Langit Yang Redup
"Kakak Ifa di panggil Abi dan ummah ke ruang kerja."
Suara cempreng mengalun, memekik, menyakiti gendang telinga Adiba Hanifa Khanza. Yang kerap di panggil Ifa oleh keluarga tersayang.
Ifa menatap adiknya tajam, kebiasaan masuk kamar suka tak ucap salam.
"Kalau masuk kamar kakak atau siapapun ucap salam dulu, dek."
Tegur Ifa tegas, sambil membereskan berkas-berkas yang berserakan di meja belajar.
"Hehehe .., maaf kak. Soalnya buru-buru. Dah, Assalamualaikum."
Ifa menggelengkan kepala melihat tingkah adiknya.
Habibah Harfa Al-karim, kerap kali di panggil Harfa oleh keluarga besar. Adik Ifa, anak bungsu Abi Farel dan ummah Sinta.
Kedua kakak beradik yang sangat cantik-cantik. Namun, keduanya berbeda karakter.
Wajah Ifa memang duplikat Abi Farel. Sangat cantik, tegas, dingin nan sedikit tomboy. Hanya sifatnya saja menuruni ummah Sinta dulu.
Gadis yang anti dekat dengan laki-laki. Selalu risih jika di dekati. Waktunya hanya di habiskan untuk kerja dan kerja.
Sedang Harfa, gadis cantik, ceria, murah senyum dan bisa akrab dengan siapapun membuat Harfa banyak di sukai kaum Adam.
Wajahnya duplikat ummah Sinta namun sifatnya seperti Abi Farel. Apalagi jika sudah manja.
Ifa menuruni anak tangga, berjalan pelan menuju ruang kerja sang Abi. Dada Ifa berdebar merasakan sesuatu yang tak enak. Namun, Ifa menepisnya mencoba bersikap tenang.
Mungkin saja Ifa di panggil mau membahas pekerjaan di kantor. Ifa berusaha berpikir positif saja. Walau jujur, Ifa sedikit merasa heran kenapa ummah nya juga ikut.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Abi, ummah."
Ucap Ifa tatkala mendorong pintu ruang kerja sang Abi.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Kak,"
Jawab Abi Farel dan ummah Sinta. Mereka berdua tersenyum melihat putri pertama mereka yang sudah tumbuh besar secepat itu. Rasanya baru ke maren ummah Sinta mengandung kakak Ifa. Ummah Sinta tak menyangka jika putrinya akan tumbuh menjadi gadis tomboy dan dingin. Padahal waktu ngidam kakak Ifa, masyaallah nya luar biasa.
"Duduklah, kak."
Ifa langsung duduk di hadapan kedua orang tuanya. Ifa bersikap tenang walau hatinya terus bergemuruh bertanya-tanya.
"Kapan kakak mengenalkan laki-laki pada Abi dan ummah. Usia kakak sudah matang, loh."
Deg!
Ifa tertegun mendengarnya. Dadanya berdenyut nyeri. Pasalnya ibu bukan yang pertama kedua orang tuanya bertanya mengenai laki-laki.
Bibir Ifa bergetar, mengatup rapat. Bingung harus menjawab apa. Kenapa harus bahas laki-laki dan laki-laki. Ifa tak tahu harus seperti apa bersikap. Ifa takut salah jawab dan malah menyakiti hati kedua orang tuanya.
Sejujurnya Ifa, belum siap menikah. Belum ada yang cocok untuknya. Ifa masih belum bisa memutuskan tentang pernikahan.
Tak ada yang tahu tentang perasaan Ifa saat ini. Ifa selalu berperang dengan perasaan nya sendiri.
Mengingat hebatnya ujian rumah tangga temannya membuat Ifa takut akan namanya pernikahan. Walau Ifa percaya tak semua laki-laki saja. Buktinya Abi Farel. Sosok suami yang begitu menyayangi istri dan sosok Ayah yang begitu menjaga putri-putri nya dengan limpahan kasih sayang dan cinta. Menjaga sebaik mungkin agar tidak lecet sedikitpun.
Perasaan Ifa campur aduk. Keringat dingin mulai membanjiri pelipis Ifa.
"Kak."
Ifa tersentak akan usapan lembut tangan yang sudah puluhan tahun berjuang menjaganya penuh kasih. Memeluknya penuh Cinta.
Walau tangan itu tak selembut dulu, tapi bagi Ifa tangan itu tetap lembut. Ifa berusaha tersenyum mencoba menatap ummah Sinta dan membalas genggaman tangan ummah Sinta.
"Adek Harfa sudah ada yang melamar."
Ifa terhenyak mendengar ucapan ummah Sinta. Ifa memicingkan mata, tapi seperti nya ummah Sinta tak bohong. Dan tak mungkin kedua orang tuanya berbohong akan hal penting.
"Ummah tak mau kakak di langkahi. Ummah ingin tetap kakak yang menikah duluan baru adek Harfa."
Sesak rasanya dada Ifa seolah pasokan udara di ruang kerja sang Abi yang luas itu terasa sempit.
Ifa diam tak bergeming dengan pikiran rumit. Tak tahu harus menjawab apa setiap kalimat yang di ucapan kedua orang tuanya.
Menikah!
Kata itu padahal belum terlintas di pikiran Ifa. Tapi bagaimana? Ifa tak tega melihat raut wajah sendu kedua orang tuanya. Pasti berat juga bagi kedua orang tuanya memutuskan hal besar itu.
"Abi sudah ada calon untuk kakak."
Deg!
Sekali lagi, Ifa terhenyak. Apa? abi nya sudah ada calon. Ifa tak menyangka jika kedua orang tuanya sudah menyiapkan semuanya. Padahal Ifa merasa tak apa di langkahi. Rasanya Ifa ingin mengatakan hal itu tapi keburu sang Abi bicara.
"Dia baik, paham agama. Seorang santri pula. Insyaallah calon yang baik untuk kakak. Walau dia belum punya pekerjaan tetap. Setidaknya dia paham agama yang pasti bisa membimbing kakak dengan baik."
"Dunia, kita sudah punya, Abi ingin punya calon yang paham agama. Abi merasa tenang melepas kakak pada orang yang paham agama."
Lidah Ifa semakin kelu. Ingin rasanya berteriak tak mau. Tapi, Ifa hanya bisa menelan ludahnya kasar. Tak tega Ifa harus menyakiti kedua orang tuanya dengan jawaban penolakan. Tapi, bagaimana dengan diri Ifa sendiri yang memberontak. Rasanya Ifa tak tahu harus bersikap seperti apa.
Melihat tatapan pengharapan kedua orang tuanya membuat hati Ifa tersayat.
Tak tega rasanya menyakiti hati selembut sutra itu.
"Ab--"
"Jangan dulu di jawab. Abi dan ummah hanya ingin kakak mempertimbangkan nya saja. Kalau kakak sudah punya calon, bawa ke rumah."
Potong Abi Farel tak ingin putrinya terbebani. Abi Farel memberi kesempatan Ifa memilih pasangannya sendiri. Kecuali memang Ifa menyetujui calon pilihannya.
Sebenarnya bukan calon pilihan Abi Farel juga. Hanya saja Abi Farel tak mungkin bersikap kurang ajar pada laki-laki yang mau melamar putrinya. Apalagi keluaran pesantren. Bagi Abi Farel agama adalah nomor satu dari apapun.
"Kakak bisa pikir-pikir dulu. Hanya saja jangan lama ya. Kakak sendiri kan tahu bagaimana adek. Abi hanya takut adek khilaf."
Ifa mendesah pelan mendengarnya. Ifa tahu adiknya memang sangat ceria, welcome sama siapapun tanpa mengenal batasan walau dalam batas wajar jika sama lawan jenis.
"Terimakasih Abi dan ummah memberi waktu. Insyaallah Ifa akan pikirkan semua ucapan Abi dan ummah."
Ucap Ifa pada akhirnya. Setidaknya kedua orang tuanya memberi ia waktu.
"Terimakasih kak. Ummah bangga."
Ifa tersenyum tipis. Sudah membahas masalah pernikahan. Ifa keluar dari ruang kerja Abi Farel.
Langkah Ifa begitu berat namun memaksakan diri menjauh dari pintu ruang kerja menuju lantai atas di mana kamar dirinya dan kamar adek Harfa.
Setiap langkah yang Ifa langkahkan terasa berat. Seolah membawa beban berat di pundaknya.
Tangan Ifa menggantung ketika akan membuka pintu kamarnya. Ifa melirik pada kamar sang adik yang ada di sebrang nya.
Langkah Ifa berbelok menuju kamar sang adik. Ifa ingin tahu kenapa adiknya tak bilang jika sudah ada yang melamarnya.
"Assalamualaikum, dek."
Ucap Ifa mendorong pintu kamar sang adik. Dahi Ifa mengerut melihat tak ada Harfa di kamarnya. Namun, pintu balkon terbuka. Ifa berjalan ke arah balkon yang di yakini pasti Harfa ada di sana.
"Mas tolong mengerti ya. Mas kan tahu aku sangat menyayangi kakak. Aku takut menyakiti kakak jika aku melangkahinya. Sabar, ya."
Deg!
Hati Ifa berdenyut nyeri mendengar ucapan adiknya. Ifa diam mematung, kakinya berat sekali melanjutkan langkahnya. Namun, Ifa memaksa keluar dari kamar sang adik dengan beban yang semakin berat.
Bersambung ...
Jangan lupa tinggalkan jejak ya 🙏🙏🙏🥰🥰🥰
Like, komen yang banyak-banyak ..
Kasih kopi dan bunganya dong hehehe ..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Delita bae
salam kenal 👋jika berkenan mampir juga😁🙏👍
2024-11-02
1