#TURUN RANJANG
Tiga tahun pasca sang istri meregang nyawa saat melahirkan putranya, Zeshan tetap betah menduda dan membulatkan tekad untuk merawat Nadeo sendirian tanpa berpikir sedikitpun untuk menikah lagi.
Namun, hal itu seketika berubah setelah Mommy-nya datang dan berusaha meluluhkan hati Zeshan yang telah berubah sebegitu dinginnya. Berdalih demi Nadeo, Amara menjanjikan akan mencarikan wanita yang pantas untuk menjadi istri sekaligus ibu sambung Nadeo.
Zeshan yang memang terlalu sibuk dan tidak punya kandidat calon istri pasrah dan iya-iya saja dengan siapapun pilihan Mommy-nya. Tanpa terduga, Mommy Amara ternyata merekrut Devanka, adik ipar Zeshan yang mengaku sudah bosan sekolah itu sebagai calon menantunya.
*****
"Ingat, kita menikah hanya demi Nadeo ... jangan berharap lebih karena aku alergi bocah bau ingus." -Zeshan Abraham
"Sama, aku juga alergi om-om bau tanah sebenarnya." - Devanka Ailenatsia
ΩΩΩΩΩΩΩΩΩ
PLAGIAT/MALING = MASUK NERAKA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 07 - Tidak Cukup Satu
"Zain laknat!! Awas saja, akan kubuat dirimu sekarat."
Sepanjang jalan pulang, Zeshan terus mengumpat. Kekesalan pada saudara kembarnya kian menjadi tatkala Devanka menemukan sendiri benda sialan yang tadi malam telah dia sembunyikan. Bukan main malunya Zeshan, dia benar-benar murka dan pulang segera hingga keduanya melewatkan sarapan.
Sungguh kemarahannya sudah membara, ubun-ubunnya mungkin mendidih dan asap mengepul menembus kulit kepalanya. Dia begitu fokus menatap ke depan, tapi pikirannya sudah tertuju pada biang dari segala biang yang kerap menjadi malapetaka.
Rambut sama hitam, tapi kepala mana tahu. Jika Zeshan masih saja terfokus perkara hal memalukan di hotel, lain halnya dengan Devanka. Jujur saja dia sudah lupa, yang saat ini Devanka pikirkan adalah perut kosongnya.
Devanka menatap nanar ke luar jendela, setiap kali melewati gerobak bubur ayam, cacing di perutnya semakin bergejolak. Banyak sekali pilihannya, Devanka sampai bimbang.
"Bubur ayam bang Rosman nih, tapi posrsinya kurang banyak."
Gerobak pertama terlewati, tapi tidak tanda-tanda mobil akan menepi. Baiklah, Devanka berharap di gerobak selanjutnya, Zeshan akan peka karena mungkin selera pria itu agak berbeda.
"Nah bentar lagi mpok Naomi, tapi jam segini kayaknya habis sih."
"Kan bener habis, berarti masih ada harapan bubur mas Gilang ... nggak kalah en_ eh kelewat lagi."
Sudah kesekian kali Devanka dihadapkan dengan kekecewaan, sungguh luar biasa sekali pria itu sisinya ini. Ingin marah, tapi dia sadar yang tengah bersamanya bukan Hero, tapi Zeshan. Jelas saja dia bingung hendak mengaku, terlebih lagi sejak tadi Zeshan terlihat begitu fokus dan Devanka takut justru mengganggu.
Namun, jika dia terus bertahan dan menunggu sarapan di rumah utama besar kemungkinan asam lambungnya naik. Hingga, dengan modal nekat, Devanka berani bersuara.
"Kak," panggil Devanka pada akhirnya, dengan suara bergetar dia menatap ke arah Zeshan karena maminya selalu mengajarkan untuk menghargai lawan bicara.
"Hem?"
Manis sekali, sampai-sampai Devanka diabetes dengan cara Zeshan menyahut, sangat tidak niat. Devanka yang sudah sudah berusaha bersikap sopan, sontak mengurungkan niatnya.
"Tidak jadi," ucapnya sembari menggeleng yang kemudian ditanggapi helaan napas pelan.
"Dasar tidak jelas," gumam Zeshan pelan, tapi masih terdengar cukup jelas di telinga Devanka.
Jelas hal itu semakin membuatnya sebal luar binasa. Dia mengepalkan tangan dan mengubur harapan tentang kepekaan pria yang menurut maminya sangat sempurna itu, Zeshan Abraham. Sungguh tidak sesuai dengan kenyataan, benar-benar jauh dengan Hero jika ingin dibandingkan.
"Okay fine, nanti di rumah sarapan ... mustahil nggak dia kasih makan." batin Devanka dan kini memejamkan mata demi menahan rasa laparnya.
Sialnya, bibir dan perutnya tidak bisa diajak kerja sama. Rasa sakit itu semakin menjadi hingga ketua cacing di perutnya berhasil mengkoordinir anggota hingga kompak menyuarakan keluhan mereka.
Krruuuuk
"Aih ... malu-maluin." Devanka menekan perutnya, berharap demo besar-besaran itu akan berhenti, tapi nyatanya justru semakin menjadi.
Krruuuuuuuk ... krrrruuuuk ....
Lebih panjang, lebih jelas terdengar dan heboh hingga berhasil menarik perhatian Zeshan. Tanpa sepatah kata, dia tersenyum tipis kemudian menepi ke salah-satu tempat makan bubur favoritnya bersama mendiang Talita. Sudah pasti Devanka juga suka karena sejak awal Zeshan menikah, Devanka tak ubahnya bak orang ketiga yang belum rela kakak kesayangannya menikah.
"Bilang yang jelas kalau lapar, aku tidak sepeka pacarmu, Devanka," ucap Zeshan tatkala bersiap hendak turun.
"Bukannya yang harus lebih peka adalah suami ya?" Devanka balik bertanya seraya melepas sabuk pengaman.
Dengan wajah masam Devanka bicara, dan setelah dia turun lebih dulu meninggalkan Zeshan yang masih bergeming beberapa saat. "Iya benar, untuk apa juga aku bicara begitu," gumam Zeshan ikut turun dan ikut duduk di hadapan Devanka.
"Kok ikut turun?"
Pertanyaannya konyol sekali, Zeshan yang memang sebal enggan menjawab dan hanya bertopang dagu. Berbeda dengan Devanka yang kini memainkan ponselnya. Entah sedang apa, tapi yang pasti sejak tadi dia senyum-senyum tak jelas hingga Zeshan penasaran dibuatnya.
Hanya penasaran, tapi bukan berarti akan dia tanyakan karena Zeshan enggan. Sementara mereka kembali disibukkan dengan pikiran masing-masing, hingga ketika pesanan Devanka datang barulah ada suara di antara mereka.
"Selamat menikmati, Cantik."
"Makasih, Bapak," tutur Devanka begitu sopannya pasca menerima dua mangkok bubur ayam di hadapannya.
Tak hanya Devanka, Zeshan juga turut melakukan hal sama. Namun, sesaat kemudian Zeshan protes begitu melihat toping bubur di hadapannya. "Kenapa dikasih seledrinya, Devanka?"
"Hah? Kenapa memangnya? Tidak baik untuk kesehatan kah?" tanya Devanka balik karena memang dia bingung dengan pertanyaan Zeshan.
"Aku tidak suka, bukannya kamu tahu tentang itu?"
Devanka menghela napas panjang. "Jadi kakak mau juga?"
"Iyalah, untuk apa aku turun kalau tidak mau ikut sarapan," jawab Zeshan melemah, ada salah paham di sini hingga keduanya salah kaprah.
"Kenapa tidak bilang kalau mau, tahu gitu aku pesenin juga."
Zeshan mengerutkan dahi "Hah? Bukannya sudah?"
"Belum, Kakak tidak bilang ... mana kutahu kalau lapar juga," sahut Devanka mencebikkan bibir.
"Terus itu kenapa pesan dua?" Sembari menunjuk dua mangkok bubur yang ada di hadapan Devanka.
"Untukku semua."
"What? Serius untukmu semua?" tanya Zeshan sekali lagi.
"Iyalah, dalam keadaan seperti ini tidak cukup satu, Kak," jawab Devanka sontak membuat Zeshan menutup mulut demi menutupi keterkejutannya. "Ya, dia masih dalam masa pertumbuhan, jadi wajar makannya banyak begitu."
.
.
- To Be Continued -