Air mata terus mengalir dari sepasang bola mata abu-abu yang redup itu. Di dalam kamar sempit yang terasa semakin menyesakkan, Aria meringkuk, meratapi nasib yang menjeratnya dalam belenggu takdir yang tak pernah diinginkannya. Aria, gadis polos nan culun, begitu pendiam dan penurut. Orang tuanya memaksanya untuk menikah dengan anak dari bos ayahnya, sebagai jalan keluar dari kejahatan sang ayah yang telah menggelapkan uang perusahaan. Aria tidak berani menolak, tidak berani melawan. Ia hanya bisa mengangguk, menerima nasib pahit yang seolah tak ada ujungnya.
Tanpa pernah ia duga, calon suaminya adalah Bagastya Adimanta Pratama, lelaki yang namanya selalu dibicarakan di sekolah. Bagastya, si ketua geng motor paling ditakuti se-Jakarta, pemimpin SSH yang tak kenal ampun. Wajahnya tampan, sorot matanya dingin, auranya menakutkan. Dan kini, lelaki yang dikenal kejam dan berbahaya itu akan menjadi suami dari seorang gadis culun sepertinya. Perbedaan mereka bagaikan langit dan bumi—mustahi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laura Putri Lestari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesenangan
Setelah percakapanya dengan Bagastya tadi, Aria keluar kamar menuju dapur. Ia akan menyiapkan sarapan yang lebih banyak dari biasanya, mengingat masih ada kedua sepupu Bagastya yang menginap di apartemen mereka. Aroma nasi goreng, sosis panggang, dan roti panggang memenuhi udara, membuat suasana pagi semakin hangat. Aria sedikit tersenyum, membayangkan reaksi Bagastya ketika melihat hidangan yang sudah ia siapkan.
Sementara itu, Bagastya baru saja keluar dari kamar, rambutnya masih acak-acakan dan wajahnya menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Ketika ia melangkah ke ruang tamu, ia langsung terkejut melihat kedua sepupunya, Rio dan Dika, yang masih tertidur di sofa. Dengan alis terangkat dan bibir yang sedikit menyeringai, Bagastya mendekati mereka dan tanpa basa-basi langsung menggoyangkan bahu keduanya.
"Bangun, lo bedua!" ujar Bagastya, suaranya tegas tapi masih terdengar nada kekeluargaan di dalamnya.
Yuda dan Seno terbangun dengan mata setengah tertutup, jelas masih mengantuk plus masih tercium bau alkohol di diri mereka. Mereka mengerjap-ngerjap, melihat ke arah Bagastya yang berdiri dengan tangan menyilang di dadanya.
"Bang, ini masih pagi loh," keluh Yuda sambil menguap lebar.
"Mana gak bisa tidur nyenyak di sofa kayak gini," tambah Seno sambil menggosok matanya.
Namun, bukannya menyuruh mereka untuk mandi atau bahkan sarapan, Bagastya malah dengan semangat berkata, "Main PS yok!"
Kedua sepupunya langsung cerah kembali mendengar ajakan itu. Dalam sekejap, rasa kantuk mereka menghilang, digantikan oleh antusiasme. Mereka segera bangun dan bergegas menuju televisi, siap bertanding melawan Bagastya dalam permainan yang mereka sukai.
Aria yang sedang menyelesaikan sarapan di dapur, mendengar suara gaduh dari ruang tamu. Ia mengintip dan melihat ketiganya sudah asyik dengan kontroler PS di tangan, layar televisi penuh dengan aksi dari game yang mereka mainkan. Aria hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil.
Ia berjalan ke ruang tamu sambil membawa sepiring besar nasi goreng. "Sarapan sudah siap, lho," katanya dengan lembut.
Bagastya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada permainan. "Sebentar lagi. Satu ronde lagi," jawabnya tanpa berpaling dari layar.
Aria hanya tertawa kecil. "Jangan sampai nasinya dingin, ya."
Meski sedikit kesal karena sarapan yang sudah ia siapkan harus menunggu, Aria merasa hangat melihat Bagastya bisa begitu akrab dan ceria bersama sepupu-sepupunya. Di dalam hatinya, ia senang melihat sisi Bagastya yang lebih santai dan penuh tawa seperti ini, meski itu berarti mereka harus menunda sarapan sebentar.
Setelah beberapa ronde permainan yang penuh tawa dan ejekan antar sepupu, akhirnya Bagastya menyerah kalah dan memutuskan untuk beristirahat. "Oke, sekarang kita makan. Sebelum Aria marah," katanya sambil tersenyum nakal.
Mereka semua berkumpul di meja makan, menikmati sarapan yang sudah Aria siapkan dengan penuh cinta. Suasana pagi itu begitu hangat, diwarnai canda tawa yang membuat apartemen kecil itu terasa penuh kehidupan.
Setelah sarapan yang penuh canda tawa dan kebersamaan, Yuda dan Seno meminta izin untuk pulang. Mereka mengucapkan terima kasih kepada Aria atas sarapan yang lezat dan mengatakan selamat tinggal kepada Bagastya sebelum meninggalkan apartemen. Bagastya melihat mereka pergi dengan senyum puas, lalu berbalik kepada Aria.
"Jadi, gimana kalau kita pergi jalan-jalan hari ini?" tanya Bagastya, matanya bersinar penuh semangat.
Aria memandangnya dengan rasa ingin tahu. "Kemana ?"
"Ke mall mungkin, sekalian makan siang di situ aja," jawab Bagastya dengan penuh antusiasme. Aria mengangguk setuju.
Setibanya di mall, Bagastya dan Aria langsung menuju ke salah satu restoran favorit Bagastya. Mereka menikmati hidangan lezat sambil mengobrol santai, tertawa dan bercanda. Bagastya terlihat semakin dekat dengan Aria, membuat suasana semakin hangat dan penuh keceriaan.
Saat mereka berada di Timezone, Aria dan Bagastya terlihat sangat antusias dengan permainan arcade yang tersedia. Mereka mencoba berbagai jenis permainan, dari mesin pinball hingga permainan bola basket.
Di tengah permainan, Aria dan Bagastya duduk sejenak di meja permainan untuk beristirahat. Aria tampak sangat bersemangat, dan Bagastya melihatnya dengan senyum lebar.
Aria mengambil napas dalam-dalam dan berkata, "Aku tidak pernah merasa sebahagia ini lagi. Bagas, Terima kasih ya, udah mengajak aku ke sin.aku seneng banget bisa main ginian lagi!" Aria teringat terakhir kali dia bermain disini adalah bersama bundanya saat masih hidup.
Bagastya menyandarkan dirinya pada meja dan berkata, "Bagus deh kalo lo senang, ayo menikmati waktunya baik-baik besok udah masuk sekolah kita, hahaha. Selama ini, kamu juga sibuk sama club music kami itu, jadi menurut gua hari ini hari yang pas buat kita untuk bersenang-senang."
Aria tersenyum manis. "Kadang-kadang aku memang lupa betapa serunya main game kaya gini."
Bagastya merangkul bahu Aria dan mengacak-acak rambutnya dengan lembut. "Makanya, kita tuh harus sering-sering ngelakuin hal-hal kaya gini. Jadi, bagaimana? Game berikutnya apa?"
Aria berpikir sejenak dan lalu berkata, "Aku ingin coba yang itu," sambil menunjuk ke arah mesin game balap mobil yang populer. "Aku juga jago di game balap, lho. Siap kalah?"
Bagastya tertawa dan menantang, "Wah, lo nantangin ketua geng kaya gua? Kita lihat saja nanti. gua sudah siap nih buat menantang juara gema balap!"
Mereka kembali ke mesin game balap dan memulai permainan. Selama pertandingan, mereka saling menggoda dan berteriak kegirangan. Suasana di sekitar mereka penuh dengan keceriaan dan tawa.
Setelah beberapa putaran permainan balap yang sengit, Aria akhirnya berhasil menang dengan jarak yang tipis. Bagastya mencibir dengan pura-pura kesal, tentunya dia berpura-pura kalah agar sang istri bahagia. "Hah, kayanya gua harus banyak berlatih deh, biar bisa ngalahin kamu."
Aria tertawa ceria. "Yah, jangan khawatir. Aku juga masih harus banyak berlatih kalau mau jadi juara sejati."
Bagastya mengacak-acak rambut Aria lagi, lalu bertanya, "Ngomong-ngomong, kalp lo bisa memilih satu tempat liburan impian, lo mau kemana?"
Aria berpikir sejenak, lalu menjawab, "Aku selalu ingin pergi ke Jepang. Aku suka budaya dan makanannya. Bagaimana denganmu? Tempat liburan impianmu?"
Bagastya menyandarkan dirinya pada mesin game dan menjawab, "Gua?hmmm... Mungkin ke Eropa. Gua pengen melihat tempat-tempat bersejarah gitu terus menikmati suasana di sana."
Aria mengangguk dengan antusias. "Itu pasti seru. Semoga suatu saat nanti kita bisa pergi ke tempat-tempat impian kita bersama."
Mereka terus bermain dan bersenang-senang, menikmati waktu bersama dengan penuh keceriaan. Suasana di Timezone semakin mempererat hubungan mereka dan menambah kebahagiaan dalam hari mereka.
Setelah puas bermain, Bagastya mengajak Aria untuk mampir ke salah satu toko ponsel termahal di mall. Aria sedikit bingung, berpikir mungkin Bagastya ingin membeli ponsel baru. Namun, ia tidak terlalu memikirkan hal itu, karena melihat ponsel Bagastya yang memang masih cukup baik dan tidak ada tanda-tanda rusak.
Sesampainya di toko, Bagastya menunjukkan beberapa ponsel terbaru kepada Aria, seolah-olah hanya sekadar ingin menunjukkannya. Aria menyadari bahwa ponsel yang dipamerkan memang sangat canggih dan mahal.
Bagastya membeli salah satu ponsel, setelah itu Mereka berjalan keluar dari mall dengan tangan saling bergandengan lebih tepatnya Bagastya yang terlebih dahulu menggenggam tangan Aria. Saat mereka sampai di mobil, Mereka memasukkimobil lalu duduk di bangku, dengan tenang Bagastya mengambil kotak berisi ponsel yang dibelinya tadi.
Aria menatap kotak itu dengan terkejut ketika Bagastya menyerahkannya kepadanya. "Ini... buat lo," kata Bagastya dengan nada lembut, matanya penuh dengan perhatian.
Aria terdiam sejenak, lalu berkata, "Bagastya, ini ponsel yang sangat mahal. Aku... aku tidak bisa menerima ini."
"ck..." decak Bagastya. " ini hp udah gua beliin memang buat lo. lo mau terus terusan make ponsel butut lo yang bentar lagi gua yakin bakal mati tuh hp"
Aria menggigit bibirnya, merasa bingung dan sedikit tertekan dengan gesture yang begitu besar dari Bagastya. "Tapi, ini benar-benar mahal Bagas..."
Bagastya mendekat, matanya menatap Aria penuh keyakinan. " Gua tau, terima ini sebagai tanggung jawab gua sebagai seorang suami"
Aria melihat ke dalam mata Bagastya dan akhirnya merasakan ketulusan di balik niatnya. Dengan perasaan campur aduk, dia akhirnya menerima ponsel tersebut. "Baiklah, kalau kamu benar-benar mau," katanya dengan lembut.
Bagastya tersenyum bahagia dan memeluk Aria dengan lembut. "Kalo lo pengen rumah tangga kitalebih baik, setidaknya lo juga bantu gua buat memperbaikinya."
Aria merasakan kehangatan dari pelukan Bagastya dan kebahagiaan yang mendalam di dalam hati. Dia merasa terharu dan sangat bersyukur memiliki seseorang seperti Bagastya yang peduli padanya. Pagi yang penuh kejutan ini menjadi salah satu momen yang akan selalu ia ingat dengan penuh kebahagiaan.