memilih pura-pura tidak mengerti. Dia hanya tersenyum tipis, memutuskan untuk tidak memperpanjang pembicaraan.
“Iya, Om,” jawabnya singkat, berusaha meredakan ketegangan yang mulai ia rasakan.
Beberapa saat kemudian, suara langkah kaki dan suara orang-orang mulai terdengar dari luar lift. Tim teknisi akhirnya tiba. Pintu lift mulai terbuka perlahan, menampilkan cahaya dari luar yang langsung membuat Arabella merasa lega.
“Akhirnya...” desah Arabella sambil berdiri perlahan, meluruskan kakinya yang pegal setelah terlalu lama duduk. Wajahnya penuh kelegaan, sementara Auriga hanya mengawasi yang terjadi di luar.
Dari luar, beberapa orang membantu mereka keluar, dan Arabella langsung menyusuri koridor dengan langkah cepat. Sesaat, Auriga tetap berada di belakang, memberi ruang sambil menghela napas pelan. Apa yang ia cari malam ini masih belum ia temukan, tetapi ia tahu permainan ini baru saja dimulai.
Abel berlari dengan napas tersengal, langsung menghampiri Ode yang sedang menunggu Arabella. “Hay, Princess akhirnya lo nggak kenapa-kenapa tu bokap lo lagi ngamuk sama pihak hotel ini."
“Kemana Papa? kemana dia?”
Ode menatapnya heran. “Kebawah? Ada apa lagi sekarang? Tenanglah.”
“Ada Hantu! Ada setan!” bisik Abel sambil melirik ke belakang, seolah memastikan Auriga tidak mengikutinya. "Aku mau ke papa sekarang."
“Hah? Apaan sih? Tiap hari ada aja tingkah bocil ini,” balas Ode sambil tertawa kecil.
Abel mendekat, menurunkan suaranya. “Lo udah pernah ketemu dia belum? Belum kan? Mending lo ngumpet sekarang juga!”
“Ngumpet? Kenapa gue harus ngumpet?” Ode menyipitkan mata, bingung dengan tingkah Abel yang makin aneh.
“Kayaknya kita udah ketahuan. Lo ingat malam itu bilang enggak kenal gue, kan? Terus lo pikir dia bego enggak bakal nyadar?” Abel menjelaskan dengan nada ketakutan.
Ode malah tertawa lepas. “Lo takut gara-gara itu? Astaga, Abel! Lo kira gue asal ngomong waktu itu? Gue emang beneran enggak kenal cewek itu. Sekarang kalau dia nanya, tinggal jawab aja, apa susahnya?”
Abel mengerutkan kening, merasa Ode tidak memahami betapa seriusnya situasi ini. “Segampang itu? Lo nggak masuk akal banget sih!”
Ode melipat tangan di dada, menatap Abel dengan wajah santai. “Gue justru masuk akal. Gini ya, perempuan itu kan seksi, tua, menor, beda jauh sama lo. Anak bos gue ini bocil, muda, polos. Dia enggak bakal bisa cocok-cocokin lo sama orang itu. Selagi enggak ada bukti, lo santai aja, oke?”
Abel terdiam sejenak, mencoba mencerna perkataan Ode. Namun, paniknya masih belum hilang sepenuhnya. “Lo enggak ngerti, Ode. Kalau dia benar-benar curiga dan cari cara buat buktikan, gue bisa tamat!”
Ode menepuk bahu Abel dengan santai. “Lo terlalu banyak nonton drama. Gue jamin, semuanya bakal baik-baik aja. Sekarang berhenti lebay, pergi ke meja, dan senyum. Auriga enggak bakal bisa apa-apa kalau lo main aman dan stay slayy....”
Abel menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Tapi itu sulit...gimana caranya.....
sindiran untuk seseorang,klo bener dugaanya Abel adalah Ana
buat hidup dia ribet, tiba2 datang tiba2 menghilang
udah di peluk 😆😆😆
kamu sudah dapat kuncinya sebenarnya gaaa
tapi bisa gak bukanya 🤓😆😆
penasaran dgn usaha mu mengejar Arabella..