NovelToon NovelToon
Maaf Yang Terlambat

Maaf Yang Terlambat

Status: tamat
Genre:Tamat / Konflik etika / Anak Kembar / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Rianti Marena

Konon tak ada ibu yang tega 'membuang' anaknya. Tapi untuk wanita seperti Ida, itu sah-sah saja.
Lalu tidak ada yang salah dengan jadi anak adopsi. Hanya, menjadi salah bagi orang tua angkat ketika menyembunyikan kenyataan itu. Masalah merumit ketika anak yang diadopsi tahu rahasia adopsinya dan sulit memaafkan ibu yang telah membuang dan menolaknya. Ketika maaf adalah sesuatu yang hilang dan terlambat didapatkan, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rianti Marena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tidak Dijawab

Senyum di wajah Gunung membuat suasana pagi ini semakin cerah. Lambaian tangan anak bungsunya menambah nuansa hangat di hati. Hari ini adalah kali kedua ia melepas si bungsu ke galangan kapal dalam rangka tur studi lanjutan. Malah, bisa dikatakan kunjungan kali ini adalah kesempatan pra-magang. Jarang ada sekolah kejuruan yang memiliki program seperti ini.

'Ahh, sudah pasti kamu senang sekali, Nak,' Gunung membatin. 'Mestinya ibumu melihat seperti apa bahagianya wajahmu saat berlari kecil menuju pintu masuk galangan.'

Teringat kepada istrinya, Gunung seperti diingatkan pula dengan janjinya kepada Ayu. Obrolan mereka semalam soal Ida dan segala perkataannya berujung pada niat keduanya untuk menemui Dion di panti asuhan. Baik. Gunung maupun istrinya tidak ingin menunda. Kalau bisa, sesegera mungkin mereka mencari informasi. Soal Yunus. Soal anak yang dikira Ida adalah anak mendiang Satrio, saudara tengah Ayu dan Yunus. Dan secara sepihak sedikit mencari tahu apa motif Ida muncul tiba-tiba.

Gunung merogoh saku jaketnya, mencari ponsel. Begitu ketemu ia bergegas mencari nomor Dion. Selama ini ia mengenal pengelola panti asuhan itu dari istrinya. Belum sekalipun ia pernah ikut datang ke panti ataupun menemui Dion. Bukan karena tidak mau. Kesibukannya mengelola bisnis batik cukup menyita waktu dan energi. Kalaupun ada waktu luang, Gunung lebih memilih memanfaatkannya untuk berkumpul bersama istri dan anak-anak.

Nada tunggu membuatnya harus bersabar beberapa saat. Hari masih pagi. Belum juga pukul tujuh. Pagi belum lama dimulai dengan terang matahari. Jam segini hangatnya masih begitu nyaman di kulit. Malah, banyak orang memilih menjemur diri di bawahnya, entah untuk mengusir dinginnya pagi atau sekadar menikmati suasana awal hari.

[Halo, selamat pagi.]

Orang di seberang telepon menyapa ramah. Suara Dion.

"Selamat pagi, Pak Dion," Gunung balas menyapa. "Maaf mengganggu karena menelepon pagi-pagi. Saya Gunung, suami Bu Ayu, yang sering ke panti."

[Oya, halo, Pak Gunung. Salam kenal. Saya Dion yang mengelola panti. Maaf agak lama angkat teleponnya. Saya sambi mengantar anak-anak yang berpamitan berangkat sekolah.]

"Oh ya, nggak apa-apa, Pak Dion. Saya minta maaf malah mengganggu. Gini Pak, ada hal penting yang mau kami bahas dengan Bapak. Maka, saya dan istri saya berniat bertemu langsung dengan Bapak. Kalau hari ini Pak Dion ada waktu luang, tidak?"

...*...

Pukul 09:37. Mobil Ayu melenggang mulus di jalanan kabupaten, menjauh dari pusat kota Yogyakarta. Fajar duduk di belakang kemudi. Sesekali mata Fajar mengamati kardus-kardus yang menggunung di bagasi dan kursi penumpang di tengah mobil.

Baru lima menit yang lalu ia dan ibunya meninggalkan pasar buah. Dua bola semangka besar, empat buah melon, dan dua timun suri berukuran jumbo diikat aman dalam keranjang anyam rotan. Ada pula beberapa jenis buah lainnya yang lebih kecil ditata dalam kotak-kotak palet kayu. Di sampingnya tiga jerigen besar minyak goreng dan dua karung beras ditata rapi, persis di samping troli lipat yang diminta Ibu untuk dibawa.

Fajar tersenyum girang. Untung saja troli lipat itu dia yang membawa. Terbayang olehnya bagaimana repot dan sulitnya Senja membawa barang-barang belanjaan Nuri. Padahal kalau dibawa dengan troli, saudara kembarnya itu pastilah tidak akan sebegitunya sengsara. Yah, nasibmu, Brader, jadi kuli angkut dan asisten Mbak Nuri sehari, batin Fajar.

Fajar ingat betul, terakhir kali dirinya menemani kakak sulungnya berbelanja, sekujur tubuhnya pegal-pegal. Rasanya tulang-tulangnya dari leher sampai kaki hampir rontok paripurna. Ampun, deh, rasanya! Mungkin nanti saudara kembarnya juga merasakan hal yang sama.

Sebagaimana diingatnya, Nuri punya kebiasaan buruk saat berbelanja. Sekalinya pergi belanja, biasanya langsung membeli banyak barang. Memang jadi lebih hemat, baik di kantong maupun waktu. Namun kasihan teman belanjanya yang didaulat membantu membawakan barang.

"Mbak Nuri itu emang kadang nggak kira-kira. Sabar, yo, Nja!" Fajar bicara tanpa sengaja. Ibunya jadi kaget dan menoleh kepadanya.

"Kenapa, Mas Fajar?" tanya ibunya.

Fajar nyengir. "Nggak apa-apa, Bu. Cuma ingat Senja aja. Kasihan dia, hari ini jadi kuli."

"Hah? Kuli? Lha kok?" Ibunya bertanya heran.

"Nggak apa-apa, Bu. Lupain aja. Nanti Senja pasti cerita sendiri," seringai Fajar jahil. Ibunya hanya geleng-geleng sembari menghela napas.

"Bu, anak pantinya banyak, po? Maksudku, anak-anak yang tinggal di panti asuhan Pak Dion emang banyak? Lha Ibu belanjanya seram. Banyak banget," ujar Fajar.

"Ya, sekitar enam puluhan atau tujuh puluh anak, po, ya?"

Mata Fajar membelalak kaget. "Uwauw!" Pantas saja Ibu kalau membeli barang dan mengumpulkan donasi untuk anak-anak panti selalu dalam jumlah besar. "Terus itu yang mengelola Pak Dion sendiri, Bu?"

"Ya, dibantu para staf, donatur, relawan, dan siapapun yang mau membantu," terang sang ibu. Bibir Fajar membulat membentuk 'O' tak terucap.

Dering ponsel ibunya menjeda percakapan. Tak sampai tiga detik panggilan itu dijawab.

"Halo? .... Iya, Pak. Sudah di jalan kok. Ibu sama Fajar. Paling lama setengah jam sampai. Kalau begitu kita ketemu di sana ya, Pak. Hati-hati lo, Pak. Nggak usah ngebut. .... Oke."

"Bapak, Bu?" tanya Fajar, memastikan.

Ibunya mengangguk. "Bapak juga udah di jalan. Malah sudah duluan daripada kita."

"Ibu kenapa nggak sama Bapak aja, sih, ke sananya? Lagian harus banget hari ini, Bu? Emang ada acara apa to, Bu, di panti asuhan? Kok milih yang jauh? Kenapa nggak milih panti asuhan yang dekat?"

Mendengar itu, ibunya tertawa geli lalu menepuk pundak Fajar yang masih fokus menyetir. "Mas Fajar itu kalau tanya kayak kereta api, puanjaaang dan semua ditanyakan. Sampai bingung yang ditanya, mau jawab apa."

"Ah, Ibu," kata Fajar dengan nada manja. "Banyak tanya itu pertanda cerdas, lho, Bu."

"Itu kalau anak kecil. Kalau gedenya sudah segini namanya cerewet, bukan cerdas," kata ibunya sambil pura-pura menjewer telinga anak laki-lakinya.

Fajar manyun dikatai cerewet. Selain Bapak dan Budhe, semua orang di rumah juga menyebutnya cerewet. Masa, sih, aku cerewet, batinnya.

"Ahh, Ibu tuh. Mbok Ibu nggak ikut mbully aku, to! Mbak Nuri, Senja, sampai Rani itu senang lho, mem-bully aku. Malah Senja tega. Mosok dia bilang aku ini bukan kembarannya! Aku anak Ibu 'kan yaaa."

Bukannya langsung menjawab, ibunya malah menghela napas panjang. Lalu dengan nada sendu Ibunya membalas. "Apapun yang terjadi, kalian semua anak Ibu dan Bapak. Tidak ada yang berubah. Dulu, sekarang, seterusnya."

"Kok Ibu ngomongnya gitu? Seakan-akan dari kami ini ada yang bukan anak Ibu dan Bapak. Mbak Nuri, aku, Senja, Rani, beneran anak-anak Ibu sama Bapak, 'kan? .... Bu? Kok ... Ibu nggak jawab?"

Fajar menoleh ke samping di mana sang ibu duduk. Dilihatnya raut wajah ibunya yang berubah, dari ramah menjadi sedih, seakan sedang menahan gejolak emosi yang menyesakkan. Sekali lagi ibunya menghela napas panjang, seperti tengah frustrasi. "Mas Fajar fokus ya, nyetirnya. Jalanan ramai. Ibu agak pusing. Mau merem sebentar." Lalu kedua mata ibunya memejam dengan kepala bersandar antara ujung bantalan kursi dan jendela. Melihat itu Fajar jadi bingung tapi sungkan untuk protes.

"Oh..., e, ya, Bu," kata Fajar pada akhirnya.

'Aneh. Kenapa Ibu menghindar?'

Meski dilanda keheranan dan aneka pertanyaan mulai bermunculan dalam benaknya, Fajar memutuskan untuk kembali fokus menyetir. Sebuah firasat aneh dirasakannya. Barangkali keikutsertaannya ke panti asuhan hari ini bisa membuahkan petunjuk. Semoga.

...*...

1
Sabina Pristisari
yang bikin penasaran datang juga....
Rianti Marena: ya ampun.. makasih lo, udah ngikutin..
total 1 replies
Sabina Pristisari
Bagus... dibalik dinamika cerita yang alurnya maju mundur, kita juga bisa belajar nilai moral dari cerita nya.
Sabina Pristisari: sama-sama... terus menulis cerita yang dapat menjadi tuntunan tidak hanya hiburan ya kak...
Rianti Marena: makasih yaa..
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!