Generation Sandwich, istilah yang sering di gunakan baru-baru ini. Mungkin sebagian ada yang menjadi pelakunya, ada juga yang menganggapnya hanya sebuah sudut pandang semata.
Tumbuh dan besar dari kalangan menengah kebawah menjadikan seorang gadis cantik bernama Hima Narayan kuat dalam menjalani kehidupannya.
Tanpa di ketahui banyak orang, nyatanya Hima menyimpan luka dan trauma tersendiri dalam hidupnya. Tentang pengkhianatan dan kekecewaan di masa lalu.
Ganindra Pramudya Suryawilaga : " Saat aku pikir kamu adalah rumah yang ku tuju. Tapi kamu justru menjauh saat aku ingin menggapai mu. Beri aku kesempatan sekali lagi Hima!"
Kehidupan keluarganya dan kisah cintanya tak pernah berpihak padanya. Akankah Hima menyerah dengan kehidupannya???? Lantas bagaimana dengan kisah cinta gadis itu?
Semoga para reader's kesayangan berkenan mampir, terimakasih 🙏🙏🙏🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ibu ditca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Ganin masih menjaga Hima di ruangan itu. Sejak tadi ponsel Hima berbunyi, tapi ia masih cukup enggan menyentuh barang pribadi Hima meski mereka sepasang kekasih.
Ya, walaupun mungkin Hima belum menganggapnya seperti itu. Tapi karena takut ada hal yang penting, Ganin pun memberanikan diri mengambil benda itu di dalam tas Hima karena ia yang memasukkannya saat Hima di bawa ke klinik ini.
Ganin meraih benda pipih berwarna hitam itu. Lampu layar masih menyala. Ada beberapa panggilan tak terjawab di sana. Juga chat yang di kirim oleh seseorang bernama Alin.
Ganin melihat sekilas chat yang nampak di layar tanpa membuka room chat di aplikasi hijau itu.
[Kamu gitu banget ya Hima, tega kamu sama kakak dan keponakan kamu! Mba cuma minta lima ratus ribu buat nambahin beli susu Ziva. Kalau bengkel mas Agus ramai juga mba bayar kali! Jangan pelit sama saudara]
Ganin menghela nafas panjang membaca chat tersebut. Sudah kepalang tanggung, ia pun akhirnya membuka room chat tersebut.
Banyak pesan yang Alin kirim dari waktu ke waktu tapi tak ada satupun yang Hima balas. Judulnya sama, uang!
Ganin menggeleng heran lalu menatap Hima dengan tidak tega.
Lalu ia beralih ke chat selanjut, nada yang hampir sama! Bedanya, ibu nya lah yang mengirim pesan tersebut dan meminta sejumlah uang. Akan tetapi terlihat ada beberapa foto bukti transfer atas nama bapak Hima.
Ganin memijit pelipisnya. Lagi-lagi ia menatap wajah cantik yang masih betah terpejam.
Tangannya kembali terulur mengusap kepala Hima yang sudah tak tertutup jilbab. Ponsel yang baru Ganin letakkan kembali berdering.
Kali ini nama bapaknya yang muncul.
"Apa bapaknya mau minta duit juga sama Hima???", monolog Ganin. Tapi ia memilih untuk tidak mengangkatnya.
Setelah itu, chat dari bapaknya Hima pun muncul.
[Hima, perasaan bapak ngga enak. Kamu ngga ada masalah kan di sana nak?]
Ganin membacanya. Setelah di pikir-pikir, sepertinya ia terlalu suudzon pada keluarga Hima. Punya hak apa dia ikut campur urusan keluarga Hima kan???
Ganin mengambil ponsel itu lalu ia menggunakan Harun.
[Assalamualaikum, Hima?]
[Walaikumsalam, bapaknya Hima]
[Lho ... ini siapa? Hima nya mana?]
[Eum...Hima... masih belum sadar pak, dia... di rawat di klinik. Tadi ada insiden di tempat kerjanya pak]
[Astaghfirullah!! Tapi bagaimana kondisi anak saya? Anda...anda...siapa??]
Ganin menatap Hima yang masih belum siuman.
[Ada luka di leher dan rahangnya pak. Saya... Ganindra pak, Hima...pacar saya]
[Astaghfirullahaladzim! Eh...pacar?]
Harun terkejut mendengar luka yang di alami Hima tapi lebih terkejut lagi saat ada laki-laki yang mengaku pacar putri keduanya.
[Iya pak. Maaf pak, saya belum bisa menjaga Hima dengan baik]
[I-iya. Bolehkah nanti kalo Hima sudah siuman di suruh telpon bapak?]
[Insya Allah nanti saya sampaikan pak]
[Baiklah nak Ganin, titip Hima ya]
[Iya pak]
Harun yang sedang melayani pembeli pun tampak terbengong.
"Eh, pak! Saya kan minta baso tanpa mie, kenapa malah di kasih mie banyak gitu sih?", protes seorang pembeli.
"Maaf Bu...maaf! Iya saya ganti!", kata Harun.
"Anaknya kenapa pak?", tanya pelanggan yang lain. Dia sempat menguping pembicaraan antara Harun dan Ganin.
"Anak saya kecelakaan di tempat kerjanya mas. Sekarang masih dirawat, belum sadarkan diri!", jawab Harun jujur.
"Ya Allah, Pak! Bapak yang sabar ya!", ujar pembeli yang tadi bertanya.
Ibu yang tadi sempat protes pun merasa tak enak hati. Wajar kalau Harun sampai salah melayani karena pikirannya sedang kacau.
"Lebih baik bapak pulang dan istirahat di rumah. Tenangkan diri bapak , sambil nunggu kabar dari sana. Bapak juga ngga bakal konsentrasi kalau tetap di sini."
"Iya mas, terimakasih masukkannya."
Usai melayani pembeli terakhir, Harun pun membereskan dagangannya. Belum habis memang, tapi setidaknya ia sudah cukup membawa uang untuk modal keesokan harinya. Toh, ia masih bisa menyimpan baso nya di freezer.
Pembeli yang terakhir beli tadi pun pulang ke rumah orang tuanya.
Lelaki bernama Satria itu baru saja pulang dari Korea dan akan segera bekerja kembali di Jakarta.
Ia menyempatkan pulang lebih dulu untuk menemui kedua orangtuanya yang sudah ia tinggal sejak beberapa tahun lalu karena merantau ke negeri ginseng tersebut.
Di kantor, Bayi dan Helga masih di interogasi oleh rekan-rekan Ganin. Sayangnya mereka masih tutup mulut tak mau mengatakan mereka bekerja untuk siapa.
Sepertinya orang itu benar-benar punya power yang membuat nyali anak buahnya seperti Bayu dan Helga menciut.
Mungkin mereka akan menunggu Ganin untuk turun tangan langsung menangani Bayu dan Helga. Untuk saat ini, Ganin pasti masih mengurus korban sandera dari Bayu yang tak lain kekasihnya sendiri.
🌾🌾🌾🌾🌾
Hima akhirnya siuman. Dengan perlahan ia di bantu duduk oleh Ganin.
Gadis itu mendesis saat merasakan perih di leher juga rahangnya.
"Bekas di jahit, Ma! Tapi itu jahitan yang tidak perlu di lepas."
Hima hanya mengangguk tipis. Walaupun dia sebenarnya tak tahu jahitan di lepas atau tidak itu seperti apa. Yang jelas, sakit !
"Mau minum?", tawar Ganin yang menunjukkan sebotol air mineral. Hima pun mengangguk pelan. Gadis itu meminum air dari botol dengan sedotan.
"Sudah?", tanya Ganin. Hima kembali mengangguk.
"Makasih!", jawab Hima lirih.
"Jangan berterima kasih. Aku seharusnya minta maaf sama kamu, aku... tidak bisa melindungi kamu dari si brengsek Bayu. Apalagi dia berani-beraninya cium kamu! Kesal aku tuhhh?!", kata Ganin.
Hima menyunggingkan senyumnya sedikit. Ganin yang ia lihat saat ini seperti Ganin yang sebelumnya. Bukan seperti tadi saat terjadi insiden.
Aura Ganin benar-benar berubah drastis!
"Oh iya, maaf juga. Tadi...bapak kamu telpon, maaf ya...aku lancang!", kata Ganin.
"Bapak telpon?", tanya Hima dengan sangat hati-hati. Ganin mengangguk.
"Iya, bapak pesan kalau kamu siuman suruh telpon balik."
Hima terdiam beberapa saat.
"Tapi...aku masih sakit kalau banyak bicara."
"Video call aja!", ide Ganin. Hima menatap kekasihnya sebentar. Lalu Ganin tersenyum tipis. Seolah mengerti apa yang Hima pikirkan.
"Tadi aku udah memperkenalkan diri ke bapak kamu, Ganindra sebagai kekasihnya Hima!", kata Ganin dengan senyuman menawan yang mampu menghipnotis siapapun.
"Bapak...?"
"Heum, makanya tadi aku bilang kamu suruh telpon balik. Video call aja, aku rasa bapak kamu akan sedikit lega kalau melihat kamu terlihat baik-baik saja meskipun sekarang kamu masih kesusahan bicara. Setidaknya, bapak bisa tanya kondisi kamu langsung."
Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya Hima pun setuju.
"Tapi hp bapak ngga bisa buat video call. Ke nomor mba Alin aja!", kata Hima meraih ponselnya.
Ganin terdiam. Ingin melihat reaksi Hima saat tahu dirinya sudah membaca pesan dari Alin.
Hima menoleh ke Ganin yang sepertinya tak enak hati karena ia sudah membaca pesan Alin.
Tapi Hima tak mau membahas sekarang. Ia pun menghubungi nomor Alin untuk di berikan pada bapak atau ibunya.
[Hallo Hima, kamu mau transfer ya?]
Cerocos Alin tanpa salam sama sekali.
[Assalamualaikum mba, bapak ada ...?]
Hima agak kesulitan berbicara karena menahan sakit bekas jahitannya.
[Walaikumsalam, kamu ngga jawab....lho...kamu kenapa?]
Alin yang tadinya duduk mendadak berdiri. Hima hanya menghela nafas berat.
[Kecelakaan mba!]
[Kok bisa?? Lain kali hati-hati dong Hima! Kamu tuh merantau jauh dari keluarga kalau terjadi apa-apa gimana? Ngga ada yang urus kamu. Nanti yang bayarin bank siapa???]
Astaghfirullah, batin Hima.
Sungguh ia merasa malu karena kakaknya justru mengkhawatirkan tentang hal itu, bukan dirinya. Terlebih...Ganin menyaksikan sendiri seperti apa Kakaknya.
[Ibu sama bapak mana?]
Ulang Hima agar kakaknya tak membahas hal itu.
[Bentar!]
Alin keluar dari kamarnya. Ia mencari keberadaan kedua orang tuanya. Setelah bertemu, baru ia serahkan ponselnya pada kedua orang tuanya.
Harun dan Murtini nampak mengkhawatirkan kondisi Hima. Wajar saja, Hima jauh dari mereka.
Harun pun akhirnya menanyakan tentang Ganindra. Apalagi Murtini sudah menceritakan tentang seseorang yang mengaku kekasih putrinya.
Sebagai orang tua yang pernah melihat keterpurukan seorang Hima, tentu saja mereka bahagia.
Apalagi Ganin terlihat jauh lebih tampan di banding alm Nanda. Tapi...semua kembali lagi pada Hima, karena ia lah yang akan menjalani kehidupannya.
🌾🌾🌾🌾
Big bos belom turun dari singgasananya bestiiii 🤭🤭🤭
Terima kasih 🙏
Kasih bonchap dong
mksh ya thor atas bacaannya yg luar biasa sukses trs dengan karya² baruy..love² buat ithor💖💖💖💖💖💖💖