Tidak perlu repot-repot nyari jodoh yeorobun, siapa tahu jodohmu sudah dipersiapkan kakek buyutmu jauh sebelum kamu lahir ke dunia Timio ini, dan ternyata jodoh pilihan kakek ini, is the trully type of a HUSBAND MATERIAL means 💜
Happy reading 💜
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon timio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagaimana Rasanya ?
"Bagaimana rasanya tidak tahu apapun tapi merasa paling berpengaruh? Seru banget kan?" tanya Jonathan dengan seringainya. Arsen langsung berubah sendu, tidak bisa berkata-kata lagi. Apapun yang dikatakannya, pria itu memang benar. Itu fakta.
"Aku memang bodoh." batin Arsen.
"J-jadi, kamu?!", tuding Jenny, matanya membulat sempurna mengarah pada Jonathan yang masih menatap tajam ke arah Arsen yang mematung di anak tangga terakhir.
"Iya, aku. Aku yang kasih tahu dia supaya dia sadar. Supaya mata dia itu berfungsi, supaya dia kenal kamu siapa dan bagaimana bisa kamu nikahin dia. Hei... tuan muda sombong, udah waktunya sadar. Lu ngga sehebat itu, ngga seberpengaruh itu!", kesal Jonathan dengan nada tinggi.
"Jojo! Kamu ngomong apa sih? Kamu mabuk ya? Udah... dari pada ngomong ngga jelas mending kamu pulang." bentak Jenny.
Sementara Arsen sudah diam membisu, pasalnya dia sudah merasa bersalah sejak lama perkara uangnya yang sama sekali tidak disentuh Jenny, ditambah lagi Jonathan mempertegasnya hari ini, ia merasa semakin bodoh dan semakin yakin Jenny hanya bertahan karena mengasihaninya.
"Aku ngomongin fakta Je. Aku cape liat kamu dipandang sebelah mata terus. Dia harus sadar tempatnya, dia harus ingat pernikahan kalian cuma bisnis, cuma karena kepetingan masing-masing. Dia butuh jadi ahli waris, sementara kamu, kamu terpaksa karena om Wijaya sakit parah!", seru Jonathan dengan lantang.
Serasa petir bergemuruh hebat dihatinya, Arsen mendongak susah payah menatap Jonathan. Fakta yang didapatinya serasa menghujam ulu hatinya sangat dalam.
Sakit sekali...
Plakk... satu tamparan mendarat sempurna di pipi kanan Jonathan.
"Kamu... ! Kamu udah bener-bener keterlaluan Jonathan. Aku ngga nyangka kamu se-egois ini. Pergi ... Keluar dari sini, cepaat..." teriak Jenny dengan wajah merah dan mata yang berkaca-kaca.
"Je...", mohon Jonathan, sekian detik kemudian ia baru sadar telah menyerukan sesuatu yang sangat salah.
Semarah-marahnya Jenny, ia tidak akan berteriak seperti itu. Sorot matanya benar-benar menyeramkan bagi Jonathan, bahkan Arsen pun semakin mematung.
"Apa perlu aku sujud di kaki kamu supaya kamu pergi secepatnya?", suara Jenny sudah bergetar, menahan air bening yang ditampung kelopak matanya agar tidak tumpah. Akhirnya Jonathan pergi dengan berat hati.
Begitupun dengan Jenny, ia juga merasa langkahnya berat sekali untuk menghadap suaminya.
"Ayo kita balik ke mansion, kayaknya aku ngga siap tidur disini." seru Arsen langsung bergegas keluar butik tanpa menunggu jawaban Jenny.
Jenny hanya bisa menghela napasnya, bingung, takut, merasa bersalah, sudah bercampur di otaknya.
Sepanjang perjalanan pulang ke mansion, tidak ada yang bersuara, tidak ada yang mencoba membuka pembicaraan, sangat dingin, hening, dan mencekam. Sepasang suami istri yang memakai piama itu terasa seperti orang asing lagi, tidak saling mengenal.
Bukan tanpa alasan, keduanya punya alasan masing-masing, sang suami merasa sangat terluka karena tidak tahu apa-apa, merasa dibodohi, dan sekaligus juga malu. Sementara si istri merasa bersalah karena tidak jujur sedari awal, padahal ia juga korban.
🌼🌼
"Sayang...", Jenny membuka suara menatap punggung Arsen yang berbaring membelakanginya. Tidak ada jawaban, hening.
"Arsen...", Jenny kembali bersuara.
" Apa?! Kamu mau bilang apa? Aku cape, aku ngantuk, bisa ngga sih kamu diem.", bentak Arsen berbalik tiba-tiba.
Jenny benar-benar tidak siap dengan suasana ini, Arsen membentaknya, memarahinya.
"I-iya maaf, aku diem." Jenny menahan tangisnya dan berbalik perlahan. Berlama-lama kemudian, keduanya masih diam.
"Sayang?... Jenny kembali bersuara ragu, masih tidak menerima jawaban dari Arsen.
"Jangan tinggalin aku ya, kamu denger aku kan, Sen?"
Hening, tidak ada jawaban apapun dari Arsen, bahkan Jenny berharap sedikit saja suara deheman dari suaminya itu, tapi nihil. Sumpah, menyakitkan sekali.
"Kenapa gua seburuk ini? Sampai-sampai rahasia sebesar ini gua ngga tahu sama sekali? Sekuat itu dia nahan bebannya tapi gua malah, malah sesantai itu, senaif itu. Ya Tuhan...", batin Arsen.
"Gua harus gimana? Seharusnya sebelum gua sesayang ini, gua udah jujur, harusnya sebelum gua sejatuh ini, gua bilang kebenarannya, gua ngga sanggup lu diemin gini, Sen. Rasanya abu-abu, gua harus gimana, Sen?", batin Jenny.
Keeseokan paginya, Arsen terbangun merasa terganggu dengan cahaya yang menusuk kelopak matanya, ia berbalik dan tidak menemukan Jenny disampingnya.
Rasanya lebih baik ia tidak melihat Jenny pagi ini, setidaknya rasa bersalahnya terasa agak ringan ketika tidak melihat istrinya itu. Lalu ia mempersiapkan dirinya untuk berangkat ke kantor pagi ini.
Setelahnya, ia menyusuri tangga untuk turun dan hendak pergi ke kantor ada bau harum menyeruak di seluruh ruangan. Pak dirut itu cukup semanga untuk turun lebih cepat, karena ia memang sudah lapar.
"Sayang, ayo sarapan dulu. Bibi yang masak lagi cuti, jadi pagi ini aku yang masak." seru Jenny dari arah meja makan yang hendak dilewati Arsen. Wajah cerah ceria ditunjukkan Jenny, supaya suaminya itu sedikit teralihkan dari konflik mereka.
"Aku sarapan di kantor aja, belum laper juga. Kamu ngga usah ikut ke kantor lagi, fokus di butik aja." dingin Arsen, dan melengos begitu saja.
"Sen." seru Jenny dengan suaranya yang dalam.
"Apa? Aku ngga laper. Kamu mau aku makan masakan kamu yang belum tentu bisa aku makan, belum tentu juga enak?" frontal Arsen.
"Oh okay, hati-hati di jalan ya." seru Jenny masih dengan senyum diwajahnya.
"Ok, kamu juga. Oh iya, aku mungkin pulang agak larut, ngga usah ditungguin."
"Iya." jawab Jenny pendek, masih dengan senyum.
Lalu Arsen benar-benar pergi. Brugh... Ia luruh, terduduk di lantai dingin itu. Arsen yang ia hadapi sama sekali bukan suaminya. Bukan suaminya yang hangat itu. Sama sekali bukan. Begitulah yang terjadi setiap harinya, kembali ke setelan awal, dingin, kaku, bahkan kali ini benar-benar beku.
🌼🌼
Perang dingin itu sudah berlangsung hampir tiga minggu lamanya, seluruh penghuni mansion kembali dicanggungkan suasana dingin majikan mereka. Keduanya kembali ke model awal-awal menikah. Tidak ada tegur sapa lagi, tidak ada saling senyum saling suap di meja makan, jangankan saling suap, bertemu untuk sekedar makan bersama di meja saja tidak.
Tidak ada lagi ciuman dan cekikikan di taman belakang sepulang kerja, tidak ada lagi romansa sekertaris dan CEO, bahkan Jenny tidak lagi mengekori Arsen ke kantor. Tidak ada lagi suara adu desah yang terkadang samar-samar didengar para maid di kamar tuannya itu.
Mungkin Arsen takut akan drama zolpidem dan jajarannya kembali terulang, setiap malam ia akan tidur disebelah Jenny dahulu, karena apapun ceritanya dialah obat tidur paling ampuh dan sama sekali tak beresiko bagi Jenny. Arsen selalu melakukan itu meskipun mereka saling tidak bicara. Setelah yakin Jenny benar-benar tertidur ia akan segera pindah ke kamar lain, begitu seterusnya. Jenny tidak pernah lagi melihat pria itu tertidur disampingnya ketika pagi datang. Entah sudah pergi ke kantor, atau sudah berada di ruang kerjanya. Arsen sudah terang-terangan menghindarinya.
Jujur hatinya sakit sekali dengan semua ini, tapi bagaimanapun juga ia masih Jenny yang punya ego, dan menjunjung harga dirinya yang tinggi. Tidak akan menyapa duluan, jika bukan karena sesuatu yang penting.
Nona muda Askara itu menyesap kopi di balkon favoritnya. Air matanya sudah enggan untuk keluar.
"Waktunya kembali ke setelan pabrik, Jenn...", serunya pada dirinya sendiri dan beranjak.
Brakk...
Ia mengeluarkan koper dengan paksa dari salah satu tempat tinggi di dressing closet miliknya, dan dalam hitungan menit ia memasukkan semua barangnya didalam koper itu.
Koper yang ia bawa pertama kali menginjakkan kaki ke mansion Askara, dan barang-barang yang ia masukkan ke dalam koper itu juga barang-barang yang ia bawa, tidak satupun barang pemberian Arsen masuk ke sana.
Ia akhirnya memandangi cincin berlian di jari manisnya, cincin pernikahan mereka. Awalnya ia berpikir untuk meninggalkan cincin itu dan melepasnya, tapi tindakan itu sepertinya terlalu ekstrim, dan ia tidak ingin bercerai dengan suaminya, ia hanya ingin menenangkan hatinya sejenak. Lalu ia kembali memakai cincin itu.
Tok tok tok... klek... pintu kerja Arsen dibukanya dengan yakin, ia sudah memastikan sebelumnya ketika bertanya pada seorang maid.
Arsen menaikkan satu alisnya pertanda bingung melihat Jenny menyeret kopernya masuk ke ruangan kerjanya itu.
"Apa dia mau minta cerai?", batin Arsen, membuat jantungnya berdetak cepat tak karuan, ada takut dan kesal secara bersamaan, tapi sekeras mungkin ia mempertahankan ekspresi datarnya.
" Sen."
" Kamu mau kemana?"
"Ngga kemana-mana, cuma mau ngga mau jadi beban aja. Setiap hari aku cape kepikiran aneh-aneh terus. Jadi ada baiknya aku mau pergi dulu."
"Mau pergi kemana kamu?", bentak Arsen.
sakit...
"Ke butik. Percuma aku disini cuma jadi pajangan, mending aku ke tempat yang lebih butuh aku. Sekarang aku mau tanya mau sampai kapan kamu diemin aku kayak gitu? Aku terbeban banget loh. Sampai hari ini aku masih belum terbiasa."
"Yaudah kalo mau pergi, silahkan. Nyetirnya hati-hati."
"Woah.... "
Jenny menyapu poninya kebelakang, tidak menyangka respon Arsen hanya begitu. Sejujurnya ia berharap Arsen melarangnya pergi, tapi pupus sudah.
"Iya aku bakal pergi kok. Mungkin agak lama, aku berharap sampai saat itu kamu bisa mikir sebentar. Aku buat penegasan dulu, kamu bukan satu-satunya korban disini, aku juga korban Arsen. Aku duluan yang jadi korbannya tapi aku ngga ngeluh apa-apa, bahkan kalau Jonathan ngga bongkar itu sampai mati pun aku ngga akan memperhitungkan itu. Aku malah bersyukur aku punya kamu, tapi kalo kamunya lebih mentingin ego kamu, dan cuma ngutamain rasa sakit hatinya kamu tanpa lihat dari sudut pandang yang ku punya, yaudah terserah kamu. Kamu tahu betul aku bukan tipe-tipe perempuan sabar, pasrah, berharap keajaiban. Aku pergi."
Jenny benar-benar pergi, menghilang dibalik pintu besar ruang kerja Arsen.
Jujur saja, tuan mudanya Askara itu takut sekarang. Takut Jenny akan benar-benar meninggalkannya. Mengingat bagaimana ekspresi wajah Jenny beberapa detik yang lalu, wanitanya itu tidak main-main. Marah, kecewa, bersalah, sakit hati, takut, dan dendam bagi Arsen terlihat jelas bersatu padu di wajah Jenny sejenak sebelum ia pergi menyeret kopernya.
"Begini ya rasanya pisah ranjang? Hiks...", air bening mengalir deras di pipinya, Jenny yang tadi lantang bersuara sangat berbeda dengan yang menyetir sekarang ini. Pergi ke satu-satunya tempat paling nyaman untuk melarikan diri saat ini.
The Venus
.
.
.
Tbc ... 💜