Namaku Dika Ananto. Seorang murid SMA yang ingin sekali menciptakan film. Sebagai murid pindahan, aku berharap banyak dengan Klub Film di sekolah baru. Namun, aku tidak pernah menduganya—Klub Film ini bermasalah!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agus S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Angin Yang Lewat
Dika kembali ke ruang kelas dengan kedua pundak yang berat. Dia bingung menanggapi kedua hal yang terjadi sedang terjadi. Apalagi dia hanya terbawa suasana karena diseret oleh kak Tio.
Tepat ketika Dika duduk. Dia menyadari ada beberapa tatapan yang mengarah ke arahnya. Dika yang tidak terlalu memikirkan hal tersebut hanya bisa menaruh wajahnya di atas meja karena sudah kelelahan akibat perbincangan dengan kedua klub.
Disana ada suara bisikan memanggil nama Dika yang berasal dari Juan. Dika perlahan menengok ke arah Juan dan bertanya apa yang dia inginkan.
Juan bertanya apakah Dika berpacaran dengan Chika. Mendengar pertanyaan yang aneh itu. Membuat kepala Dika berdiri dari atas meja dan menyipitkan kedua matanya. Dika mencoba mengontrol informasi tersebut di kepalanya.
"Tunggu, bisa kamu ulangi lagi?" tanya Dika dengan penasaran.
"Lu pacaran sama Chika, ya?" bisik Juan.
Dika menghembuskan napas berat, "Aku gak pacaran dengan dia. Yah, bisa dibilang kami hanya teman dekat. Apakah ada sesuatu?"
Juan mengangkat kedua bahunya, "Tadi, gadis itu mencarimu kesini. Berkat itu, jadi ada kabar angin dikalangan anak-anak kelas yang bilang kalau lu hebat juga udah mendekati gadis bermasalah itu."
Dika tertawa untuk sesaat, "Ah, jadi karena aku dekat dengan gadis yang digadang-gadang sebagai pembawa masalah itu. Aku jadi menarik perhatian, nih?"
Juan hanya tersenyum kecil menjawab pertanyaan Dika. Juan mencoba memberitahu Dika untuk tidak berurusan dengan gadis yang nyentrik seperti dirinya. Sebab dia juga dijauhi oleh beberapa orang di kelasnya.
Mendengar penjelasan Juan. Dika mengangguk pelan. Dia jadi mengerti mengapa judul skenario yang ditulis oleh Chika. Dika bertanya-tanya, apakah gadis itu akan menulis kisah bunuh diri di skenario yang dia ciptakan.
Memandang langit yang biru. Dika sadar kalau dirinya ingin sekali membantu Chika. Namun, dia belum tahu tujuan akhir dari penulisan skenario Chika. Jika Chika bertindak diluar pemikirannya, Dika pasti akan membantunya.
Dika membantu Chika bukan karena dia jatuh cinta pada gadis itu. Dika mengerti apa yang dirasakan Chika. Sebab, Dika pernah mengalami hal serupa dan itu sangat menyakitkan hingga membuat Dika ingin sekali bunuh diri.
...***...
Jam istirahat kedua telah dimulai. Dika awalnya ingin membantu kak Tio untuk berdiskusi mengenai pemilihan peran dari klub penggemar film. Tetapi, pesan yang berasal dari Chika membuat Dika penasaran. Berkat itu, Dika mengirim pesan ke grup klub film kalau dia tidak bisa menemani kak Tio.
Pesan itu hanya berisi untuk Dika agar datang ke atap sekolah membawa kamera yang selalu dibawa di dalam tas. Dika berpikir kalau Chika ingin melanjutkan syutingnya untuk pengambilan gambar yang lain.
Dengan membawa tasnya, Dika keluar dari kelas dengan terburu-buru menuju atap sekolah. Sesampainya di atap, Dika melihat suasana atap sekolah yang sunyi. Hanya ada taman kecil di tengah atap dengan pohon besar disana. Cahaya matahari yang berada di atas kepala sepertinya membuat atap sekolah sepi dari para murid SMA Penerus Bangsa.
Dika mendapat pesan dari Chika untuk mulai merekam sampai ke belakang pohon di tengah atap. Sontak Dika mengambil kamera di dalam tasnya dan mulai merekam seperti sesuai instruksi dari Chika.
Perlahan kedua kaki Dika bergerak mendekat ke arah pohon sambil menyesuaikan kestabilan kamera yang dia pegang. Kemudian seorang gadis yang Dika kenal dengan sosok rambut hitam sebahu sedang duduk di dekat pohon melihat ke arah kamera.
Chika menatap Dika untuk waktu yang lama. Kemudian Tangan kanannya bergerak memegang rambutnya yang diterbangkan oleh angin musim kemarau. Bibirnya Chika terlihat bergetar seolah-olah ingin mengatakan sesuatu.
Dika ingat sekali skenario yang ditulis oleh Chika sebagian besar hanya berisi penjabaran kehidupan karakternya. Minim dialog. Hanya kesendirian pemeran utamanya. Pada momen ini, pemeran utamanya seolah-olah ingin meminta pertolongan.
Melihat akting Chika yang indah dengan kehidupan diluar perkiraan. Dika seperti menjulurkan tangannya ke arah Chika dengan kata-kata yang tidak sengaja dia keluarkan.
"Apakah akhir dari perjalanan ini hanya akan ada kematian?" tanya Dika sambil menggigit bibirnya.
Mendengar pertanyaan Dika. Wajah Chika sontak berubah. Dia kaget karena pertanyaan itu tidak ada dalam skenarionya. Namun, Chika tersenyum kecil seolah-olah melanjutkan sandiwara yang berada diluar skenario.
"Setelah semua yang terjadi. Aku ingin sekali untuk mati," ucap Chika sambil perlahan berdiri dari tanah, "Apa kamu ingin melihatnya?"
Dibanding untuk membalas perkataan Chika mengenai kematian. Dika mengambil jalan pembicaraan yang lain untuk memastikan kegundahan hatinya.
"Apakah perjalanan kehidupanmu menyakitkan?" kata Dika sambil berjalan mundur.
"Jika dikatakan menyakitkan. Bagaimana jika aku mendeskripsikannya layaknya terjebak di dalam lubang yang dalam?"
"Aku sangat ingin melihatnya...."
Chika berjalan perlahan ke kamera, "Mau kuantar dalam perjalanan yang singkat mengenai kehidupan nan kecil ini?"
Dika langsung mematikan kameranya sambil menghembuskan napas panjang. Dia meminta maaf pada Chika yang seenaknya memberikan dialog pada skenario buatan Chika.
Chika menggelengkan kepala dengan cepat. Dia mengaku kalau adegan tadi sangat bagus. Chika mulai menjelaskan kalau perjalanan dua sejoli dalam pendeknya mungkin akan sangat menarik.
"Gadis itu akan mati. Kemudian anak laki-laki itu akan mengabadikan momen terakhirnya," ungkap Chika sambil tersenyum kecil.
Chika perlahan berjalan ke arah sudut tepi atap yang ditutup menggunakan pagar besi setinggi tiga meter. Dia mencengkram pagar besi itu dengan erat.
Dengan pelan, Dika menghampiri Chika dan berdiri di sebelahnya. Tepat ketika Dika berada di sebelahnya. Chika memalingkan wajahnya seolah-olah sedang menyembunyikan perasaannya.
"Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Kamu benar-benar ingin mati, ya?" tanya Dika sambil bersandar pada pagar besi.
"Entahlah. Tapi, disaat semuanya memburuk. Apakah kamu akan meninggalkanku?" potong Chika sambil mengelap air matanya.
Dika menjelaskan kalau tidak ada alasan dia untuk meninggalkan Chika. Bagi Dika, Chika adalah orang pertama yang menjadi temannya di kota Jakarta. Karena itu, Dika bersiap membantunya.
Angin kencang mendadak menerjang atap. Chika mendadak teriak karena terkejut. Kemudian dia berbalik sambil tertawa pelan memandang Dika yang masih melihatnya.
Chika bertanya pada Dika, "Jika suatu hari aku tidak ada jalan pulang. Apakah kamu mau membiarkanmu untuk tinggal sementara di tempat kosmu."
"Kurasa itu tidak masalah jika kamu tidak mengacak-acak rumahku," timpal Dika sambil mengangkat kedua bahunya, "Entah kenapa percakapan ini terdengar seolah-olah kamu memang ingin tinggal di tempat kosku. Kamu tidak sengaja untuk merencanakannya, bukan?"
Chika menggelengkan kepala sambil tertawa lepas. Dia mengaku tidak akan berpikir sejauh itu. Chika menambahkan kalau Dika terlalu sering menonton film yang membuat dirinya curiga dengan orang lain.
Dika terkekeh mendengar ucapan Chika. Kemudian dia mengatakan kalau seluruh tubuhnya mungkin telah diciptakan untuk nonton film.
"Kamu memang sangat menyukai film!"
Kemudian jam istirahat kedua akhirnya selesai. Dika mendapat kabar kalau diskusi antara klub film dengan klub penggemar film berjalan lancar. Tio menjelaskan akan ada rapat besar pada keesokan harinya.