Aruna Nareswari, seorang wanita cantik yang hidup sebatang kara, karena seluruh keluarganya telah meninggal dunia. Ia menikah dengan seorang CEO muda bernama Narendra Mahardika, atau lebih sering dipanggil Naren.
Keduanya bertemu ketika tengah berada di tempat pemakaman umum yang sama. Lalu seiring berjalannya waktu, mereka berdua saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah.
Mereka berharap jika rumah tangganya akan harmonis tanpa gangguan dari orang lain. Namun semua itu hanyalah angan-angan semata. Pasalnya setiap pernikahan pasti akan ada rintangannya tersendiri, seperti pernikahan mereka yang tidak mendapatkan restu dari ibu tiri Naren yang bernama Maya.
Akankah Aruna mampu bertahan dengan semua sikap dari Maya? Atau ia akhirnya memilih menyerah dan meninggalkan Narendra?
Jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca ya, terima kasih...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon relisya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31
"Kalian jangan lupakan kita ya," ujar Kania kepada Neva.
"Nggak akan pernah! Kalian sahabat terbaik gue selama ada di sini." Jawab Neva seraya memeluk Kania.
Suasana pun berubah menjadi lebih haru. Narendra dan Danu pun secara bersamaan memeluk Guntur, sebelum mereka tidak bisa bertemu lagi.
Fajar dan Mega sendiri ikut terharu melihat persahabatan yang terjalin pada anak mereka. Persahabatan yang begitu tulus dan setia.
"Yaudah kalo gitu gue pulang duluan. Kasihan Aruna sendirian di rumah," pamit Narendra.
"Sampaikan salam perpisahan kita ke dia ya Ren," ucap Neva.
"Pasti," jawab Narendra sembari tersenyum.
"Aku pulang dulu om, tante," Narendra beralih berpamitan kepada kedua orang tua itu, sembari mencium punggung tangannya secara bergantian.
"Hati-hati ya nak," ucap Mega.
"Hati-hati ya Ren, salam untuk Aruna," timpal Fajar.
"Iya om, tante." Jawab Narendra yang terus memperlihatkan senyuman manisnya.
Setelah selesai berpamitan, Narendra pun bergegas pergi dari sana. Sejak tadi sebenarnya ia sudah mengkhawatirkan kondisi Aruna, namun ingin pulang awal pun tidak mungkin.
"Kami juga pulang dulu om, tante, Nev, Tur," pamit Danu seraya menggenggam erat tangan sang kekasih.
"Hati-hati." Ucap Guntur, Neva, Fajar dan Mega secara bersamaan.
Akhirnya suasana di gedung tersebut kembali sunyi. Danu, Neva, Mega dan Fajar sendiri memutuskan untuk pergi ke hotel yang telah mereka sewa, sebelum besok pulang untuk berkemas barang.
.
Setelah menempuh jarak sekitar tiga puluh empat menit, akhirnya Narendra tiba di rumah mewahnya. Ia yang mengkhawatirkan sang istri pun bergegas pergi ke kamarnya.
Ceklek...
Pintu kamar ia buka, dan langsung menampakkan sang istri yang tengah berbaring di atas tempat tidur. Wajahnya masih terlihat begitu cantik, walaupun wanita itu sedang tertidur lelap.
Narendra tersenyum, lalu kembali menutup pintu kamarnya dengan perlahan. Setelah itu, ia menghampiri ke samping tempat tidurnya.
"Selamat beristirahat sayang, semoga besok kondisimu semakin membaik." Ucap Narendra dengan pelan, takut membangunkan sang istri tercinta.
Sebelum ikut merebahkan tubuhnya, Narendra terlebih dahulu pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Setelahnya, barulah ia ikut terlelap di samping Aruna.
.
Di pagi harinya, Aruna dan Narendra terbangun sama-sama. Bahkan keduanya mencuci muka bersama, agar menghemat waktu.
"Kamu dapat salam dari Guntur, Neva, om Fajar sama tante Mega," ucap Narendra setelah mereka berada di dalam kamar.
Aruna mengernyitkan dahinya sembari menatap sang istri, "Salam gimana? Pasti mereka nyari aku kan?"
Narendra menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, "Hari ini mereka semua mau pindah ke luar kota,"
"Loh, jam berapa? Apa kita masih sempat ke rumah mereka?" lontar Aruna secara beruntut.
"Enggak usah sayang, mereka udah aku kasih tau kondisi kamu. Jadi kita nggak usah pergi ke sana," jawab Narendra sembari mengusap hidung sang istri dengan gemas.
"Tapi-,"
"Nggak ada tapi-tapian! Pagi ini kita harus pergi ke rumah sakit dulu sayang. Setelah itu nanti agak sorean Kania dan Danu mau datang ke sini," jelas Narendra yang segera memotong pembicaraan sang istri.
Aruna menghembuskan napasnya kasar, "Yaudah deh kalo gitu,"
"Lagi pula kita masih bisa kirim pesan ke mereka," tambah Aruna lagi.
"Nah itu kamu tau!" seru Narendra.
"Yaudah, lebih baik sekarang kita sarapan dulu. Setelah itu kita cepat pergi ke rumah sakit," ajak Narendra seraya menggandeng tangan sang istri.
"Yaudah deh ayo." Ucap Aruna pada akhirnya.
Keduanya pun segera pergi ke dapur, karena jam memang sudah menunjukkan waktunya sarapan. Jangan sampai Maya dan Diandra membuat keributan hanya karena masalah sepele ini.
.
"Duhhh!!!! Lama banget sih?! Aku udah lapar banget ma!" protes Diandra karena menunggu Aruna terlalu lama.
"Sabar! Jangan sampai kakak kamu dengar perkataan kamu ini!" tegur Maya yang tidak mau menambah masalahnya dengan Narendra.
Namun tanpa mereka sadari, sejak tadi Aruna dan Narendra telah tiba di ambang pintu. Keduanya langsung duduk begitu saja, saat Maya baru saja berhenti berbicara.
"Gawat kalo Narendra dengar perkataan Diandra tadi!" batin Maya sedikit panik setelah melihat kedatangan sepasang suami istri itu.
Sedangkan Diandra malah bersikap biasa saja, dan sama sekali tidak mempedulikan ucapannya tadi diketahui sang kakak atau tidak.
"Kamu nggak kerja Ren?" lontar Maya hanya sekedar basa basi.
"Nggak," jawab Narendra cuek.
"Sayang, makan yang banyak ya," Narendra mengabaikan Maya, dengan cara memberikan perhatian kepada sang istri.
"Iya sayang," jawab Aruna dengan senyuman manisnya.
"Semoga saja Narendra nggak dengar." Batin Maya yang hanya bisa tersenyum kikuk karena diabaikan sang putra tirinya itu.
Suasana sarapan di sana cukup hening, tak ada obrolan sedikitpun antara mereka. Semua orang hanya terfokus pada makanan masing-masing, tanpa mau peduli dengan orang lain.
Sampai pada akhirnya acara sarapan tersebut telah selesai. Aruna dan Narendra bergegas pergi ke kamarnya, untuk siap-siap pergi ke rumah sakit.
Sedangkan Maya dan Diandra yang tidak memiliki kesibukan lebih memilih untuk mengobrol di teras rumah.
"Nggak ada kak Haikal jadi sepi ya ma?" lontar Diandra dengan pandangan lurus ke depan.
"Udah jangan bahas itu lagi! Nanti Narendra dengar bisa habis kita!" seru Maya sembari menoleh ke dalam rumah, untuk memastikan bahwa Narendra belum sampai di sana.
"Ck! Mama ini apa-apaan sih?! Mau ngomong aja selalu dilarang!" protes Diandra dengan bibir yang mengerucut.
"Emangnya kamu mau diusir dari sini seperti Haikal?" Maya balik bertanya, namun dengan nada suara yang sedikit dipelankan.
Seketika itu juga ekspresi Diandra berubah. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya ketika terusir dari sana.
"Enggak! Aku nggak mau!" seru Diandra dengan panik, setelah membayangkan kehidupannya yang menjadi susah.
"Makannya itu sekarang jangan asal berbicara!" tegas Maya sembari menatap serius pada anaknya itu.
"Iya ma, aku nggak akan bicara sembarangan lagi," ucap Diandra sungguh-sungguh.
"Oh iya, kabar Galang di luar kota gimana? Kapan dia kembali dan melamar kamu?" lontar Maya mengalihkan pembicaraan.
"Dia baik ma, katanya sih nanti dulu ma. Dia masih mau fokus sama karirnya," jawab Diandra dengan raut wajah sedihnya.
"Ck! Lama-lama dia nyebelin juga ya! Lebih baik kamu cari laki-laki lain aja yang mau diajak serius!" ketus Maya karena laki-laki itu tak kunjung memberikan kepastian kepada sang putri.
"Nggak mau ma! Lagi pula aku juga masih mau bebas dulu," tolak Diandra yang sebenarnya sangat menyayangi Galang.
"Yaudah deh terserah kamu! Tapi dalam jangka waktu satu tahun ini, dia harus mau lamar kamu!" tegas Maya.
"Iya ma, nanti coba aku bicarakan lagi sama dia." Jawab Diandra dengan santai, karena dia dan Galang sudah memiliki rencana mereka sendiri ke depannya mau bagaimana.