RINDU GUGAT

Pak Lik Kasdi diam, dia tidak bereaksi apapun dengan pertanyaanku. Tangan dan jarinya sibuk menggulung tembakau yang di padu dengan cengkeh untuk dijadikan sebatang rokok. Setelah menjadi gulungan rokok yang satu ujungnya meruncing, ia masukkan kebibirnya untuk dia sulut dengan korek gas berwarna hijau. Ia hisap dengan nikmat dan dari bibirnya keluar asap putih yang menebal.

"Di daerah pedesaan Ponorogo dulu ada istilah sonjo. Yaitu anak bila kita dolan bermain malam dan menginap. Nah jika kita sonjo bangun kesukuan waktu subuh itu tidak baik. Kita bangun harus pagi, kalau dulu di istilahkan mapag datangnya rezeki," ujar Pak Lik Kasdi.

Pak Lik Kasdi kembali menghisap rokok lintingannya. Kemudian dilepaskan asap rokok dari mulutnya. Kali ini dia bentuk bulat bulat. Pak Lik Kasdi rupanya senang bermain asap rokok.

"Betapa hari itu saya tidak malu, saya bangun dari tidur, Mboke istri Mbah Jo Kromo sudah selesai masak, sedang Mbah Jo Kromo sudah berada di ladang belakang rumah, seperti anak nglinthuh tidak tahu kerajaan," tegas Pak Lik Kasdi.

"O, jadi penyebabnya Pak Lik malu itu bangun keuangan tadi, ya, " ujarku.

Pak Lik Kasdi mengangguk.

Kemudian Pak Lik Kasdi melanjutkan ceritanya, setelah ia bangun dan menuju dapur, Mboke kemudian menyiapkan sarapan untuknya. Kemudian Mboke mencari Mbah Jo Kromo, mengabarkan kalau Pak Lik Kasdi sudah bangun.

Mbah Jo Kromo kemudian mendekati dirinya dan dia di suruh sarapan. Pagi itu lauk pauk yang di sediakan sangat enak sekali. Yaitu dada ayam, yang tentunya hal semacam ini jarang terjadi di rumahnya.

Namun, entah apa penyebabnya. Pak Lik Kasdi nafsu makannya tidak ada. Namun agar tidak mengecewakan Mbah Jo Kromo sebagai Semaknya maka ia mengambil nasi setengah centong.

"Mangan ke sing okeh, biar tidak kurus badanmu, " kata Mbah Jo Kromo yang menunggunya.

Pak Lik Kasdi hanya mengangguk.

"Ini sudah cukup, Mak," ujarnya.

Mbah Jo Kromo hanya tertawa terkekeh kekeh mendengar pernyataannya.

"Nanti setelah ini, nyambangi (menengok) rumahmu. Sekaligus mengantar sapimu biar di pelihara di rumahmu sana, " ujar Mbah Jo Kromo.

Mendengar pernyataan itu, Pak Lik Kasdi yang masih kecil tersebut merasa gembira. Sebab dia bisa memberikan seekor lembu pada keluarganya.

"Tentulah Simbok akan senang, "batinnya.

Pak Lik Kasdi segera menyelesaikan makannya. Dia sudah sangat ingin beri yang terbaik bagi keluarga.

*****

Mbah Jo Kromo nampak sudah bersiap siap untuk mengantar Lembu sebagai hadiah tanda mata untuk Pak Lik Kasdi dan keluarganya. Dia sudah mengenakan ikat kepala warna gadung mlathi, dengan kaos berwarna putih. Memakai celana bogelan (celana panjang sampai bawah dengkul) berwarna hitam. Sabuk othok di kenakan untuk mengikat pinggangnya.

"Sapinya sudah di siapkan oleh Wiro. Ayo kita berangkat, Le! " ajak Mbah Jo Kromo.

Pak Lik Kasdi kecil hari itu juga nampak tampan sekali. Dia memakai baju lengan panjang, celana panjang dengan topi hitam berkaca mata hitam. Tak lupa tangannya di pakai jam tangan krepyak berwarna kuning. Dia berjalan berada di samping Mbah Jo Kromo.

Sedangkan Wiro keponakan Mbah Jo Kromo telah menuntun sapi dengan pecut kecil di pegang di tangan kanannya. Sementara tangan kirinya memegang dadung untuk mengendalikan sapi agar tak berlari semaunya.

"Dulu belum ada motor. Jadi dari Sambut sampai Sawoo ya hanya berjalan kaki, " terang Pak Lik Kasdi.

Namun perjalanan yang jauh itu, tidak membuat Pak Lik Kasdi terasa payah. Sebab baginya, kebahagiaan tersendiri karena bisa membantu keluarganya.

"Sampai tengah hari, kami sampai rumah. Simbok menjemput dengan girang ketika melihat kedatangan kami, " terang Pak Lik Kasdi.

Pak Lik Kasdi juga ingat, karena saat itu dirinya belum punya kandang, maka Simboknya meminjam Kandang Sapi milik Pak Simin.

"Berarti kandang sapinya Pak Simin tidak dipakai, Pak Lik? " tanya Ima.

"Kandangnya itu luas, Ndhuk. Sapinya cuma satu. Jadi sapi saya itu di titipkan ke Kandangnya. Namun bila siang di plegung di depan rumah itu, "ujar Pak Lik Kasdi.

Pak Lik Kasdi, menceritakan juga Simboknya itu meminta bantuan untuk di biarkan Kandang Sapi. Dan atas bantuan Pak Simin dan tetangga lain dalam waktu satu minggu Kandang sapinya bisa jadi.

"Tapi, meski jadi saat itu atapnya tidak dari genting. Melainkan dari daun kelapa yang di anyam," ujar Pak Lik Kasdi.

Dan menurut Pak Lik Kasdi, setiap bulan sekali selama dia di rumah Mbah Jo Kromo selalu di ajak menjenguk ibunya. Dan lebih dari satu bulan Kandang Sapinya itu tidak berubah atapnya artinya tetap dari blarak atau daun kelapa yang di anyam.

Kemudian pada saat Mbah Jo Kromo datang dengannya keruma, melihat kondisi kandang sapi tersebut ia mencari Pak Simin yang ditugaskan Simboknya untuk memelihara.

"Min, lihat atap barak ini sudah makin aus. Apa tidak mendengar orang yang jual gendang kandang bekas? "tanya Mbah Jo Kromo pada Pak Simin.

Pak Simin menjelaskan, kalau di daerahnya belum ada yang menjual tapi entah kalau di tetangga desa.

Mbah Jo Kromo, kemudian meminta pada Simin, untuk menambah luas kandang sedikit dan mengganti atap kandang dari genteng. Saat itu Mbah Jo Kromo juga menitipkan uang untuk menambah membeli genteng dan memperbaiki kandang sapinya.

"Apa mau di tambah sapi oleh Mbah Jo Kromo, kok kandangnya di tambah luas. Pak Lik? " tanya Pras.

"Memang kandangnya sempit. sehingga di lembu tidak bisa leluasa bergerak, " terang Pak Lik Kasdi.

"Saya kira mau di tambah sapi," kata Pras.

"Nah, karena kandang yang baru di buat oleh Kang Simin itu luas, maka Mbah Jo Kromo akhirnya punya pikiran lain. Sapi hadiah untuk saya itu di tambah lagi satu ekor sapi betina agar di pelihara Kang Simin," kata Pak Lik Kasdi.

"Jadi Pak Lik akhirnya punya dua ekor sapi, " sahutku.

"Tidak begitu, sapi saya tetap satu jantan. Yang betina itu sapi Mbah Jo Kromo di gaduhkan pada Kang Simin dengan upah paron," jawab Pak Lik Kasdi.

"Maksudnya, Pak Lik? "tanyaku minta penjelasan lebih rinci.

"ngGaduh itu kan memelihara hewan, ya merumput, ya memandikan, itu di kasih upah bila anaknya nanti dua, maka satu untuk pemelihara yang satunya untuk yang punya, " terang Pak Lik Kasdi.

"Kalau anaknya satu atau bahkan tidak beranak? " tanya Ima.

"Kalau anaknya satu, anaknya nanti di jual dan uangnya di bagi dua. Sebagian untuk pemelihara dan sebagian untuk yang punya. La, kalau majer atau tidak memilik anak, maka sapi itu di jual, modalnya beli untuk yang punya. Sedangkan lamanya di bagi dua," terang Pak Lik Kasdi.

"Lama pemeliharaan ini ada satu tahun, Pak Lik? " tanyaku.

"Sepertinya kok tidak ada satu tahun. Atau satu tahun, ya. Ya, anggap saja satu tahun, " ujar Pak Lik Kasdi.

*****

*****