Kanesa Alfira, yang baru saja mengambil keputusan berani untuk mengundurkan diri dari Tano Group setelah enam tahun dedikasi dan kerja keras, merencanakan liburan sebagai penutup perjalanan kariernya. Dia memilih pulau Komodo sebagai destinasi selama dua minggu untuk mereguk kebebasan dan ketenangan. Namun, nasib seolah bermain-main dengannya ketika liburan tersebut justru mempertemukannya dengan mantan suami dan mantan bosnya, Refaldi Tano. Kejadian tak terduga mulai mewarnai masa liburannya, termasuk kabar mengejutkan tentang kehamilan yang mulai berkembang di rahimnya. Situasi semakin rumit dan kacau ketika Kanesa menyadari kenyataan pahit bahwa dia ternyata belum pernah bercerai secara resmi dengan Refaldi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jojo ans, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
1 Minggu Kemudian....
Pukul 11.00 WIB. Aku mengusap mata pelan dan menatap jam dinding di kamar. Aku tersentak karena aku bangun super kesiangan.
Tadi malam ada acara perusahaan dan kami pulang ke rumah pukul 10 malam dan aku tidak bisa tidur karena mengalami keram perut.
Aku mengecek ponsel.
Ada beberapa pesan dari Mas Adi yang menanyakan apakah aku sudah bangun atau belum. Ada beberapa pesan dari Nadia bahwa dia akan segera melahirkan. Tapi tunggu bukannya kandungan Nadia
belum cukup umur? Aku menelpon perempuan itu.
"Halo Nad," sapaku.
"Halo," sapa suara laki-laki yang kutebak adalah suaminya Nadia.
"Nadianya?" tanyaku agak panik. "Udah dibawa ke ruang operasi. Jatuh dari tangga.
Aku tersentak.
"Jatuh dari tangga?" tanyaku. Tya, perutnya kebentur. Harusnya masih bulan depan tapi udah nggak
bisa." "Nes, aku lagi dipanggil dokter nanti kita telponan lagi ya." Tanpa menunggu balasanku, sambungan telepon putus, pasti suami Nadia sangat panik.
Pagi-pagi sudah mendapat berita
buruk, aku malah ingin menangis.
Semoga saja, Nadia dan bayinya selamat, amin. Tak lama ponselku berbunyi Mas Adi
Video Call "Halo Mas," jawabku lesuh.
"Kamu kenapa Fir, kok nangis gitu?" "Aku lagi sedih Mas," ucapku dengan nada manja. Entah kenapa terasa menggelikan,
mungkin kalau suasananya tidak lagi sedih begitu aku pasti sudah terbahak melihat tingkah manjaku yang begitu menjijikan.
"Kenapa? Kamu nggak apa-apa kan? Mana Mami? Mas Adi terlihat panik dan melihatnya
aku jadi senang.
"Aku nggak apa-apa kok Mas, aku dapat berita kalau Nadia harus dioperasi karena jatuh dari tangga," sahurku.
"Lah emang udah mau lahiran?" "Belum Mas tapi perutnya kebentur. jadi harus segera dioperasi," seruku.
"Hmm, ya udah kita doain aja semoga Nadia sama bayinya nggak apa-apa."
Tya Mas
"Ya udah kamu jangan kepikiran, entar pengaruhnya sama dedek bayi juga." Oh iya, aku bahkan lupa bahwa bumil
tidak boleh banyak pikiran dan stress.
"Mas, pas makan siang bisa jemput aku nggak? Aku ketemu sama Om Gibran dan teman-teman kantor yang lain,
kayaknya dedek bayi pengen lihat mereka deh." Oh iya semenjak Mas Adi mengamuk karena aku memanggil Mas Gibran
dengan panggilan Mas' jadi aku akan membiasakan memanggilnya seperti itu. Semoga saja Mas Gibran tidak shok nantinya.
"Jangan terlalu dekat dengan dia nanti kalau ketemu." "Iya Mas, Iya!"
Aku mendengus kesal. Posesif banget
sih si sulungnya Keluarga Tano. Oh iya ada yang penasaran dengan apakah Friska di terima di perusahaan? Ya, dia diterima tapi tidak di kantor pusat. Dia juga kata Mas Adi
sudah menandatangani kontrak yang kubuat melalui perantara Tatiana. Oh iya sepertinya minggu depan. Tatiana akan mulai berhenti bekerja, perempuan itu berangkat ke LA bersama putranya. Beberapa hari yang lalu adalah sidang hak asuh dan semua itu jatuh padanya. Wanita itu memutuskan memulai kehidupan yang baru di sana. Menurutnya di Indonesia
terlalu banyak kenangan menyakitkan.
Sempat gempar di seluruh karyawan
kantor pusat mengenai Tatiana yang
diancam suaminya sehingga harus
bertunangan dengan seorang duda.
Si Lilis dan Miranda juga sempat mengirim pesan padaku mereka menyesal sudah pernah menggosipkan Tatiana yang tidak-tidak. Aku sendiri sangat menyesal pernah
menuduhnya selingkuh dengan Mas
Adi
Ah sepertinya aku harus segera pergi
membersihkan diri karena kalau Mas
Adi tiba di sini aku belum bersiap-siap,
laki-laki itu pasti mengomel.
Mas Adi menuntunku masuk dalam mobil, aku sudah menolak tapi dia ngeyel katanya takut aku terpeleset dan segala macam hal yang membahayakanku.
"Hati-hati masuk mobil Fir, atau aku
gendong aja?"
"Aku hamil bukan lumpuh Mas,"
tegasku tidak terima.
Mas Adi memperlakukanku layaknya
wanita tua a yang sudah tidak berdaya.
"Ya udah hati-hati," ucapnya.
Setelah memastikan aku masuk
dengan aman ke dalam mobil, Mas Adi
barulah melangkah ke seberang dan
duduk di balik kursi kemudi.
"Sabuknya dipasang dok lir, jangan
sampai lupa."
Aku mendengus, padahal kan aku baru
mau pasang sabuk pengamannya.
Kesal
"Duduknya nyender jangan majuan
gitu, entar perut kamu kegencet sama
sabuk pengaman Fir."
Lagi-lagi Mas Adi memperingatiku.
"Iya Mas, iya."
"Kok judes gitu? Aku kan khawatir
kamu sama dedek bayi."
Tanganku rasa gatal sekali untuk
mencabik-cabik rambut Mas Adi dan
memberitahukan padanya bahwa apa
yang sedang dia lakukan padaku itu
sudah diluar batas.
Akhirnya aku memilih lebih
menyabarkan diri hingga akhirnya
kami sampai di kantor.
"Aku ada rapat online tiba-tiba dengan.
klien dari luar negeri, aku nggak bisa
ngantar kamu ke ruangan anak-anak."
Tiba-tiba Mas Adi menerima telpon
kalau dia harus rapat, padahal
sekarang waktunya makan siang lho.
Eh aku lupa kalau kliennya dari luar
negeri, mungkin perbedaan jamnya
jadi mereka mengadakan rapat
sekarang.
"Ya udah nggak apa-apa kok Mas, nanti
aku minta Intan ngantarin. Lagi pula
ketemuannya di resto kantor kok."
Dengan berat hati kulihat Mas Adi
akhirnya meninggalkanku di lobi
Kantor.
Aku melangkah dan melihat meja.
tempat Intan biasa berdiri di sana
kosong dan aku sadar kalau ini
memang masih jam istirahat.
Aku memutuskan melangkah sendiri,
hingga seorang OB bertopi tanpa
sengaja menabrak tubuhku hingga
aku oleng hampir mencium lantai
namun untungnya perutku tidak
apa-apa aku masih sempat memegang
lengan sofa kantor yang tak jauh dari
jangkauanku.
Astaga aku pikir aku akan
mencium lantai dan perut buncitku
kenapa-napa, membayangkannya saja
sudah membuatku merinding.
Tanpa sadar darah mengalir di kakiku,
Eh darah apa itu?
Aku panik.
"Ibu Maaf, eh itu berdarah Bu Nesa."
SI OH panik.
Aku malah lebih panik, hingga
akhirnya aku bernapas lega karena
ternyata darah itu bukan dari perut
bawahku tapi dari jemari kaki yang
kukunya terangkat karena saat
menopang diri tadi tak sengaja kakiku
menendang ujung kaki sofa yang
runcing dan terbuat dari besi.
Tapi tunggu suara Oßnya seperti tidak
asing
di telingaku namun ketika aku
menatap, laki-laki itu sudah keburu
pergi. Mungkin pergi mencari bala
bantuan atau obat. Kebetulan lobi
kantor sangat sunyi karena lagi jam
istirahat dan dari postur tubuhnya
tampak familiar,
Aku menebak-nebak dan begitu
lama. Hingga ada orang lain yang
menolongku, si OB tak kembali sama
sekali.
Eh kok Aneh?
Aku dibawa ke ruang kesehatan
dan luka di kakiku telah diobati dan
diberi plester. Aku turun dari ranjang
pengobatan dan mencoba memakai
sendal yang memang disediakan di
sana.
Tiba-tiba pintu ruang kesehatan
dibuka secara kasar dan Mas Adi
muncul di sana dengan wajah penuh
peluh dan ngos-ngosan.
Dia nampak sangat panik.
"Sayang kamu nggak apa-apa?"
ucapnya sambil menghampiriku.
Aku meringis. Dia alay sekali.
"Kau nggak apa-apa?" tanyanya
dengan nada super panik.
Aku meringis lagi, tanpa sadar aku
mengepalkan tangan dan langsung
menangis.
"Eh Fir kok nangis? Yang mana yang
sakit? Ngomong sama aku," sahutnya.
Aku semakin meraung dan meraih
kepala Mas Adi lalu menjambaknya.
"Mas, kamu ljek kaki aku yang luka!!!!"