Reyhan tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan terperangkap oleh permainan yang di ciptakan boss tempat dirinya bekerja, berawal dari ia mengantarkan dokumen penting pada bossnya tersebut, namun berakhir dirinyaenjalani hubungan yang tidak masuk akal,, wanita itu bernama Sabrina tiba tiba meminta dirinya untuk menjadi kekasih wanita itu
sementara itu Sabrina tidak punya jalan lain untuk menyelamatkan harta peninggalan ibunya, terpaksa ia melakukan cara licik untuk membuat Reyhan mau menerima permintaanya.
tanpa Sabrina sadari ternyata Reyhan adalah pria berbahaya dengan begitu banyak pesona, pria itu mengajak Sabrina ke banyak hal yang tidak pernah sabrina lakukan, Sabrina tenggelam dalam gelora panas yang Reyhan berikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon umnai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
Sabrina terus saja mondar-mandir di kamar, hatinya gelisah. Setelah makan malam bersama Reyhan berjalan lancar, ayahnya tiba-tiba meminta Reyhan untuk tetap tinggal, ingin berbicara empat mata. Hal itulah yang sejak tadi mengusik pikiran Sabrina. Apa yang sedang mereka bicarakan? Apakah semuanya baik-baik saja?
Waktu terasa begitu lambat. Sabrina berulang kali melirik pintu, berharap segera terbuka. Hingga akhirnya, derit pintu yang ditunggu-tunggu itu terdengar. Sosok Reyhan muncul, senyumnya tulus dan menenangkan.
"Belum tidur, ya?" Reyhan bertanya lembut sambil merentangkan tangan, memberikan isyarat kepada Sabrina untuk mendekat. Tanpa ragu, Sabrina segera masuk ke dalam dekapannya, merasakan kehangatan yang ia rindukan.
“Bagaimana? Apa semuanya baik-baik saja? Apa yang Daddy katakan padamu? Apa yang kalian bicarakan?” tanyanya dengan cemas. Kekhawatirannya terpancar jelas dari nada suaranya.
Reyhan tersenyum gemas, lalu mengusap kepala Sabrina dengan lembut. “Ssst... semuanya baik-baik saja,” jawabnya.
"Baik-baik saja seperti apa?" Sabrina menatapnya lekat, mencari kepastian.
Reyhan tertawa kecil. “Seperti obrolan seorang pria dengan ayah kekasihnya. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan lagi."
"Benarkah?" Sabrina bertanya, meski hatinya sudah sedikit tenang.
"Apa aku terlihat seperti pembohong?" balas Reyhan dengan nada menggoda.
Sabrina menggeleng pelan, lalu memeluknya lebih erat. "Syukurlah," bisiknya dengan lega.
Setelah beberapa saat dalam pelukan, Reyhan tiba-tiba berkata, "Ayo, ambil jaketmu. Aku ingin kita pergi keluar."
"Kemana?" tanya Sabrina heran.
Reyhan tersenyum misterius. “Ambil jaketmu dulu, nanti kamu juga akan tahu.”
Rasa penasaran menyelimuti Sabrina saat mereka tiba di tepi danau yang diterangi cahaya lampu-lampu cantik. Pemandangannya begitu indah, jauh berbeda dari yang biasa ia lihat di siang hari.
“Aku tidak tahu kalau danau ini bisa secantik ini di malam hari,” komentar Sabrina kagum.
“Belum banyak yang tahu, karena lampu-lampu ini baru saja dipasang,” jelas Reyhan sambil memeluk Sabrina dari belakang, mengecup lembut kepalanya.
Sabrina merasa nyaman, tapi rasa ingin tahunya belum hilang. "Jadi, untuk apa kau membawaku ke sini?" tanyanya sambil menoleh.
Reyhan tersenyum lagi. “Untuk berduaan denganmu. Aku merasa tidak nyaman jika kita di rumahku. Aura ibu tiri dan saudara tiriku terlalu kuat di sana,” katanya, menggigit kecil pundak Sabrina, membuatnya tertawa.
“Lihat, bahkan kau yang orang luar pun tidak suka dengan mereka. Apalagi aku,” balas Sabrina sambil tertawa kecil.
Mereka kemudian duduk di bangku yang tersedia di tepi danau. Reyhan bangkit sebentar, kembali dengan dua cangkir cokelat panas. Ia duduk di samping Sabrina, merangkulnya dengan lembut.
“Kau membawaku ke sini bukan hanya untuk ini, kan?” Sabrina menatapnya curiga. “Jadi, jujurlah padaku. Apa yang kau bicarakan dengan Daddy?”
Reyhan menghela napas panjang sebelum menjawab, “Daddy-mu menanyakan apakah aku bisa menghidupimu setelah kita menikah.”
Sabrina terkejut mendengar jawabannya. "Apa? Benarkah?"
“Daddy-mu hanya khawatir. Dia tidak ingin kau hidup susah bersamaku,” lanjut Reyhan, berusaha menenangkan.
Sabrina menggigit bibir, menahan amarah yang tiba-tiba muncul. "Dia mengatakan itu karena dia tidak suka padamu. Dia ingin aku menikah dengan Reno, sesuai dengan keinginannya, atau mungkin keinginan ibu tiriku."
Reyhan mengangguk perlahan, tapi wajahnya tetap tenang. "Kau tidak perlu khawatir. Aku akan membuktikan pada Daddy-mu bahwa aku layak dan pantas menjadi suamimu."
"Kau... kau mau menjadi suamiku?" Sabrina bertanya, setengah tak percaya.
Reyhan menatapnya dengan dalam, senyumnya penuh kelembutan. "Setelah kedekatan kita yang begitu mendadak, aku tahu satu hal: aku mulai nyaman dan sayang padamu. Izinkan aku mengembangkan perasaan ini menjadi cinta, karena aku tidak rela melihatmu bersama pria lain."
Hati Sabrina berdebar kencang. Kata-kata Reyhan begitu tulus, membuatnya terbuai dalam perasaan yang hangat dan mendalam. Ia hanya bisa mengangguk, setuju tanpa perlu banyak kata. Reyhan, dengan penuh kasih, membawanya kembali dalam dekapan hangat.
Malam sudah larut ketika Reyhan menawarkan Sabrina menginap di apartemennya, mengingat jarak yang lebih dekat. Begitu pintu terkunci di belakang mereka, suasana berubah menjadi intens. Reyhan, dengan tatapan yang berkobar, mendekat dan menarik Sabrina ke dalam pelukannya. Ciuman mereka pecah dalam gelombang keinginan yang tidak terbendung, mendorong mereka menuju kamar tidur.
Di kamar itu, lampu remang-remang hanya menambah gairah yang sedang memuncak. Reyhan dengan terampil, namun penuh nafsu, mulai melucuti pakaian Sabrina satu per satu, setiap sentuhan kulitnya meninggalkan jejak api yang tidak terlihat. Tangannya yang terampil itu tidak hanya berhenti pada pakaian, namun juga mulai menelusuri setiap kontur tubuh Sabrina yang membuai dalam hasrat.
Dengan gerakan yang hampir seirama, Reyhan melepaskan pakaian-pakaian yang membatasi dirinya sendiri, mendorong atmosfer semakin panas. Dalam sekejap, mereka berdua telah terbebas dari segala penghalang, kulit bertemu kulit dalam gairah yang membara.
Di atas ranjang, Reyhan mendominasi, menindih Sabrina dengan berat tubuhnya yang penuh nafsu.
"Reyhan. . .
"yes baby, call my name" bisik Reyhan dengan penuh gairah.
Cumbuan mereka semakin dalam, semakin mendesak. Sabrina, terbawa arus emosi yang memuncak, mencakar punggung Reyhan dengan gerakan refleks. Nada desah dan bisikan penuh nafsu mengisi ruangan, menggema di antara dinding-dinding apartemen yang menjadi saksi bisu pertemuan mereka yang liar dan tak terkendali.
Sabrina membuka matanya perlahan, cahaya lembut pagi masuk melalui sela-sela tirai jendela. Sudah menjadi kebiasaannya bangun pagi, dan seperti biasa, ia merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku. Namun, baru saja ia ingin duduk, sepasang lengan kuat menariknya kembali ke tempat tidur.
“Mau ke mana?” gumam suara serak Reyhan dari balik punggungnya. Dengan lembut namun tegas, ia menggemas tubuh mungil Sabrina dalam dekapannya.
“Ini sudah pagi, Reyhan. Aku mau mandi, kita harus bekerja,” jawab Sabrina sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan kekasihnya.
“Sebentar lagi,” pinta Reyhan dengan nada malas. Ia kembali memejamkan matanya, lalu menghirup aroma lembut dari rambut Sabrina, seolah tak ingin melepaskannya begitu saja.
“Tanganmu, bisakah diam?” keluh Sabrina dengan nada setengah tertawa, meski bibirnya tergigit menahan geli. Tangan Reyhan bergerak nakal di bawah selimut, bermain di sekitar tubuh polos Sabrina yang masih terbungkus hangatnya sisa malam.
Tawa kecil Reyhan terdengar menggoda. “Baiklah, pergilah mandi dulu,” ujarnya dengan senyum di wajah. “Bajumu yang kemarin masih ada di lemari.”
Sabrina mengangguk, bergegas bangkit, lalu melilitkan selimut untuk menutupi tubuhnya sebelum menuju kamar mandi. Gerakan canggung dan cepatnya itu membuat Reyhan hanya bisa terkekeh, merasa gemas melihat cara Sabrina mencoba mempertahankan kesopanannya.
Setelah Sabrina selesai mandi, giliran Reyhan yang menuju kamar mandi. Sambil menunggu, Sabrina memutuskan untuk keluar dan menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Ia melangkah ringan menuju dapur, namun ketika sampai, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Sabrina tertegun. Di depan matanya, ada seorang perempuan lain yang tengah sibuk di dapur, tampak sangat nyaman dengan apa yang dilakukannya. Keduanya saling menatap terkejut, mata mereka membulat dalam kebingungan.
“Siapa kau?!” seru mereka bersamaan, suara penuh kejutan dan sedikit kebingungan.
“Aku Diana. Siapa kau, dan mengapa ada di sini?” tanya perempuan itu dengan nada tegas, membuat Sabrina semakin bingung. Diana? Sejak kapan apartemen Reyhan dihuni oleh perempuan lain?
“Aku…” Sabrina tak sempat menjawab ketika tiba-tiba sepasang tangan hangat memeluknya dari belakang. Reyhan muncul, dengan tawa kecil di sudut bibirnya. “Ini Sabrina, kekasihku,” katanya santai, seolah situasi ini bukanlah hal yang mengejutkan.
Sabrina membeku sejenak, mencoba mencerna situasi, sementara Reyhan melanjutkan, “Maaf jika membuatmu terkejut, Sabrina. Ini Diana, adikku.”
“Oh…,” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Sabrina. Diana adalah adik Reyhan? Mengapa ia tidak pernah mendengar tentang hal ini sebelumnya?
“Dan, Diana, ini Sabrina, yang memberikanmu beasiswa,” lanjut Reyhan dengan nada bangga.
“Beasiswa?” Sabrina mengernyit, bingung dengan apa yang dimaksud Reyhan.
Reyhan tersenyum. “Di perusahaan kita ada program beasiswa gratis, ingat? Aku mendaftarkan adikku kemarin. Nilainya memenuhi syarat, dan dia lolos seleksi.”
“Oh…,” Sabrina mulai mengerti. Tapi sebelum ia bisa mengatakan lebih, Diana memotong dengan penuh semangat, “Terima kasih! Program itu sangat membantu! Aku janji akan menjadi mahasiswa berprestasi.” ucap Diana dengan sangat bersemangat.
Sabrina hanya bisa tersenyum, meski dalam hatinya masih sedikit terkejut dengan seluruh kejadian ini. Hari yang dimulai dengan dekap hangat Reyhan berakhir dengan kejutan tak terduga dari keluarganya yang belum pernah ia tahu sebelumnya.