Hubungan manis antara Nisa dan Arman hancur akibat sebuah kesalahpahaman semata. Arman menuduh Nisa mewarisi sifat ibunya yang berprofesi sebagai pelacur.
Puncaknya setelah Nisa mengalami kecelakaan dan kehilangan calon buah hati mereka. Demi cintanya untuk Arman, Nisa rela dimadu. Sayangnya Arman menginginkan sebuah perceraian.
Sanggupkah Nisa hidup tanpa Arman? Lantas, berhasilkah Abiyyu mengejar cinta Nisa yang namanya selalu ia sebut dalam setiap doanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kaisar Biru Perak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 Pulang Sekarang
"Ada apa?" Hanni tak henti-hentinya mengumbar senyum selagi mengaduk teh. "Kenapa kamu melihatku seperti itu?"
"Apa hanya perasaanku saja?" Hanum menyangga dagu, tampak berpikir serius. "Akhir-akhir ini Anda terlihat lebih muda dan sehat."
Hanni tertawa ringan mendengar pujian Hanum. Wanita itu pun menyeruput tehnya, lalu melihat aneka bunga yang terhampar di taman belakangnya nan luas.
"Kamu baru menyadarinya sekarang?" Hanni menyunggingkan senyum lebih lebar dan percaya diri. "Aku sudah sehat. Mulai hari ini aku tidak akan sakit lagi."
Dua wanita itu pun tertawa, lalu kembali mengobrol seperti biasa. Menariknya, Hanni begitu bersemangat hari ini. Sangat berbanding terbalik dengan hari-hari sebelumnya yang terlihat lemas dan murung.
Melihat Hanni kembali bugar, Hanum pun senang. Tapi ada satu hal yang mengganjal di pikirannya. Dia ingin tahu kenapa Hanni ingin menemui Nisa minggu lalu. Dan sekarang, Hanum sedang menunggu waktu yang tepat untuk bertanya.
Tapi, tiba-tiba ...
"Num, katakan saja!" Hanni menatap Hanum yang saat itu sibuk dengan dunianya sendiri. "Aku tahu ada yang ingin kamu tanyakan padaku."
Istri konglomerat itu tersenyum lebar, sementara Hanum tersenyum canggung. Padahal, dia sedang menunggu momen yang tepat, tapi ternyata Hanni sudah tahu isi kepalanya.
"Nyonya,-"
"Sudah berapa kali aku bilang padamu, Num?" Hanni memotong ucapan Hanum dan melirik kearahnya.
Tidak suka karena Hanum selalu memanggilnya dengan sebutan nyonya dan berbicara formal. "Panggil aku Hanni saja."
"Apa yang Anda katakan?" Hanum semakin canggung. "Bagaimana mungkin saya berani memanggil Nyonya dengan sebutan seperti itu?"
"Kenapa tidak?" Hanni balik bertanya. "Bukankah kita sama-sama ibunya Abiyyu? Bedanya, kamu yang melahirkan anak itu dan aku tidak. Jadi berhenti memanggil aku dengan sebutan itu, ya?"
Tak hanya di situ. Hanni bahkan menyentuh tangan Hanum sekarang. Wanita itu menghela nafas panjang dan berkata, "Selain itu, aku sudah menganggapmu sebagai sahabatku. Jadi berhentilah berbicara formal dan jangan memanggilku nyonya."
"Ah, i-itu?" Diperlakukan seperti ini, Hanum sungkan juga. Bisa-bisanya dia yang berasal dari kaum biasa dianggap sahabat oleh seorang konglomerat.
Tapi, apa yang Hanni katakan memang benar. Mereka sangat akrab, saling membantu dan selalu ada saat mereka sama-sama butuh.
Dan yang paling penting, mereka sama-sama ibunya Abiyyu. Hanum sebagai ibu kandungnya, sementara Hanni bisa disebut sebagai ibu angkatnya.
Ya, Darmawan dan Hanni yang menyekolahkan Abiyyu setinggi-tingginya hingga pria itu mempunyai pekerjaan yang cukup mentereng sekarang.
Tentu saja, status itu bisa berubah sewaktu-waktu. Tergantung kapan Nisa menerima lamaran Abiyyu sehingga mereka akan menjadi besan.
"Kamu tidak mungkin menolak, kan?" Sekali lagi Hanni melirik.
Tak enak karena wanita itu terus memohon, Hanum pun mengiyakan permintaannya.
"Baiklah!" Hanum mengaduk tehnya, lalu meminumnya hingga tak tersisa. "Aku tidak akan sungkan lagi mulai sekarang."
Dua wanita itu pun tertawa, sementara Darmawan tak menggubris. Selagi dua wanita itu sibuk ngobrol, Darmawan memanfaatkan kesempatan itu untuk bermain pingpong dengan Atmaja.
"Apa Anda lelah, Tuan?" tanya Atmaja. "Kita bisa beristirahat sebentar kalau Anda lelah."
"Berhenti memperlakukanku seperti orang tua!" Darmawan protes keras. "Aku bisa menemanimu bermain hingga sepuluh ronde."
"Kenapa tiba-tiba Anda suka berolahraga?" Atmaja sempat tertawa, lalu menebak apa yang membuat Darmawan berubah. "Apa karena Nona Al?"
"Ya, ini karena Al." Senyum mengembang menghiasi wajah Darmawan. Pria itu mengangguk dan berkata, "Karena dia sudah pulang, aku memutuskan untuk segera pensiun. Lalu, setiap hari aku akan mengantar dan menjemputnya kemanapun dia pergi."
"Tapi, saya pikir Anda tidak perlu melakukan itu," sahut Atmaja.
Seketika Darmawan berhenti. Satu alisnya terangkat ke atas dan ekspresinya tidak senang mendengar ucapan Atmaja. "Apa maksudmu tidak perlu?"
"Nona Al bukan anak kecil lagi." Atmaja memberikan tatapan aneh. "Nona sudah besar dan dia tidak membutuhkan Anda untuk mengantar dan menjemputnya. Selain itu, calon menantumu sangat baik. Kurasa dia akan melakukan semua itu untuknya."
"Calon menantu?" Darmawan memelotot, melihat Atmaja dengan penuh tanda tanya. "Apa dia sudah akan menikah lagi?"
Tiba-tiba ekspresi Atmaja berubah. Pria itu mengingat sebentar, lalu tersenyum canggung. "Apa saya belum memberitahu Anda, Tuan?"
"Belum." Darmawan pun mendekati Atmaja dan berbisik. "Beritahu aku sekarang. Pelan-pelan saja, jangan sampai istriku tahu!"
Dua pria itu pun menjauh beberapa langkah. Tapi, sebelum mereka sempat bicara, Hanni sudah memanggilnya. "Sayang, bisa ke sini sebentar?"
.
.
.
Beberapa menit yang lalu, saat Darmawan dan Atmaja sibuk mengobrol.
"Aku ingin bertanya sesuatu." Hanum memperbaiki posisi duduknya, memposisikan diri lebih dekat dengan Hanni. "Sebenarnya, kenapa kamu ingin bertemu Nisa?"
Mendengar nama putrinya disebut, Hanni pun mengangkat wajahnya. "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin ngobrol dengannya."
"Oh, begitu rupanya." Saat ini, Hanum memang tersenyum dan mengangguk. Tapi jawaban itu tidak memuaskan hatinya.
Hanum yakin, Hanni dan Nisa tidak hanya sekedar ngobrol. Setidaknya, pasti ada obrolan serius diantara mereka.
"Kalau boleh tahu apa yang kalian obrolkan?" Sedikit ragu, tapi Hanum memberanikan diri mengajukan pertanyaan yang lain. "Menurutmu, Nisa itu seperti apa?"
"Kenapa tiba-tiba kamu bertanya soal itu?" Senyum Hanni semakin merekah. Dia pun menuang teh ke gelas mereka yang telah kosong, tak lupa menjawab pertanyaan Hanum yang belum dia jawab. "Dia anak yang baik dan cantik. Aku sangat menyukainya."
"Menyukainya?" tanya Hanum.
Jujur, Hanum mulai berpikiran macam-macam. Apalagi dia tahu kalau Hanni memiliki beberapa keponakan laki-laki yang seumuran dengan Abiyyu.
Takut, kalau-kalau Hanni ingin menjodohkan Nisa dengan salah satunya. "K-kamu tidak menjodohkan Nisa dengan salah satu keponakanmu, kan?"
Hanum pikir, dia bisa menyembunyikan kekhawatiran itu. Tapi dia salah, karena Hanni bisa membaca semua isi pikirannya.
"Kenapa?" Hanni tersenyum dengan elegan. Kali ini, sudah menjadi gilirannya untuk bertanya, "Apa kamu tidak senang kalau aku menjodohkan Nisa dengan keponakanku?"
"Bukan seperti itu." Hanum menghela nafas panjang, lalu mulai bercerita. "Aku senang kalau memang seperti itu. Tapi, aku akan lebih senang kalau Abiyyu yang menikah dengannya."
"Abiyyu?" tanya Hanni.
Kali ini, Hanni tak bisa menahan tawanya. Akhirnya dia tahu kenapa Hanum begitu penasaran dengan apa yang terjadi hari itu.
"Jangan tertawa seperti itu!" Hanum mulai merajuk. "Mereka sudah hampir menikah. Jadi jangan menjodohkannya dengan keponakanmu!"
"Menikah?" Hanni tidak pernah mendengar berita ini sebelumnya. Dia hanya tahu kalau Abiyyu dan Nisa berteman. Itu saja. "Darimana kamu tahu kalau mereka akan menikah?"
"Sebenarnya aku tidak terlalu yakin. Tapi aku melihatnya dengan mataku sendiri dan itu terjadi di rumahku," jawab Hanum.
Jawaban itu terlihat sangat meyakinkan dan itu membuat Hanni semakin penasaran. "Apa yang kamu lihat?"
"Hari itu Abiyyu sakit dan Nisa merawatnya semalaman. Nisa bahkan mengganti pakaian Abiyyu." Hanum pun memegang tangan Hanni. Mulai melebih-lebihkan cerita agar calon menantunya tak direbut Hanni. "Lalu kamu tahu apa yang terjadi?"
Mata Hanum membulat sempurna dan itu sangat sukses membuat Hanni penasaran dengan apa yang mereka lakukan.
"Apa yang terjadi setelah itu?" tanya Hanni.
"Mereka nyaris tidur satu ranjang dan Abiyyu menciumnya sebagai ucapan terimakasih," jawab Hanum.
"Abiyyu melakukan itu?" Hanni memelotot. Sementara mulutnya membentuk huruf O. Saat itu juga, dia pun menoleh dan berteriak memanggil suaminya. "Sayang, bisa ke sini sebentar?"
"Ada apa?" tanya Darmawan beberapa detik kemudian.
"Abiyyu, Pa?" Hanni meremas tangan suaminya kuat-kuat. "Abiyyu berani mencium Althafunnisa."
"M-mencium?" Sama seperti Hanni, Darmawan pun terkejut mendengarnya. Dia pun menoleh dan melirik Atmaja. "Mencium Althafunnisa?"
Salah satu ujung bibirnya terangkat ke atas. Sekarang, akhirnya Darmawan tahu kenapa Atmaja mengatakan kalau calon menantunya baik. Karena calon menantu yang Atmaja maksud adalah Abiyyu.
Tapi, mencium perempuan sebelum menikahinya bukanlah sesuatu yang Darmawan ajarkan. Jadi, Abiyyu itu harus dimarahi. Apalagi yang Abiyyu cium adalah putrinya sendiri.
"Berandalan! Berani sekali dia menciumnya?" Saat itu juga Darmawan menghubungi Abiyyu dan berkata dengan suara tegas. "Kamu di mana? Cepat pulang sekarang juga!"
***