Saat acara perayaan desa, Julia justru mendapati malam yang kelam; seorang lelaki asing datang melecehkannya. Akibat kejadian itu ia harus mengandung benih dari seseorang yang tak dikenal, Ibu Asri yang malu karena Julia telah melakukan hubungan di luar nikah akhirnya membuang bayi itu ke sungai begitu ia lahir.
3 tahun kemudian, dia pergi ke kota untuk bekerja. Namun, seorang pria kaya mendatanginya untuk menjadi pengasuh anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 - Permintaan Maaf Dari Majikan
"Tema pembicaraan kita hari ini membuat kita jadi tegang dan dingin. Membuat kita jadi berjarak. Maafkan saya, Saya mesti minta maaf karena sudah buat kamu menangis."
Kemudian Pak Bima berlutut di hadapanku, meraih puncak kepala ku lagi, dan mengusapnya pelan-pelan. Dia tersenyum, layaknya kaisar pendiam namun penyayang dan elegan.
"Saya salah. Maaf, ya?" katanya. "Saya traktir makan malam, bagaimana? Kamu boleh lanjut marah nanti setelah makan dan minum jus jeruk"
Dia menatapku lekat-lekat. Dan lagi-lagi aku tak mampu untuk menerima sorot mata itu. Tidak akan sanggup... Aku hanya diam sambil berpaling muka.
"Tidak usah," tampikku dengan cepat. "Saya masih kenyang, Pak Bima makan saja sendiri."
"Saya tahu kamu masih sebal, saya salah. Tapi, ini sudah waktunya makan malam. Ayo makan mumpung Lily masih tidur."
Aku hanya diam, tak memberi jawaban.
"Luka?" Tiba-tiba dia menarik lengan kananku, "Bekas kuku? Kenapa bisa luka begini? Kamu habis bertengkar dengan siapa?"
Menyadari itu, sontak aku berusaha menarik lenganku dari kuasanya, namun ototnya jauh lebih hebat dan kuat dari yang ku duga. Setelah menatapku beberapa saat, dia menarik tanganku hingga dadaku merapat ke dadanya.
"Tidak ada," kataku. Aku sendiri tak sadar kalau sudah luka begitu. Yang kuingat, tanganku sakit karena ditarik Mas Andrean tadi, tidak kusangka tahunya berbekas.
"Saya tidak pernah bertengkar dengan siapa pun."
Dia hanya diam, sambil tangannya akhirnya melepas tanganku. Pak Bima kemudian memijat keningnya kasar, lalu tersenyum masam.
"Apa pun yang terjadi, jangan biarkan siapa pun menyakiti kamu. Kamu harus lebih berani, dan jangan pernah menghakimi diri sendiri." bisiknya di telingaku. "Kalau memang kamu takut dengan masa lalu, maka jangan pernah lagi dibahas. Bukan menghindar, tapi menyenangkan diri itu juga perlu. Hidup sampai sekarang juga sudah hebat!"
Jantungku berpacu cepat dan hebat, bagai seekor kuda liar yang berlomba, rasanya jantungku mau copot. Perasaan berdebar itu kian kencang ketika ku sadari Air mata memenuhi mataku dan mulai berjatuhan.
"Aku benci Pak Bima!" Kataku. "Jangan bicara lagi!"
Lantas ku angkat kepalan tangan ke bahunya. Dan dengan tanpa ragu, serupa seekor kangguru yang emosian. Ku pukul bahu kekarnya Kuat-kuat, ku lepaskan kekesalan, amarah dan kecewa ku, seketika itu juga padanya. Sebenarnya, aku tidak marah pada Pak Bima, hanya saja saat ini aku benar-benar malu, sebab kini dia sudah tahu apa yang telah terjadi padaku.
"Iya, tak apa. Saya pantas mendapatkannya." Ucapnya. "Gara-gara saya bahas omongan yang aneh, kamu jadi sedih begini. Luapkan sampai kamu puas, asalkan setelah itu kamu maafkan saya."
Begitulah dia berusaha Kuat di depanku, menahan sakit.
Aku sibuk memutar bola mata, Menghindari pandangan Pak Bima yang begitu dekat di depanku. Kami memang belum cukup lama tinggal bersama, sehingga dia mungkin tidak mengetahui kalau itu adalah tanda bahwa aku tak sanggup mendapatkan sorot matanya yang membuatku nanar dan hampir gila.
"Kalau marah memang suka pukul-pukul?"
Aku menggeleng-geleng. "Maaf,"
Pak Bima tidak mengatakan apa-apa untuk merespon jawabanku. Bayangan ketika dia mengatakan akan menikahiku jika tidak ada lelaki lain yang mau menerimaku, masih begitu jelas teringat, terngiang, menggema di telingaku.
"Sudah selesai. Untung lukanya tidak dalam, lagian kuku kamu tidak panjang sama sekali, terus ini kuku siapa ya?" katanya tiba-tiba, setelah selesai mengompres tanganku yang luka bekas cengkeraman kuku panjang.
Itu bekas Mas Andrean, saat dia menarik tanganku tadi siang di parkiran. Tapi, aku lebih memilih diam, takutnya Pak Bima tambah salah paham padanya. Padahal kurasa Mas Andrean sendiri tidak sadar sama sekali, seperti aku.
"Oh, ya. Tadi minta maaf buat apa?" Tanya Pak Bima lagi.
"Maaf karena mukul Pak Bima... "
Dia tersenyum, Manis sekali. Angin malam berhembus, menyentuh-nyentuh ujung rambutnya. Pak Bima mengambil air putih di sampingku.
Aku menikmati air putih yang diberikannya, sementara dia duduk termangu, menatapku dengan senyum kecil tergores di bibirnya yang manis, sambil sesekali mencuri pandang kepadaku, dan hatiku pun gemetar karena tersentuh oleh ketampanannya. Ulala.
"Saya tidak marah kamu pukul. Malah lucu. Tapi, kelewat berani juga sih! Belum ada yang berani pukul saya begitu, sekalipun saya yang salah. Apalagi saya ini majikan kamu." Dia berpura-pura marah. "Hmm.. Tapi aku kurang suka, kalau kamu menyakiti diri sendiri. Membiarkan orang lain menyakiti kamu, dan kamu menutupi kesalahannya, itu sama saja artinya kamu menyakiti diri sendiri."
Rasanya pupil mataku membesar, begitu kudengar kalimat terakhir yang barusan diucapkannya. Apakah itu semacam peringatan kalau dia sudah tahu?
"Sudah tak apa, lupakan saja."
"Mau makan?" Lanjutnya sambil menaikkan sebelah alis, layaknya memberi sebuah tawaran.
"Ayam bakar?"
Dia mengangguk menahan tawa, "Boleh."
"Pakai sambal mangga?"
"Iya, boleh." Pak Bima akhirnya berdiri, sambil tersenyum manis untuk ketiga kalinya, Pak Bima menggosok kepalaku. "Tunggu, ya. Saya beli dulu!"
Kemudian dia keluar ruangan, pergi menuju kantin.
Aku bangga pada Pak Bima. Dia sebenarnya cepat beradaptasi dengan berbagai lingkungan, dia mampu menjadi sosok seperti apa pun untuk orang terdekatnya, hanya pembawaannya yang sering terlalu formal dan dingin, membuat dia menjadi menarik hanya dari segi fisik. Tapi, bila dia sudah membuka dirinya, dia akan tampil dengan karakter yang sesungguhnya, karakter yang hangat dan bersahaja; meski sekarang kelebihannya itu ditunjukkan mungkin sekadar untuk memenuhi perannya sebagai majikan baik hati. Tapi, itu sama sekali bukanlah kesalahan.
Bagaimana aku memiliki kekaguman semacam ini kepada majikan sendiri?
lanjut kak uchi
bgmn skrg perasaan ibu Julia melihat cucu kandung nya yg dulu dibuang dan skrg dalam keadaan sakit ?
imajinasi penokohannya jd brubah arah /Smirk//Applaud/