Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Menghilangkan Bukti.
Malam itu, Raka duduk di ruang tamu rumah kost Naura, wajahnya serius.
"Naura, sebenarnya ... sore ini aku berniat menemui Bimo," tukas Bimo membuat Naura terkejut.
"Untuk apa, Mas? Jangan pernah membelaku, atau bertengkar dengannya karena aku."
Raka menghela napas berat. Ia paham benar, jika Naura adalah perempuan baik. Bahkan meski disakiti seperti itupun ia masih berusaha merelakan.
"Hal apa yang paling kamu takuti, Naura?" tanya Raka dengan hati-hati.
"Hanya ... bagaimana seandainya aku menikah? Bagaimana caraku menjelaskan pada suamiku nanti jika aku pernah memiliki hubungan rumit dengan Bimo sebelumnya?"
Raka paham benar apa maksud Naura. Pria itu terus diam mengamati mata gadis di depannya yang mulai berembun.
Ya. Pernikahan siri memang serumit itu. Bagaimana cara Naura menjelaskan jika dirinya adalah janda? Sedangkan pernikahannya tidak pernah tercatat. Bagaimana caranya dia menjelaskan bahwa dirinya hanya korban?
Kemudian, Raka mulai sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang dia lakukan.
Di depannya, Naura tampak gelisah, kedua tangannya menggenggam erat secangkir teh yang sudah mulai dingin.
“Naura,” kata Raka akhirnya.
“Aku butuh kunci apartemen yang pernah kamu tinggali bersama Bimo.”
“Untuk apa, Mas?” Naura terkejut.
“Aku ingin memastikan tidak ada lagi yang bisa dia gunakan untuk menyerang kamu. Aku tahu kamu pernah bilang ada barang-barangmu yang tertinggal di sana, termasuk foto-foto. Kalau itu sampai jatuh ke tangan yang salah, ini akan jadi masalah besar.” Naura menatapnya dalam-dalam.
Naura terdiam sejenak, pikirannya berputar. Setelah beberapa saat, ia mengangguk pelan.
“Baiklah, Mas. Kuncinya ada di lemari. Tapi ... hati-hati, ya?”
Raka mengangguk yakin.
“Percayakan ini padaku.”
Setelah itu, Raka segera pamit meninggalkan Naura.
****
Malam itu, Raka menyelinap masuk ke apartemen yang dulu pernah menjadi tempat tinggal Naura dan Bimo.
Ia memastikan tidak ada yang memperhatikannya sebelum membuka pintu dengan kunci yang diberikan Naura.
Begitu masuk, udara dingin menyambutnya, bersama dengan aroma khas ruangan yang lama tidak dihuni.
Raka menghidupkan senter dari ponselnya, matanya dengan cepat menyapu setiap sudut ruangan.
Ia membuka laci-laci, lemari, hingga kotak-kotak penyimpanan.
Butuh waktu beberapa saat sebelum ia menemukan sebuah album foto yang mulai usang dan beberapa dokumen.
Ada foto-foto Naura dan Bimo dalam balutan pakaian pernikahan sederhana. Raka menatap foto itu sejenak, rahangnya mengeras.
“Bukti ini tidak boleh ada lagi,” gumamnya.
Ia memasukkan semua barang tersebut ke dalam tasnya, memastikan tidak ada yang tertinggal.
Sebelum pergi, ia memeriksa ulang ruangan untuk memastikan semuanya bersih.
Siapa sangka jika Raka benar-benar marah setelah melihat Naura dipermalukan di kantornya sendiri siang tadi.
Mungkin saja, Raka cemas. Bagaimana seandainya Naura tidak nyaman lalu minta pulang ke kampungnya?
Banyak hal berseliweran di benaknya. Semua itu membuat Raka takut. Ia sangat takut jika Naura tenggelam dalam masa lalunya kemudian hidup gadis itu hancur.
Sementara pria yang menyakitinya justru bebas bersenang-senang dengan banyak perempuan di luar sana.
Keesokan harinya, Raka melangkah masuk ke sebuah kafe di pusat kota dengan langkah percaya diri.
Di sana, Bimo sudah menunggunya, wajahnya menyiratkan keangkuhan yang khas.
“Tumben kamu mau bertemu, Raka,” kata Bimo sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.
“Ada urusan penting?” tanya Bimo dengan ekspresi meremehkan.
Raka duduk di depannya, ekspresinya dingin.
“Aku ingin bicara soal Naura.”
Bimo terkekeh. “Ah, dia. Apa lagi yang dia keluhkan padamu? Kamu pikir kamu bisa menyelamatkan dia dari masa lalunya?”
Raka tidak terpengaruh. Ia mengeluarkan album foto yang diambil dari apartemen Bimo dan meletakkannya di atas meja.
“Ini barang-barang terakhir yang bisa kamu gunakan untuk menyerang dia. Sekarang, aku memastikan tidak ada lagi yang tersisa.”
Bimo terkejut sejenak, tapi dengan cepat menutupi ekspresinya.
“Kamu pikir itu cukup untuk menghentikanku?”
Raka bersandar ke kursinya, menatap Bimo dengan tatapan menusuk.
“Aku tidak hanya menghentikanmu. Aku memastikan kamu tidak punya kekuatan lagi untuk melawan.”
“Apa maksudmu?” Bimo mengernyit bingung.
Raka tersenyum kecil, penuh kemenangan.
“Perusahaan yang kamu banggakan itu ... pada akhirnya, sekarang milikku. Ayahmu menjualnya, dan aku membelinya. Mulai sekarang, kamu bekerja untukku.”
Wajah Bimo memucat, tangannya mengepal di atas meja.
“Kamu bohong!” serunya.
Membuat pusat perhatian pengunjung kafe tertuju ke arahnya.
“Periksa sendiri kalau tidak percaya,” jawab Raka santai.
“Mulai sekarang, kamu tidak punya kendali atas hidupmu, apalagi hidup Naura. Jadi, berhenti mengganggu dia, atau aku akan pastikan kamu kehilangan lebih banyak lagi.”
Bimo terdiam, matanya menatap Raka dengan penuh kebencian, tapi ia tahu bahwa Raka tidak main-main.
Raka berdiri dari kursinya, menatap Bimo dengan tajam.
“Ingat, Bimo. Aku bukan seperti kamu. Aku tidak pernah menyakiti orang yang aku sayang. Jangan pernah coba-coba menyentuh Naura lagi.” Dengan langkah tegas, Raka berniat meninggalkan kafe, meninggalkan Bimo yang terdiam dalam kekalahan.
Tetapi, Bimo, yang masih duduk terdiam dengan ekspresi tidak terima, akhirnya bangkit dari kursinya.
Ia berjalan cepat ke arah Raka, menarik jas pria itu dengan kasar. Matanya menatap penuh emosi.
"Raka, apa sebenarnya masalahmu denganku?" suaranya terdengar keras, hampir seperti jeritan tertahan.
"Kita adalah teman, bukan? Kenapa kamu repot-repot membela Naura? Apa kapasitasmu?"
Raka tetap tenang, meski jasnya masih dicengkeram erat oleh Bimo.
Ia menarik napas dalam, lalu menatap Bimo dengan tajam.
"Karena aku menyukainya."
Kata-kata itu meluncur seperti petir di tengah hujan deras, membuat Bimo tak mampu berkata-kata.
Cengkeramannya melemah, tapi matanya masih terpaku pada Raka, mencari kepastian apakah ia serius atau hanya menggertak.
"Kamu ... apa?" Bimo akhirnya berbisik.
"Aku menyukai Naura," ulang Raka dengan tegas.
"Dan aku akan melakukan apa pun untuk melindunginya, termasuk dari orang seperti kamu."
Bimo tersenyum miring, seolah berusaha mengembalikan kendali dirinya.
"Beraninya kamu bilang begitu, Raka. Aku tahu semua tentang Naura. Tentang masa lalunya. Kamu yakin mau membela seseorang yang pernah—"
"Diam."
Nada dingin Raka memotong ucapan Bimo seperti bilah tajam.
Ia melangkah mendekat, hingga wajah mereka hampir sejajar.
"Satu kata lagi tentang masa lalu Naura, dan aku akan memastikan kamu tidak hanya kehilangan perusahaanmu. Aku akan laporkan semua perbuatan kotormu, termasuk soal pernikahan sirimu yang kamu buang seperti sampah. Apa kamu mau kariermu benar-benar hancur?"
Bimo menelan ludah. Sekarang ia tahu, Raka tidak main-main.
"Aku ... aku hanya—"
"Tidak ada pembenaran," potong Raka lagi.
"Kamu sudah cukup menyakitinya. Jangan tambah lagi. Jika kamu masih menciptakan rumor atau mencoba merusak nama baik Naura, aku tidak akan ragu-ragu membawa ini ke pengadilan. Kamu tahu aku bisa."
Bimo terdiam. Napasnya terdengar berat, wajahnya memerah antara marah dan malu.
Akhirnya, ia melepas genggamannya pada jas Raka.
Lalu, Raka merapikan jasnya dengan tenang, lalu berbalik meninggalkan Bimo yang berdiri terpaku.
Namun, sebelum benar-benar pergi, Raka menoleh sebentar dan berkata dengan suara rendah tapi terdengar tajam, "Kamu sebaiknya berpikir dua kali sebelum bertindak lagi, Bimo. Karena aku tidak akan memberi kamu kesempatan kedua."
Bimo mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras, menyimpan amarah yang tak tertahan.
Di tengah ruangan kafe yang mulai sepi, pikirannya bergejolak, 'Ini belum selesai.'