"Bisakah kita segera menikah? Aku hamil." ucap Shea Marlove dengan kegugupan ia berusaha mengatakan hal itu.
Tak ada suara selain hembusan nafas, sampai akhirnya pria itu berani berucap.
"Jangan lahirkan bayinya, lagipula kita masih muda. Aku cukup mencintaimu tanpa perlu hadirnya bayi dalam kehidupan kita. Besok aku temani ke rumah sakit, lalu buang saja bayinya." balas pria dengan nama Aslan Maverick itu.
Seketika itu juga tangan Shea terkepal, bahkan jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelum ia gugup mengatakan soal kehamilannya.
"Bajingan kau Aslan! Ini bayi kita, calon Anak kita!" tegas Shea.
"Ya, tapi aku hanya cukup kau dalam hidupku bukan bayi!" ucapnya. Shea melangkah mundur, ia menjauh dari Aslan.
Mungkin jika ia tak bertemu dengan Aslan maka ia akan baik-baik saja, sayangnya takdir hidupnya cukup jahat. ......
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nagita Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5
Pelukan itu terlepas, tatapan Aslan dan Shea kembali bertemu. Bohong kalau Shea tak merindukan Aslan, nyatanya hanya karena bisa berpelukan saja Shea sangat senang.
Rasanya Shea mau mengatakan kalau ia lebih merindukan Aslan dan sungguh otaknya hampir gila karena terus memikirkan soal Aslan berhari-hari ini.
‘Asal kau tahu Aslan, aku benar-benar merindukanmu, menginginkanmu dan terus mau disisimu. Kau adalah pria terbaik yang untuk pertama kalinya aku kenal, aku mencintaimu dan akan terus mencintaimu walau pada akhirnya mungkin aku bukan wanita yang akan cocok berada disampingmu.’ Ucap Shea membatin.
Melihat air mata mulai menggenang membuat Aslan mengecup lembut bibir Shea singkat, kulit Shea terasa hangat seakan wanitanya itu sedang sakit.
“Kenapa hanya diam saja sayang? Tidakkah kau merindukanku?” Tanya Aslan.
Apakah Shea boleh mengatakan rindu pada Aslan sedangkan ia sudah meminta untuk mengakhiri hubungan ini? Lupakanlah, haruskah Shea semakin terluka? Apa yang kelak akan terjadi jika Yumna semakin membenci Shea? Ada perbandingan yang terlalu besar untuk Shea memanjat tembok penghalang antara ia dan Alsan.
“Aslan, aku rasa ini cukup.” Ucap Shea.
Aslan menggeleng.
“Aku sudah memutuskan, aku hanya memerlukan dirimu Shea. Kau adalah yang pertama dan yang terakhir buat aku. Apapun itu mari berjuang bersama sayang, ijinkan aku sedikit lagi mendapatkan restu dari Mommy dan…”
“Aslan… yang Mommy mu katakan itu benar adanya. Aku hanya perempuan biasa, aku bahkan tak tahu siapa orang tuaku dan aku tak bisa mengubah apa yang sudah menjadi kenyataan dalam hidupku. Aku besar di panti asuhan dan aku hanya perempuan yang berjuang untuk diriku sendiri, terlalu bermimpi jika aku bisa bersanding denganmu. Kau terlalu jauh untuk bisa aku gapai, Aslan.” Ucap Shea.
Aslan menatap mata Shea yang kini menjatuhkan beberapa bulir air mata.
“Sayang, tidak maukah kau berjuang sedikit lagi? Tolonglah, aku benar-benar tak bisa tanpamu. Bagiku sampai kapanpun hanya kau yang akan aku cintai. Percaya padaku bahwa kelak kau dan aku akan menjadi pasangan.” Ucap Aslan.
Shea mendekat, kini ia menatap Aslan dengan yakin. Hembusan nafas Shea terdengar.
“Aslan, apa kau memang yakin kalau hubungan kita akan berlanjut? Jika aku katakan sesuatu saat ini apa kau ingin mengabulkannya?” Tanya Shea.
Aslan tanpa ragu menganggukkan kepalanya.
Shea mengusap wajahnya sendiri, tangannya tiba-tiba terulur pada Aslan membuat Aslan menunduk saat sesuatu terasa diberikan oleh Shea ditangannya. Sebuah benda berukuran panjang dengan dua garis merah terlihat disana.
Jelas Aslan tahu arti dua garis merah itu.
Raut wajah Aslan berubah. Anehnya terlihat diwajah Aslan kalau pria itu tak suka.
Shea kembali berucap.
"Bisakah kita segera menikah? Aku hamil." ucap Shea dengan nada kegugupan ia berusaha mengatakan hal itu.
Kali ini tak ada suara selain hembusan nafas, sampai akhirnya Aslan berani berucap.
Kepalanya terangkat, matanya kembali bertemu dengan wajah Shea.
"Jangan lahirkan bayinya, lagipula kita masih muda. Aku cukup mencintaimu tanpa perlu hadirnya seorang bayi dalam kehidupan kita. Besok aku temani ke rumah sakit, lalu buang saja bayinya." balas Aslan mengejutkan pendengaran Shea.
Bagaimana mungkin Aslan bisa mengatakan hal itu pada Shea?
Seketika itu juga tangan Shea terkepal, bahkan jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelum ia gugup mengatakan soal kehamilannya pada Aslan.
“Muda? Kau mengatakan kita masih muda, apa kau sudah gila? Aku berusia 23 tahun dan kau 27 tahun Aslan! Kita berdua sudah sangat dewasa.” Ucap Shea.
Aslan terdiam saat Shea memukul dadanya cukup kuat.
Perasaan wanita mana yang tak hancur mendengar ucapan pria yang ia cintai menolak kehadiran bayi milik mereka, jelas tak ada!
"Bajingan kau Aslan! Ini bayi kita, calon Anak kita!" tegas Shea.
Air matanya Shea kembali jatuh, bisa-bisanya Aslan mengatakan hal itu. Saat ini perasaan Shea benar-benar terluka, perih sekali mendengar ucapan Aslan barusan.
Aslan mencoba menarik tangan Shea lalu menggenggamnya dengan lembut.
"Ya, tapi aku hanya cukup kau dalam hidupku bukan bayi!" ucap Aslan.
Mendengar hal itu membuat Shea melangkah mundur, ia menjauh dari Aslan setelah menarik tangannya.
Mungkin jika ia tak bertemu dengan Aslan maka ia akan baik-baik saja, sayangnya takdir hidupnya cukup jahat.
“Aslan, pergilah. Rupanya aku sudah benar untuk tak mau berjuang atas hubungan ini, kita berakhir dengan cepat itu sudah baik.” Ucap Shea dengan nada yang melemah.
Hatinya sudah terlalu hancur mendengar seluruh ucapan Aslan atas tanggapan kehamilannya, padahal bayi itu milik mereka berdua.
“Shea aku mohon jangan lahirkan bayi itu.” Ucap Aslan sekali lagi.
Semakin mendengar ucapan Aslan maka semakin air mata Shea tak terbendung.
“Kenapa? Apa yang kau takutkan? Apakah kau takut jika bayi ini akan meminta warisan Keluargamu? Ternyata aku berpikir salah tentangmu Aslan, kau dan Ibumu sama saja! Pergilah!” Usir Shea.
“Bukan begitu Shea! Aku hanya perlu dirimu saja, aku bisa mencintaimu tanpa harus ada…”
“ASLAN PERGILAH! AKU TAK MAU MELIHAT WAJAHMU LAGI, JANGAN PERNAH MUNCUL DIHADAPANKU!” Teriak Shea penuh emosi.
Nafasnya sudah memburu karena amarahnya yang memuncak mendengar ucapan Aslan.
Aslan mau mendekat membuat Shea meraih sesuatu.
“Kau mau pergi atau kau ingin aku melukai diriku sendiri?” Tanya Shea mengangkat pisau buah diatas meja.
“Kau hanya tak mengerti Shea, sampai kapanpun aku hanya akan mencintaimu tanpa menginginkan Anak darimu. Salahku karena tak memakainya saat itu, bagaimanapun biarkan bayi itu tak perlu lahir. Aku mohon Shea, tiadakan saja kehamilanmu itu. Aku akan menemanimu ke rumah sakit.” Ucap Aslan dengan nada yang merendah membuat Shea semakin sulit bernafas.
Pria itu mundur lalu pergi keluar dari Apartemen Shea.
Bruk!
Shea terjatuh ke lantai, nafasnya yang tak beraturan berubah menjadi isakan. Ia pukul dadanya yang terasa sesak, bagaimana mungkin Aslan tega berucap seperti itu dan Shea sekarang benar-benar merasa bahwa Aslan adalah pria brengsek.
Jane mendengar perdebatan hebat itu, ia melangkah keluar dari kamar Shea. Ia dekati Shea lalu ia berjongkok di hadapan Shea.
Jane langsung memeluk Shea, membiarkan isakan itu berubah jadi tangis.
“Tak apa, menangislah Shea. Terkadang kau tak boleh hanya menyimpannya. Pria seperti dirinya sangat brengsek! Dia tak pantas untukmu, sudah lebih baik kalian berdua putus.” Ucap Jane menenangkan tubuh Shea yang bergetar dalam pelukannya.
“Jane… bagaimana bisa aku mencintai pria sebrengsek dirinya? Bagaimana mungkin Jane, dia mengatakan kalau bayi ini harus tiada? Bukankah dia mencintaiku? Lalu kenapa dia begitu tega mengatakan hal itu, apakah dia tak berniat mempertahankan hubungan ini?” isak Shea.
Jane terus menepuk dengan lembut punggung Shea.
“Lupakan dia! Kau bisa hidup tanpa si brengsek itu! Dia tak pantas menjadi seorang Ayah buat Anakmu kelak Shea. Kau tak boleh terluka hanya karena pria itu.” Ucap Jane memberikan semangat.
Shea membalas pelukan Jane, pikirannya terlalu terkejut dengan ucapan yang dikatakan oleh Aslan untuknya.
Beberapa saat setelahnya tangis Shea mereda, Shea juga menjauh dari pelukan Jane.
“Jane.” Ucap Shea.
“Hm?” Balas Jane.
“Aku… aku harus apa? Bagaimana mungkin Aslan tak menginginkan bayi ini?” Tanya Shea seraya mengusap perutnya.
Jane hapus sisa air mata di wajah Shea.
“Lupakan tentang mantan kekasihmu itu. Alih-alih bertahan di kota ini, apalagi pria itu tak menginginkan bayimu. Lebih baik kau pergi dari sini Shea, apa kau perlu bantuanku? Aku akan menemanimu jika kau ingin pergi ke kota lain.” Ucap Jane.
Shea terdiam dengan tatapan matanya yang menatap Jane.
Apa mungkin itu ide yang baik?
Bersambung...