Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 9
"Dasar perempuan murahan! Perebut suami orang, perusak rumah tangga. perempuan matre, gatel, mata duitan. Kamu nggak pantes disebut perempuan dan nggak pantes dapat laki-laki baik. Kamu jahat! Jahat!" Kuluapkan segala apa yang kusimpan di dalam hati sembari terus menarik kuat helaian rambut mantan pacar suamiku itu.
Oh, dia meringis, merintih, dan memelas meminta untuk dilepas. Aku tidak peduli, setan dalam diriku sedang berkuasa dan tidak mengizinkan aku untuk berhenti.
"Sakit! Argh!"
Aku suka suara rintihan itu, terdengar putus asa dan amat memilukan. Puas sekali rasanya melihat air mata perempuan tak tahu malu ini terus merinai, tapi aku belum ingin berhenti.
"Bu! Ibu!"
Bahkan, teguran suara Wati tak kuindahkan. Aku benar-benar gelap mata, telingaku menjadi tuli mendadak. Tak ingin mendengar suara panggilan dari mana pun asalnya.
"Bu! Bu Shanum! Apa yang Ibu lakukan?"
Berhenti mencegahku mencincang perempuan satu ini. Begitu batinku berkata, semakin banyak dan kuat tanganku menarik rambutnya.
"Shanum! Shanum!"
Ah, suara siapa yang memanggilku?
"Bu! Ibu lagi apa?"
"Astaghfirullah al-'adhiim!"
Aku tersentak kaget saat sadar semua karyawan sudah mengelilingiku, dan satu orang laki-laki yang amat kukenali. Aku linglung, mungkin saat ini wajahku terlihat pucat dan lucu.
"A-apa? Kenapa kalian semua di sini?" tanyaku bingung pada mereka semua. Aku menoleh kian kemari, entah apa yang aku cari.
Tak ada Shila ataupun Benny, dan perdebatan mereka di depan mini market itu. Apakah aku sedang berhalusinasi? Atau bermimpi sambil berjalan?
"Ibu ditungguin nggak datang-datang. Kami cemas, terus nyusul Ibu ke sini. Kenapa Ibu berdiri di sini? Terus liatin apa?" ucap Wati dengan pertanyaan bertubi-tubi yang membuatku semakin linglung.
Oh, apakah tadi hanya hayalanku saja? Astaghfirullah al-'adhiim, hampir saja aku mempermalukan diri sendiri.
"Kamu kenapa, Sha?"
Eh?
Aku mendongak, menatap sesosok wajah tampan rupawan nan menenangkan. Ia tersenyum meski tipis dan samar. Aku menggeleng, berpaling menatap depan mini market tadi.
"Tadi ...." Tak ada yang aku ucapkan, semuanya menggantung karena aku tak ingin mereka semua mengira aku sedang mengigau.
"Mungkin kamu kecapean, Sha. Sebaiknya kamu istirahat, jangan terlalu banyak pikiran," ucap Kak Dzaky dengan lemah lembut.
Aku menghela napas, mengepalkan tangan yang sempat menunjuk ke arah mini market di samping restoran. Aku menunduk, malu rasanya apalagi saat melihat tanganku menggenggam dedaunan yang sudah tak berupa. Apakah daun-daunan ini yang tadi kujambak? Astaghfirullah al-'adhiim!
"Bisa tinggalin kami sebentar? Aku mau ngomong dulu sama Shanum. Kalian makan aja dulu," titah Kak Dzaky pada semua karyawan.
Mereka menurut, kemudian pergi memasuki restoran meninggalkan aku yang masih dalam keadaan bingung bersama lelaki bersahaja di depanku.
"Mau duduk sambil ngemil? Atau makan?" tawar pemuda yang namanya masih tertulis rapih di hatiku.
"Aku mau minum, Kak," jawabku tanpa menatap wajahnya.
"Duduk dulu, aku belikan." Kak Dzaky pergi, aku memilih duduk di bangku depan restoran dengan pikiran yang masih tertuju pada kejadian tadi. Benar-benar hanya halusinasi. Kupikir memang nyata, tapi jika itu terjadi aku hanya akan mempermalukan diri sendiri nantinya.
"Ini." Sebotol air mineral disodorkan Kak Dzaky ke depan wajahku. Kuraih dan kubuka, menenggaknya hingga menyisakan setengah.
"Apa yang terjadi? Kamu baik-baik aja, 'kan?" tanya Kak Dzaky usai mendaratkan bokong di sampingku.
Kutarik udara cukup kuat, menghentak rasa nyeri di ulu hati.
"Aku nggak tahu, Kak. Aku sendiri bingung apa aku ini baik-baik aja," sahutku dengan lirih. Memang demikian adanya. Bingung dengan kondisi sendiri, apakah aku memang baik-baik saja.
"Gimana sama suami kamu? Ada perubahan?" Suara Kak Dzaky kembali bertanya, tetap terdengar tenang dan lembut.
Kupalingkan wajah padanya, menatap beberapa saat paras yang sempat membuatku berhayal bahagia dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Ia menoleh, kemudian tersenyum. Segera kubuang muka ke arah lain.
"Masih sama, Kak. Bahkan, semakin menjadi. Toko aksesoris hampir bangkrut ditambah biaya sewa yang nggak dibayar sama dia. Apa aku kelihatan baik-baik aja, Kak?" Aku bertanya sambil menatap ke arahnya.
Bibir merah alami itu masih membentuk garis lengkung ke atas. Itulah yang membuatku tak dapat melupakan sosoknya.
"Yah, itu cobaan buat kamu, Sha. Tergantung kamu bisa nggak hadapinya. Kalo kamu sanggup, kamu akan naik kelas, tapi kalo dirasa berat dan nggak ada manfaat ... semua tergantung sama keputusan kamu," ujar Kak Dzaky.
Kalimat yang terdengar ambigu. Ada kata-kata yang hilang dan mengurangi kesempurnaan jawaban yang dilontarkan laki-laki di depanku. Aku menghela napas, membuang pandangan darinya. Semua memang tergantung pada keputusanku, dan aku sudah memutuskan.
"Yah, Kakak bener. Semua aku yang harus putuskan sendiri. Ngomong-ngomong kenapa Kakak ada di sini?" tanyaku mencoba mengalihkan pembahasan dari hal yang hanya membuat nyeri hatiku.
"Oh, aku mau beli makanan. Umi pengen makan seafood, tapi nggak sengaja lihat kamu narik-narik daun," jawabnya membuatku malu seketika.
"Mmm ...." Kugigit bibir, kenapa tiba-tiba gugup begini?
"Apa kamu juga lihat mereka?" Pertanyaan selanjutnya membuatku menoleh padanya.
"Kakak juga lihat?"
Ia menganggukkan kepala. Itu artinya apa yang aku lihat memang kenyataan, tapi apa yang aku lakukan semua hanya hayalan.
"Apa kamu pikir kamu lagi ngelabrak dia?"
Aku menganga, tersipu. Menunduk sambil tersenyum malu.
"Kenapa nggak didatangin aja?"
Mataku melebar ketika menatap ke arahnya. Dia tertawa, renyah seperti biasa.
"Biasa aja. Aku yakin dan percaya kamu nggak akan pernah ngelakuin itu. Kamu tahu apa yang harus kamu lakuin. Tanpa melakukan itu pun, kamu udah jadi pemenangnya, Sha. Dengan kamu bersikap tenang seperti ini, dia sebenarnya udah kalah. Tetaplah tersenyum, tunjukin sama mereka bahwa kamu baik-baik aja."
Untaian kata nasihat itu, sedikit membuatku tenang. Aku tersenyum, mengangguk ketika bersitatap dengan mata teduh itu. Seandainya dialah yang menjadi suamiku, mungkin nasib seperti ini tidak akan pernah aku alami.
Siapa yang tahu garis takdir seseorang? Semua rahasia Ilahi dan hanya DIA yang Maha Mengetahui. Beginilah takdir hidup yang harus aku jalani. Mungkin karena dosa di masa lalu yang pernah aku lakukan tanpa aku sadari.
"Makasih, Kak. Aku mau masuk dulu, sekalian aja kita makan sama-sama," ajakku padanya.
Ia tersenyum, terdiam sebentar. Mungkin teringat pada Umi yang memesan makanan.
"Oh, iya. Umi pasti udah nungguin, ya. Nggak apa-apa kalo Kakak mau pulang, lain kali aja." Aku tersenyum tak enak.
Dia tertawa, tawa yang dari dulu membuatku tergila-gila.
"Udah, nggak apa-apa. Ayo!" Ia bangkit lebih dulu, menungguku. Kusambut dengan senyuman sebelum beranjak. Berjalan bersama memasuki restoran.
"SHANUM!"