Putri Kirana
Terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan menjadi tulang punggung keluarga, membuatnya menjadi sosok gadis yang mandiri dan dewasa. Tak ada waktu untuk cinta. Ia harus fokus membantu ibu. Ada tiga adiknya yang masih sekolah dan butuh perhatiannya.
"Put, aku gak bisa menunggumu tanpa kepastian." Satu persatu pria yang menyukainya menyerah karena Puput tidak jua membuka hati. Hingga hadirnya sosok pria yang perlahan merubah hari dan suasana hati. Kesal, benci, sebal, dan entah rasa apa lagi yang hinggap.
Rama Adyatama
Ia gamang untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan mengingat sikap tunangannya yang manja dan childish. Sangat jauh dari kriteria calon istri yang didambakannya. Menjadi mantap untuk mengakhiri hubungan usai bertemu gadis cuek yang membuat hati dan pikirannya terpaut. Dan ia akan berjuang untuk menyentuh hati gadis itu.
Kala Cinta Menggoda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Beraksi
Jakarta
Sudah dua hari kepergian Papi Krisna dan Mami Ratna. Namun belum ada kabar berita apapun. Rama tetap tenang dan menunggu kabar baik. Tidak ingin mengganggu acara liburan penting kedua orangtuanya itu.
"Good job!" Rama memuji kinerja Damar yang rapih menyematkan spy cam seolah kancing baju. Setelah kemarin mengajak makan siang, malam ini waktunya ke rumah Zara.
"Lo harus hati-hati sama si Zara. Bokapnya aja licik, bisa jadi anaknya juga. Dia cewek clubbing yang belum tentu masih vir gin. Jangan sampai lo terjebak!" Damar sudah membuka laptop untuk sinkronisasi dengan spy cam. Ia akan stand by monitoring di kamar Rama.
"Noted. Gue cabut dulu, bro!" Rama faham dengan maksud sahabatnya itu. Ia menepuk bahu Damar sebelum keluar dari kamarnya. Kemeja hitam slimfit dengan kancing warna senada, menyamarkan kamera yang terselip sebagai kancing bagian atas.
Sebelum menghidupkan mesin mobil, Rama melihat lagi chat kemarin sore kiriman Puput dan Ami.
"Pak Rama, makasih lagi....untuk bonusnya. Nggak nyangka ihh...besar sekali, Pak. Sama dengan gaji aku sebulan. Sekali lagi terima kasih, Pak.... Moga berkah. 🤗
"Kak Rama, aku Ami pakai hp Ibu soalnya Teh Puput lagi pelit. Makasih oleh-olehnya kak. Moga rejekinya berlimpah. Aamiin..."
Rama tersenyum lebar. Chat dari kakak beradik itu menjadi moodboster untuk segera menyelesaikan misinya. Ia sudah membalasnya dengan singkat. Kini beralih melihat lagi video kiriman Cia. Interaksi Puput dan Enin yang nampak hangat membuatnya ingin sekali bergabung berada di tengah-tengah mereka. Sekarang hanya bisa berangan.
Dengan berucap bismillah, Rama melajukan mobil keluar dari pintu gerbang yang dibukakan oleh security. Perjalanan 30 menit sampailah di depan rumah Zara.
"Saya Rama. Mau ketemu Zara." Ujat Rama saat security menanyakan identitasnya. Ia memang baru dua kali menginjakkan kaki di rumah mewah dua lantai itu. Saat bertunangan dan kedua kalinya entah bulan apa. Ia sendiri lupa. Jadi wajar jika security kurang mengenalnya.
"Oh, Mas Rama. Langsung masuk aja Mas. Non Zara sudah menunggu." Rama hanya mengangguk. Memperhatikan pintu gerbang yang didorong dengan sigap. Ia pun melajukan mobil memasuki pekarangan. Parkir berdampingan dengan mobil sedan milik Zara.
"Welcome, sayang---" Zara membuka pintu utama dengan wajah semringah dan penampilan paripurna. Merentangkan tangan untuk memeluk. Namun hanya dibalas Rama dengan genggaman tangan dan senyum manis.
Lain halnya Rama yang merasa risih melihat penampilan Zara yang seksi mengenakan mini dress warna merah. Memperlihatkan dada dan punggung yang terbuka. Sebagai lelaki normal ia menyadari jika hasrat kelelakiannya terpancing melihat kulit putih mulus dengan dada yang menantang itu.
"Kok sepi, Zara." Rama membiarkan Zara menggelayut di lengannya. Pandangannya lurus ke depan. Karena jika menoleh ke samping, pandanganya akan menubruk pada belahan dada.
"Ihh sayaaang, amnesia ya. Kan udah dibilangin kalau Papa sama Mama pergi ke Makassar." Zara mengerling nakal.
"Hehe...isi pikiranku tentang kamu semua. Hal lain jadi lupa." Rama tersenyum simpul.
"Aduuhhh sayang, kamu kenapa makin sweet sih pulang dari Ciamis. Bikin aku melayang deh." Zara makin menggelayutkan tangan dengan erat sehinggga tubuh samping rapat tak berjarak.
"Zara jangan gini. Aku takut khilaf....kita kan belum nikah. Jalan-jalan aja yuk!" Rama dengan bersikap lembut menurunkan tangan Zara dari lengannya. "Aku kan belum pernah lihat-lihat seluruh rumahmu. Masa udah mau nikah masih kayak orang asing di rumah calon istri. Benar gak?!" sambungnya sambil mencolek dagu Zara yang makin berbunga-bunga itu.
Zara tertawa manja. Menuruti permintaan Rama melepas pegangannya. "Khilaf juga gak papa, sayang. Kita kan bentar lagi nikah. Boleh nyicil kok," ujarnya dengan kedipan mata menggoda.
"Oke deh sayang. Mau home tour dari mana dulu nih." Zara menarik tangan Rama untuk berjalan setelah godaannya ditanggapi gelengan kepala.
"Hmm dari lantai bawah aja."
Zara menurut. Menuntun Rama menunjukkan dari arah belakang dulu. Mulai dari kolam renang lalu ke dapur dan ruang makan. Beralih ke ruang tengah.
"Ini kamar tamu." Zara membuka pintunya. Kemudian berjalan lagi tanpa melepaskan tangan Rama.
Rama mengedarkan pandangan ke setiap tempat yang ditunjukkan Zara. Belum ada titik terang tempat benda yang dicarinya. Dua kamar yang sudah dilihatnya nampak.biasa saja. Ia juga tidak terlalu fokus akan ucapan Zara yang menerangkan tentang furniture yang dibeli dari luar negeri.
"Kalau kamar kamu dan Om Rio di mana?!" Rama menghentikan cicitan Zara yang membanggakan lukisan yang dibeli papanya saat liburan di Paris.
"Ada di atas, sayang. Ayok!" Zara dengan senang hati menuntun Rama menaiki tangga.
"Ini kamar Mama dan Papa. Kalau pergi ke luar kota, kamarnya selalu dikunci Kuncinya sih aku tahu. Nyimpennya di brankas di ruang kerja.
"Mau lihat kamar aku sekarang, sayang?!" Tangan Zara akan menyentuh dada Rama. Namun dengan gerak halus Rama menahannya. Beralih dikecupnya tangan itu.
Membuat Zara terpana dan nampak senang.
"Om Rio hobi ngoleksi apa sih?! Biar nanti aku beliin buat surprise." Rama beralih merangkum bahu Zara sambil berjalan menuju ruangan tertutup yang menarik perhatiannya.
"Hmm apa ya. Papa dulu suka naik gunung tapi udah lama pensiun. Terus suka ngoleksi hape jadul. Sampe-sampe setiap aku ganti hape keluaran terbaru, hape lama suka diminta sama Papa. Gak boleh dijual."
Mata Rama berbinar terang saat rasa mual melanda karena tingkah Zara yang agresif. Titik terang mulai muncul.
"Wow hobi yang unik. Kolektor hape." Rama geleng-geleng kepala dengan wajah penuh kekaguman.
"Aku pengen lihat dong, Zara....koleksi hape Om Rio seperti gimana. Jadi penasaran." Rama mengusap-ngusap bahu polos Zara diiringi senyum maut.
"Ayoook---" Dengan manja Zara memeluk lengan Rama sambil berjalan menuju ruang paling ujung yang ternyata ruang kerja Rio. Zara menuju sebuah lemari buku dan menggeser pintu kaca lemari itu. Dengan menyingkap tiga buah buku, nampaklah sebuah brankas kecil.
"Papa menyimpan koleksinya di sini, sayang. Heran, brankas kok dipake nyimpen hape jadul bukannya isi logam mulia.
Mata Rama terpusat pada gerak cepat jari Zara yang menekan tombol angka untuk membuka brankas tahan api itu. Benar saja, isi brankas itu adalah sejumlah ponsel yang yang berjajar rapih dan bersih mengkilap.
"Sayang, jangan disentuh ya hapenya. Nanti bisa ketahuan Papa karena ada bekas sidik jari nempel. Bisa marah deh si Papa."
"Oke, Zara. Cuma pengen lihat doang bentar." Rama bersikap normal dengan mata yang tajam memindai deretan ponsel berjumlah sekitar 25 unit. Dengan warna ponsel bervariasi. Ada hitam, gold, biru, dan merah.
"Sayang, udah yuk. Tinggal satu ruangan lagi. Kamar aku---" Zara memeluk Rama dari belakang.
Membuat konsentrasi Rama buyar dan terpaksa menyudahi perhatiannya terhadap tiga ponsel berwarna merah yang berdiri dalam kotak berbeda. Yang ia cari merk ponsel apel digigit seri X. Sulit mengidentifikasinya tanpa memegang dan menilik satu persatu ponsel tersebut.
"Let's go ke kamar kamu." Rama segera membalikkan badan. Tidak mau dada Zara menyentuh punggungnya terlalu lama.
...***...
Perjalanan pulang ke rumah bisa dikebut karena jalanan lengang. Rama dengan langkah tergesa menaiki tangga menuju kamarnya. Berada berdua di kamar Zara membuat hatinya mulai was-was akan godaan yang akan terjadi. Apalagi Zara mulai merebahkan diri di atas ranjang dengan pose menantang. Serta terdapat dua gelas minuman yang tersaji di nakas.
Beruntung ponselnya berdering tepat waktu. Damar menyelamatkannya dengan alasan urgent harus pergi ke kantor karena ada masalah serius. Awalnya Zara memberengut dan merajuk gak mau ditinggalkan. Namun setelah Rama berjanji akan kembali datang besok siang, Zara pun berubah riang lagi.
"Gimana,Bro. Dapat paswordnya?!" Rama menghampiri Damar di dekat jendela balkon sambil membuka baju dan melemparnya sembarangan. Dilakukannya demi membuag aroma parfum Zara dengan segala sentuhan yang menempel di bajunya.
"Of course. Bukan Damar namanya kalau tidak cerdas." Damar sudah menuliskan sederet angka di secuil kertas. Rekaman dari spy cam di baju Rama sangat jelas mengarah pada angka kombinasi brankas yang dipijit oleh Zara. Meski harus mengulang dan memperlambat rekaman itu demi mendapatkan angka-angka dengan jelas.
"Huhuy...lo menang banyak, bro. Ditekan...diraba...namun gak keburu dicelupin!" Damar lanjut tertawa lepas. Meledek Rama yang ia saksikan di layar laptop mendapat sentuhan-sentuhan agresif Zara. Apalagi rekaman terakhir di dalam kamar. Ia bisa melihat pose menantang Zara yang siap memancing mengajak tempur.
"Na jis. Gue mandi lagi." Rama mendengus kesal sambil berlalu menuju kamar mandi.
Pagi menjelang.
Rama memutuskan tidak akan ke kantor. Begitu pula Damar yang harus siaga lagi di di depan layar laptop untuk mengawasi aksi Rama. Bahkan Zara juga sudah menelepon menagih janji untuk datang lagi ke rumahnya.
"Aku ingin hari ini final. Moga aja lancar." Rama memasukkan ponsel merah tipe yang sama ke dalam saku blazer yang dikenakannya. Ponsel second yang baru tiba diantar kurir. Yang dibeli secara online.
"Good luck!" Damar melakukan adu tos dengan Rama yang siap pergi.
Tiba lagi di rumah Zara, pagi menjelang siang ini. Rama menarik nafas dari hidung dan menghembuskan perlahan dari mulut sebelum keluar dari mobilnya. Untuk mengusir ketegangan. Aksinya kali ini riskan. Tapi ia akan berusaha beraksi serapih mungkin.
"Aku kira kamu akan bohong, sayang." Zara menyambutnya. Lagi-lagi dengan pakaian seksi menggoda.
"Mana mungkin. Aku kan berniat ingin memperbaiki hubungan kita, Zara." Rama menjawil dagu untuk menyenangkan hati Zara.
"Hmm, jam segini enaknya kita ngapain ya?! sambung Rama sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Berpasrah lengannya dipeluk Zara.
"Gimana kalau kita santai di kamar aja?!" Zara mendongak sambil mengedipkan sebelah mata.
"Oke---" Rama menerimanya dengan senyum terkembang. "Ada jus mangga gak, Zara. Aku pengen dong. Kesukaan aku itu." sambungnya sambil melangkah menaiki tangga.
"Wah sayang, kesukaan kita sama. Bentar aku ke dapur dulu nyuruh Bibi buatin. Sayang tungguin di kamar ya!"
Rama membulatkan kedua jarinya tanda setuju. Menatap punggung Zara yang menuruni tangga. Sampai di lantai dua, pandangannya mengarah ke pintu ruang kerja Rio.
Berapa lama kalau bikin jus.
Rama mulai memprediksi waktu. Langkahnya semakin dekat menuju ruang kerja Rio. Dan kini berdiri di depan pintu.
Ceklek.
Pintu tidak terkunci...