NovelToon NovelToon
Langit Yang Redup

Langit Yang Redup

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Keluarga / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) / Trauma masa lalu
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: rahma qolayuby

Kelanjutan Novel 'Sepucuk Surat'
Khusus menceritakan kisah kakak Ifa, putri pertama Farel dan Sinta. Namun, Alurnya akan Author ambil dari kisah nyata kehidupan seseorang dan di bumbui pandangan Author untuk menghiasi jalan cerita.
Semoga kalian suka ya🥰🥰

------------------------

"Haruskah aku mengutuk takdir yang tak pernah adil?"

Adiba Hanifa Khanza, Seorang gadis tomboy tapi penurut. Selalu mendengarkan setiap perkataan kedua orang tuanya. Tumbuh di lingkungan penuh kasih dan cinta. Namun, perjalanan kehidupan nya tak seindah yang di bayangkan.

"Aku pikir menikah dengannya adalah pilihan yang terbaik. Laki-laki Sholeh dengan pemahaman agama yang bagus tapi ..., dia adalah iblis berwujud manusia."

Mampu kan Ifa bertahan dalam siksa batin yang ia terima. Atau melepas semua belenggu kesakitan itu?

"Kenapa lagi, kau menguji ku Tuhan?"

Ikutin kisahnya yuk, jangan sampai ketinggalan.

Salam sapa Author di IG @Rahmaqolayuby dan Tiktok @Rahmaqolayuby0110

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahma qolayuby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31 Duka

Hati ibu mana yang tak hancur mendengar kabar jika putranya sudah tak ada. Ifa rasanya ingin menolak kebenaran itu. Kabar itu bak mimpi terburuk di hidup Ifa.

Hatinya hancur, dadanya terasa sesak. Nafas Ifa tersendat-sendat, sulit sekali berkata.

Tubuh Ifa hampir saja ambruk jika bukan Harfa yang menahannya.

Sang dokter menatap nanar Ifa. Dia juga ikut sedih karena tak bisa berbuat lebih.

Nyatanya, baby Zain sudah tak ada sejak dalam perjalanan. Mungkin, Ifa tak merasakan hal itu. Karena sejak di bawa kedalam ruangan. Dokter memeriksa terlebih dahulu. Jantung baby Zain sudah tak berdetak lagi.

Sampai dokter berkali-kali memeriksa jika apa yang ia lihat itu tidak nyata. Tapi, berkali-kali dokter memeriksa tetap baby Zain sudah tidak ada. Itulah kenapa dokter baru keluar memberitahu Ifa dan Harfa.

Semuanya sudah terlambat. Kantong darah yang akan di transfusi kan pada baby Zain masih tersimpan utuh.

Kenyataan yang begitu pahit. Ifa masih tak percaya jika putranya sudah pergi. Baru sebentar Ifa merasakan perasaan seorang ibu. Hal itu harus terenggut lagi. Kenapa cobaan terus bertubi-tubi menghantam Ifa. Rasanya Ifa tak kuat.

Senyuman itu, tatapan itu. Genggaman lemah itu. Terbayang di ingatan Ifa. Kini, Ifa tak bisa lagi melihat senyuman itu. Bahkan genggaman kecil itu tak bisa membalasnya lagi apalagi menatap Ifa.

"Kau buat aku berharap dan kini, kau ambil lagi. Kenapa, Tuhan?"

"Kakak."

Harfa memeluk Ifa lebih erat. Jika tidak, Ifa sejak tadi sudah ambruk.

Langit mulai redup, berganti dengan kegelapan. Seolah cahaya itu terenggut di hati Ifa. Secercah harapan yang sempat singgah menjadi semangat baru untuk kembali merajut asa. Namun, itu semua lenyap seketika. Tenggelam dalam duka yang tiada batas. Entah sampai kapan takdir berhenti menguji Ifa. Kenapa harus seperti ini.

Hati Ifa terasa gelap, akan sebuah harapan. Namun, masih mampu bisa Ifa kendalikan.

Biarkan langit yang menjadi gelap oleh pergantian waktu. Tapi, jangan hati Ifa. Jika itu ikut hilang, Ifa tak tahu lagi harus berbuat apa.

Di peluknya penuh kelembutan. Baby mungil tanpa dosa itu. Kini sudah berpulang kembali tanpa pamit. Tanpa memberi pesan dan tanpa pemberitahuan.

Tatapan Ifa begitu kosong, mata bengkak itu tak lagi mengeluarkan air mata. Hanya kekosongan di sana.

Harfa sangat khawatir melihat itu semua. Begitu juga dengan yang lainnya.

Tatapan mereka begitu nanar penuh kasihan. Namun, mereka juga tak bisa berbuat apa-apa.

Semuanya sudah terjadi. Dan tak ada yang bisa mencegah.

Harfa dengan cepat memberitahu orang rumah akan duka itu. Tak lupa Harfa juga mengurus semuanya sebelum baby Zain kembali di bawa pulang.

Tak ada harapan lagi yang di gantungkan. Kini Ifa kembali tenggelam dalam kepahitan.

Keluarga yang dulu nampak baik-baik saja. Bahagia, penuh kasih dan cinta. Tumbuh tanpa kekurangan sedikitpun. Kini harus di hadapkan dengan berbagai ujian yang terus silih berganti.

Luka itu belum sepenuhnya sembuh kini muncul luka baru. Luka yang mungkin lebih sulit menghilangkannya.

Tiada orang yang mau di tinggalkan. Apalagi di tinggal tanpa kembali, tanpa menatap. Semua orang pun akan hal itu pasti tak menyukainya.

Hal yang paling menyakitkan adalah di tinggal tanpa berpamitan. Meninggalkan luka yang amat dalam.

Selama sembilan bulan Ifa berusaha menjaga dan menjaga. Kini, terlahir membuat secercah harapan. Tapi, harapan itu kembali redup.

Seperti langit yang mulai redup akan gumpalan awan yang menghitam berganti waktu.

Begitupun suasana hati Ifa sekarang.

Dalam mobil, Ifa terus memeluk baby Zain. Luka itu begitu nyata dan tak bisa di tampik. Mereka kembali dengan kesedihan yang mendalam.

Berangkat dengan penuh harapan kini kembali dengan luka.

Jalan cukup sepi, membuat mobil yang membawa luka itu tak memakan waktu lama untuk sampai di kediaman.

Di rumah Adam Hawa, Abi Farel dan ummah Sinta sudah mempersiapkan semuanya.

Mata ummah Sinta terlihat bengkak akibat tak hentinya menangis. Tapi, kini ummah Sinta harus menahan air matanya agar tak membuat Ifa semakin terluka. Semuanya merasakan kesedihan yang mendalam.

Tentu, Ifa yang lebih terluka di antara yang lain. Keluarga yang penuh ke harmonisan itu kini harus kembali terluka.

Abi Farel segera mengambil alih baby Zain. Baby Zain langsung di mandikan. Kain kapan kini sudah menjadi penghangat baby Zain. Semua orang ikut meng-salatkan.

Abi Farel tak mau berlama-lama menunda proses yang mungkin akan membuat Ifa terus bersedih karena melihat baby Zain yang terbujur kaku.

Bahkan, setelah di sholat kan detik itu juga proses pemakan langsung di lakukan.

Baby Zain di makamkan tak jauh dari kediaman Adam Hawa.

Tak ada satupun keluarga Akmal yang datang. Padahal mereka sudah di beritahu oleh Ifa.

Tak ada yang di harapkan lagi dari seorang Akmal.

Bahkan Ifa tak mengingatnya sedikit pun.

Kini, Ifa sedang tenggelam dalam gelapnya duka. Kesendirian adalah hal yang di butuhkan saat ini oleh Ifa.

Namun, Harfa tak membiarkan itu. Harfa selalu ada untuk menemani Ifa walau hanya diam.

Bahkan, para tetangga yang melayat pun Abi Farel dan ummah Sinta yang menyambutnya. Menerima belasungkawa. Dari orang-orang dan sanak saudara.

Ummah Sinta masuk kedalam kamar Ifa. Terlihat Ifa sedang berbaring membelakangi. Ada Harfa di sana duduk diam.

"Bujuk lah kakak Ifa makan. Sejak tadi ummah belum melihat kakak Ifa makan."

Perintah ummah Sinta pada Harfa sambil menyerahkan nampan yang di atasnya ada piring nasi dan gelas.

Harfa menerimanya. Harfa juga baru sadar jika sang kakak belum memakan apapun.

Ummah Sinta menyerahkan semuanya pada Harfa. Karena ummah Sinta harus menemani Abi Farel.

"Kak, makan dulu, ya."

Bujuk Harfa mengguncang pelan lengan Ifa.

"Kakak harus makan, jangan sampai kakak sakit. Zain pasti tak suka."

Tak ada respon dari Ifa. Ifa masih tenggelam dalam lukanya sendiri.

Diam menjadi teman saat ini. Namun, Ifa juga tak menolak kehadiran Harfa.

"Kak."

"Makan, ya?"

Harfa tak lelah terus membujuk Ifa agar mau makan. Hati Harfa rasanya sakit sekali melihat keadaan sang kakak.

Kenapa begitu hebat cobaan yang di alami sang kakak. Harfa tak bisa membayangkan jika dia berada dalam posisi itu. Rasanya Harfa tak kuat. Bahkan mungkin Harfa akan meraung, menangis mengutuk takdir.

Tapi, lihatlah Ifa. Sejak tadi hanya diam saja. Jangan di tanya. Seberapa berisiknya hati dan pikiran Ifa. Diamnya Ifa bukan berarti hari dan hatinya tidak berisik.

Justru lebih berisik dari pada Harfa. Mencoba berusaha tetap waras itu begitu sulit.

"Apa engkau belum puas! Kenapa harus, aku? rasanya lelah."

Batin hati Ifa memejamkan kedua matanya erat. Mata Ifa terasa perih sekali jika Ifa terus menangis mungkin matanya akan sakit.

"Kak, aku suapin, ya?"

Ifa bangkit dari tidurnya. Mendudukkan diri. Ifa menatap Harfa datar lalu melihat makanan yang di bawa ummah Sinta tadi.

"Kakak bisa sendiri."

Seulas senyuman terbit di bibir Harfa. Harfa merasa lega karena Ifa mau makan. Dengan cepat Harfa memberikannya pada Ifa.

Ifa mulai makan, guna menghargai dan tak mau membuat orang lain menganggapnya lemah. Ifa juga tak mau di kasihani. Ifa tak mau.

Ifa makan bukan karena mau atau merasa lapar. Bahkan, nasi itu terasa hambar di mulut Ifa. Tapi, dengan susah payah Ifa menelannya dengan kasar.

Harfa senang, setidaknya Ifa makan agar tak sakit.

Bersambung ...

Jangan lupa Like, Hadiah, komen dan Vote Terimakasih ...

1
DISTYA ANGGRA MELANI
Oh malang sekli hidup zain kecil, smg hnya prank aja, smg ada kesembuhan untuk baby kecil... Smngt
Siti Wiharti
bagus ceritanya jadi terbawa ikut ngerasa jadi Ifa😭
Rahma Qolayuby: Alhamdulillah, terimakasih kakak. Jangan jadi Ifa ya🤭
total 1 replies
Jumi Saddah
👍👍👍👍👍👍👍👍😍
Jumi Saddah
ntar lahir jgn mirip bapak tpi mirip ibu nya,,,
Rahma Qolayuby: Aamiin 🥰
total 1 replies
Diah Bundayaputri
dasar biadab😡😡😠😠😠👹👹👺
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!