Maaf Yang Terlambat

Maaf Yang Terlambat

Kenangan Menyebalkan

Pukul 2 pagi. Mata ini masih betah memandangi langit-langit kamar hotel tempatku menginap. Padahal sepuluh jam yang lalu aku menggila bersama para manusia sepertiku di hektiknya Jakarta.

Akhirnya, setelah sepuluh tahun, kakiku menginjak 'kota kenangan'. Demikian aku dan suamiku dulu menyebutnya. Catat, aku pernah punya suami! Dan dulu aku paling senang kalau diajak ke sini.

Kota ini memang dipenuhi dengan kenangan, setidaknya bagi kami. Jauh berbeda dengan desa nelayan tempat kami hidup, kota ini memberikan warna yang berbeda.

Mungkin sudah terlalu lama aku tidak kemari. Banyak yang berubah. Kota ini telah semakin ramai. Seingatku dulu ini kota yang klasik. Pernah indah, mewah, dan megah pada masa kami dulu.

Kini nyaris tiada bedanya dengan kota-kota besar lainnya. Bahkan lampu-lampu kota dan taman-taman yang ditata belum mampu membuatku terpesona sebagaimana dulu aku terpukau setiap kali diajak kemari. Sayang jika kota yang pernah memenangkan hatiku ini kehilangan ciri khasnya.

Cih! Kalau bukan karena kalah taruhan, mana mau aku kemari? Di sinilah orang-orang yang pernah kusebut sebagai keluarga, tinggal. Dasar taruhan sialan! Kenapa juga aku harus kalah? Aishh!

Detik ini tubuhku seperti dipaksa oleh semesta. Dipaksa untuk rebah dan merasa lelah. Padahal aktivitas fisikku hari ini tidaklah seberapa. Dan kelelahan yang terpaksa kualami ini malah membuatku makin sulit tidur.

Mau tak mau ingatan lamaku bermunculan. Enggan mengenang semua hal yang menyebalkan justru memicu alam bawah sadarku pada salah satu kenangan pahit. Terputarlah peristiwa 22 tahun silam. Jelas. Amat jelas.

Ketika itu langit cerah tanpa awan. Matahari belum beranjak dari atas kepala. Warga desa nelayan sedang sibuk, tapi bukan untuk bekerja. Aku ada diantara mereka. Ikut sibuk. Bukan karena kemauanku. Terpaksa. Demi rasa cintaku kepada Yunus, suamiku, dan rasa sungkanku pada keluarganya.

Semua berusaha mencari orang hilang. Siapa orang itu? Biar kuberi tahu. Dia orang paling merepotkan, menyusahkan, dan masih terus kubenci bertahun-tahun kemudian. Hampir semua orang di desa kecil ini mengenalnya sebagai orang gagal. Namanya Satrio. Orang itu kakak iparku. Kakak tengah suamiku.

Angin bertiup sedikit lebih kencang dari biasanya. Kepak sayap camar-camar laut bersaing dengan derunya ombak. Buih-buih putih pecah di sepanjang pantai. Barisan air laut datang dan pergi bak berlapis-lapis agar-agar raksasa yang tergoyahkan wadahnya. Tersisa warna-warna pasir dan bebatuan karang yang menggelap kebasahan.

Di sinilah aku, berpanas-panas ria, demi solidaritasku kepada keluarga dari pihak suami. Merekalah yang selama ini telah memperlakukan aku sebagai manusia. Atas masa kecilku yang sepi dan masa remaja yang keras, aku akhirnya punya alasan untuk hidup layak. Jadilah aku bagian dari keluarga Mas Yunus.

Suamiku bungsu dari tiga bersaudara. Mbak Ayu, anak sulung, telah menikah dengan seorang pedagang kain batik dari desa sebelah. Kini mereka sedang menantikan kelahiran anak pertama.

Sebagai istri dari anak paling kecil, aku merasa berkewajiban untuk mendampingi Mbak Ayu dalam setiap kesempatan, terlebih saat suaminya pergi berdagang. Lalu kakak suamiku persis, Satrio si anak tengah, laki-laki yang penuh masalah. Dia hanya pulang ketika punya masalah, entah untuk memohon bantuan atau lari dari masalahnya. Tadi malam adalah salah satunya. Dia mendadak muncul di rumah dengan seorang bayi yang masih merah.

"Mas Satriooo! Mas Satriooo, Mas di mana? Pulang, Mas!" Dari seraknya suara, jelas suamiku sudah kelelahan. Napasnya kian tersengal. Sengatan matahari dan angin yang membawa uap air bercampur garam kian menambah perih pada kulit yang telanjang.

Lupakan soal eksotis. Kulit kami terbakar. Bagi kami warga desa nelayan, itu sudah biasa. Inilah risiko berinteraksi dengan laut lepas dan ganasnya matahari sejak ia terbit hingga terbenamnya.

Tapi aku, lain. Aku termasuk pendatang, bukan asli penduduk sini. Sumpah serapah dan umpatan menjadi hal biasa yang didengar orang dari mulutku. Seperti saat ini. "Haduh, kakiku, seperti mau copot rasanya. Seharian cuma sibuk mencari satu orang yang sama sekali ndak penting!"

Lain lagi dengan suamiku. Ia hafal dengan tabiatku, yang baik dan yang buruk. Entah karena cintanya yang besar untukku hingga diterimanya segala kekuranganku atau ia memilih untuk mengabaikan protesku karena alasan lain, ia tetap tenang menghadapiku. Seperti sekarang, persis setelah keluh kesalku terlontar dengan lantangnya.

"Mas Satriooo," panggilnya pada angin bisu. Nafasnya semakin terengah-engah. Air mukanya penuh kecemasan juga kesedihan. "Oalah, sampean di mana to, Mas?"

Walaupun kesal, tetap saja kutunjukkan upayaku, mendukung suami dan keluarganya mencari orang yang tak ingin kutemukan. "Mas Satriooo!" Aku berteriak lantang. Lagi-lagi tak berbalas. Hanya kaok beberapa ekor camar laut melintas di atas pantai yang terdengar di udara. Entah mengapa aku merasa kaokan camar adalah sindiran untukku. Sindiran yang membuatku jengkel tanpa sebab yang jelas.

"Ashhh, terserahlah, aku capek. Kakakmu yang satu itu memang njelehi kok, Mas. Mantan preman, kerjaannya mabuk dan judi, tiap hari main perempuan. Sekalinya insyaf, pulang malah bawa bayi. Entah anak siapa. Huuh! Dasar tukang bikin onar! Ndak ada habisnya dia bawa pulang masalah!"

Suamiku berbalik menghadapiku, menghardikku. "Hashh! Sudah, cukup! Tidak perlu kamu bicara begitu soal kakakku."

"Lho kok kamu malah marah sama aku, Mas? Mestinya kakakmu yang jadi sasaran amarahmu, bukan aku. Punya kakak kok biang kerok," protesku.

Suara Mbak Ayu, kakak tertua Yunus, memutus adu mulut kami. "Satriooo!" Dengan perutnya yang membuncit membawa jabang orok di dalamnya, perempuan manis yang tangguh itu tampak kewalahan. Kedua matanya telah bengkak karena menangis sejak semalam. "Gimana, Yun? Ada kabar dari penjaga pantai?"

"Belum, Mbak," jawab suamiku. "Semoga Mas Satrio cepat ditemukan."

"Duh, Tuhan, tolong jaga adikku! Sudah berhari-hari dia tidak pulang. A-aduh...." Tiba-tiba ia terhuyung. Dengan sigap suamiku menghampiri Mbak Ayu lalu menggandengnya. Hampir saja mereka jatuh.

Keringat bercucuran, membuat helai-helai baju yang menempel pada kami basah nyaris seluruhnya. Mbak Ayu yang terparah. Bibirnya kering. Wajahnya memucat. Kulihat kedua kakinya telah amat bengkak, lebih dari kemarin. Bagaimana bisa ia bertahan tanpa tidur dan makan padahal ada nyawa lain yang bergantung di dalam tubuhnya?

"Mas, lebih baik aku bawa Mbakyu istirahat. Bahaya kalau pingsan di sini. Apalagi sudah dekat waktunya melahirkan," aku menawarkan bantuan. Biar bagaimana, aku ini wanita. Mbak Ayu dan suaminya juga telah berjasa banyak untukku.

"Iya, iya! Mbak, ikut Ida istirahat sebentar ya. Kami saja yang mencari. Mbak sudah kecapekan. Lagipula para nelayan juga ikut membantu kita. Demi bayi dalam perut Mbak Ayu. Ya, Mbak?"

Belum sempat Mbak Ayu merespon bujukan Yunus, dari jauh kami mendengar Mas Nung, suami Mbak Ayu, memanggil suamiku dengan histeris. "Yunuuus! Yunus." Setelah cukup dekat tampaklah raut cemasnya. "Masmu, Yun! Satrio...." Lalu Mas Nung mulai menangis tanpa kata, hanya memandangi kami bertiga bergantian dengan raut kacau. "Kakakmu sudah ketemu. Satrio, Yun! Satrio...."

"Mas Yunus ketemu, Mas? Yakin? Di mana?"

Laki-laki itu berhasil ditemukan rupanya. Aku kecewa, tapi pura-pura lega. Pura-pura ikut penasaran juga. Sekadar menjaga perasaan suamiku dan kakaknya. Kukira penemuan Mas Satrio - ahh, tidak rela aku memanggilnya 'mas' - menjadi secerah harapan.

Namun, sembari menangis, Mas Nung memupus senyum yang mulai membayangi wajah suamiku. "Di sana, di balik karang dekat laguna. Dia..., " pecahlah tangisnya, lanjut Mas Nung, "...sudah tidak bernyawa, Yun. Satrio sudah mati, Yuuun!"

"M-mas, a-adikku meninggal? Satriooo!"

Pingsannya Mbak Ayu menyudahi kenanganku. Dan mataku terus nyalang, menatap kesal langit-langit kamar hingga matahari mengumbar cahayanya di luar sana. Cih! Aku tidak suka berada kota ini.

...*...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!