Raka adalah seorang pemuda biasa yang bermimpi menemukan arti hidup dan cinta sejati. Namun, perjalanan hidupnya berbelok saat ia bertemu dengan sebuah dunia tersembunyi di balik mitos dan legenda di Indonesia. Di sebuah perjalanan ke sebuah desa terpencil di lereng gunung, ia bertemu dengan Amara, perempuan misterius dengan mata yang seakan memiliki segudang rahasia.
Di balik keindahan alam yang memukau, Raka menyadari bahwa dirinya telah terperangkap dalam konflik antara dunia nyata dan kekuatan supranatural yang melingkupi legenda Indonesia—tentang kekuatan harta karun kuno, jimat, serta takhayul yang selama ini dianggap mitos.
Dalam perjalanan ini, Raka harus menghadapi berbagai rintangan, termasuk rasa cintanya yang tumbuh untuk Amara, sembari berjuang mengungkap kebenaran yang tersembunyi di balik cerita rakyat dan keajaiban yang mengikat mereka berdua. Akan tetapi, tidak semua yang bersembunyi bisa dipercaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ihsan Fadil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Pertemuan dengan Sang Penjaga
Udara di dalam gua terasa semakin padat saat mereka melangkah lebih dalam. Cahaya dari senter mereka kini menyinari sebuah ruangan besar yang sebelumnya tersembunyi di balik lorong sempit. Ruangan itu dihiasi dengan ukiran dinding yang lebih rumit, memperlihatkan simbol-simbol kuno dan gambaran yang sulit diartikan. Di tengah ruangan, berdiri sebuah patung besar yang menyerupai sosok manusia dengan sayap yang terlipat, memegang tongkat yang berkilauan samar dalam kegelapan.
“Apa ini?” bisik Amara, matanya terpaku pada patung tersebut.
Raka melangkah maju, mengarahkan senternya ke patung itu. “Sepertinya ini bukan sekadar patung biasa. Lihat, tongkat itu tampak seperti artefak yang disebutkan dalam petunjuk terakhir kita.”
Tiba-tiba, suara lirih bergema di seluruh ruangan, seperti bisikan yang datang dari segala arah. Mereka bertiga saling menatap dengan cemas, dan langkah mereka terhenti. Suara itu perlahan-lahan menjadi lebih jelas, seolah-olah ada seseorang yang sedang berbicara dalam bahasa kuno.
Kemudian, dari balik patung itu, muncul sosok yang tampaknya hidup. Seorang pria tua dengan jubah panjang yang penuh simbol kuno melangkah maju dengan tongkat kayu di tangannya. Wajahnya dipenuhi kerutan, tetapi sorot matanya memancarkan kewibawaan.
“Siapa yang datang ke sini, melewati lorong yang terlupakan?” tanyanya dengan suara yang dalam dan tenang.
Raka dan yang lainnya terdiam sesaat sebelum Arjuna menjawab, “Kami datang untuk mencari kebenaran. Petunjuk membawa kami ke sini, dan kami yakin tempat ini menyimpan sesuatu yang penting.”
Pria tua itu memandang mereka dengan tajam, seakan menilai kejujuran dalam kata-kata Arjuna. “Apa yang kalian cari bukan sekadar benda, melainkan jawaban. Tetapi setiap jawaban memiliki harga,” katanya sambil mengetukkan tongkatnya ke lantai batu.
Lantai gua bergemuruh sejenak, dan tiba-tiba simbol-simbol di dinding menyala dengan cahaya biru yang lembut. Cahaya itu membentuk pola yang menghubungkan satu ukiran ke ukiran lain, menciptakan gambaran sebuah peta yang lebih kompleks daripada yang mereka miliki.
“Saya adalah penjaga rahasia ini,” pria tua itu melanjutkan. “Hanya mereka yang hatinya murni dan niatnya benar yang dapat melangkah lebih jauh.”
Amara maju dengan ragu. “Kami hanya ingin melindungi warisan ini, memastikan bahwa ia tidak jatuh ke tangan yang salah. Dunia di luar penuh dengan orang yang akan menyalahgunakan kekuatannya.”
Sang Penjaga menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum tipis. “Kata-katamu tulus, tetapi jalan yang kalian tempuh tidak akan mudah.”
Ia kemudian mengangkat tongkatnya, dan cahaya biru dari simbol-simbol di dinding semakin terang. Di tengah ruangan, muncul pilar cahaya yang menyorot ke arah patung di belakangnya. “Ini adalah peta terakhir yang akan membawa kalian ke jawaban, tetapi kalian harus melewati ujian terakhir sebelum melanjutkan.”
“Ujian apa?” tanya Raka dengan hati-hati.
Sang Penjaga tidak menjawab langsung, tetapi ruangan itu tiba-tiba berubah. Mereka bertiga mendapati diri mereka berdiri di tepi sebuah lembah yang luas, dengan jembatan batu yang tampak rapuh menghubungkan kedua sisi. Di bawah jembatan, jurang gelap yang tampaknya tak berdasar.
“Ini adalah ujian keyakinan,” suara Sang Penjaga bergema di udara. “Hanya mereka yang percaya pada satu sama lain dan tujuan mereka yang akan berhasil melintasi ini.”
Raka, Amara, dan Arjuna saling bertukar pandang, merasakan berat tanggung jawab yang kini ada di pundak mereka. “Kita harus melakukannya bersama,” kata Arjuna dengan tegas.
Mereka mulai melangkah di atas jembatan itu, dengan hati-hati memeriksa setiap langkah. Batu-batu jembatan tampak goyah, tetapi tidak ada pilihan lain selain terus maju. Di tengah perjalanan, bayangan mulai muncul dari kegelapan di bawah mereka—sosok-sosok tak berbentuk yang tampak berusaha menggoyahkan keyakinan mereka.
“Jangan lihat ke bawah!” seru Amara sambil meraih tangan Raka.
Namun bayangan itu semakin mendekat, menyelimuti jembatan dan menciptakan ilusi yang membuat langkah mereka terasa berat. Raka terhenti sesaat, merasa seperti tidak mampu melanjutkan.
“Kau bisa melakukannya, Raka,” bisik Amara, suaranya tegas tetapi penuh empati.
Dengan dorongan itu, mereka terus melangkah hingga akhirnya mencapai sisi lain. Begitu mereka melangkah keluar dari jembatan, ilusi itu lenyap, dan mereka kembali ke ruangan besar dengan Sang Penjaga.
“Kalian telah membuktikan keyakinan kalian,” katanya sambil tersenyum. “Peta ini sekarang milik kalian, tetapi ingatlah, perjalanan ini baru awal dari ujian yang lebih besar.”
Dengan itu, Sang Penjaga menghilang bersama cahaya biru yang memancar dari simbol-simbol di dinding. Peta terakhir kini terukir di lantai gua, siap untuk mereka bawa dalam perjalanan berikutnya.
“Ini belum selesai,” kata Raka sambil memandang peta tersebut. “Tapi kita tahu bahwa kita semakin dekat dengan jawabannya.”
Bab ini berakhir dengan mereka bertiga menatap peta terakhir, mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan yang penuh dengan rahasia dan tantangan. Cahaya di balik gunung menanti mereka, tetapi bayangan gelap yang lebih besar juga siap menghadang.
Setelah Sang Penjaga memberikan peta terakhir, ruangan terasa hening. Namun, hening itu bukanlah ketenangan—melainkan sebuah pertanda bahwa sesuatu yang lebih besar sedang menunggu.
“Aku tidak percaya semua ini benar-benar terjadi,” ujar Amara sambil memandang lantai gua yang kini dipenuhi dengan ukiran peta bercahaya. Peta itu menunjukkan jalur-jalur kompleks yang membentuk sebuah pola menyerupai bintang. Di tengah pola, terdapat simbol misterius yang menyerupai matahari dengan lingkaran emas di sekelilingnya.
“Simbol ini…” Arjuna menunjuk ke tengah peta, wajahnya menunjukkan keheranan. “Ini adalah lambang yang sama seperti yang kita lihat di prasasti pertama.”
“Kalau begitu, ini artinya pusat dari semua rahasia ini berada di tempat ini,” kata Raka sambil memerhatikan setiap detail ukiran di lantai. “Tapi, di mana lokasi sebenarnya? Tidak ada nama atau petunjuk spesifik.”
Saat mereka bertiga mencoba memahami peta itu, terdengar suara gemuruh pelan di dalam gua. Suara itu datang dari lorong
Setelah ujian bayangan berakhir, suasana di dalam gua berubah menjadi lebih mencekam. Udara terasa berat, dan dinding-dinding gua memancarkan cahaya samar dari ukiran yang mulai bergerak perlahan, seolah hidup. Langkah mereka bergema, menciptakan irama aneh yang terasa seperti dentuman jantung bumi.
"Sepertinya ujian belum selesai," gumam Raka dengan napas tersengal.
Amara meraih tangan Arjuna, menatapnya dengan penuh keyakinan. "Kita sudah sejauh ini. Apa pun yang akan terjadi, kita harus terus maju."
Tiba-tiba, sebuah suara berat kembali terdengar. Namun kali ini, bukan dari Sang Penjaga. Suara itu seperti berasal dari kedalaman gua.
"Kalian boleh lolos dari bayangan, tapi apakah kalian mampu menghadapi kegelapan sesungguhnya?"
Tanah di bawah kaki mereka berguncang hebat. Sebuah lubang besar terbuka di tengah ruangan, dan dari sana muncul kabut hitam pekat yang menggulung seperti ombak. Di dalam kabut itu, samar-samar terlihat sosok besar dengan mata merah menyala.
“Ini tidak ada di dalam rencana,” bisik Arjuna, menggenggam pisau kecilnya lebih erat.
Sang Penjaga kembali muncul, berdiri di depan mereka dengan tongkatnya yang bercahaya. "Itu adalah Roh Penjaga Kegelapan, bagian dari kekuatan kuno yang melindungi artefak. Ia akan menguji keberanian kalian, bukan dengan ilusi, tetapi dengan kenyataan yang paling menakutkan."
Tanpa peringatan, sosok besar itu mengayunkan tangannya yang berupa bayangan pekat ke arah mereka. Ruangan bergetar keras, dan mereka bertiga terpental ke berbagai arah.
Amara terjatuh di dekat ukiran peta, kepalanya berdenyut karena benturan. Namun, saat matanya tertuju pada simbol di tengah peta, ia menyadari sesuatu. "Lihat ini!" serunya kepada yang lain. "Simbol ini bukan hanya petunjuk lokasi—ini adalah segel. Kita harus mengaktifkannya untuk menghentikan makhluk itu!"
Raka berlari menghampirinya, melindungi Amara dari serangan berikutnya. “Bagaimana caranya?” tanyanya, menahan nafas.
“Kita harus menyatukan kekuatan kita,” jawab Amara. "Tapi bukan kekuatan fisik. Ini tentang niat, kepercayaan, dan keberanian kita."
Arjuna, yang masih terhuyung setelah serangan tadi, berteriak dari kejauhan. "Kalian lakukan itu, aku akan mencoba mengalihkan perhatiannya!" Tanpa ragu, ia melemparkan batu besar ke arah makhluk itu, membuatnya berbalik dengan raungan keras.
Sementara itu, Amara dan Raka meletakkan tangan mereka di atas simbol di tengah peta. Mereka menutup mata, mencoba fokus pada apa yang dimaksudkan Amara. "Bayangkan kegelapan menghilang. Bayangkan cahaya yang mampu mengusirnya," ujar Amara dengan suara tenang.
Cahaya dari simbol itu mulai menyala perlahan, tetapi tidak cukup kuat. Makhluk itu kini mengabaikan Arjuna dan berbalik ke arah mereka, matanya merah menyala dengan intensitas yang menakutkan.
“Kita butuh satu lagi!” seru Raka.
Arjuna melihat itu dan langsung berlari ke arah mereka. Dengan keberanian yang luar biasa, ia melompat melewati makhluk itu, nyaris tersambar tangan bayangannya. Ketika ia berhasil mencapai simbol, ia menempatkan tangannya di atas simbol bersama Amara dan Raka.
Cahaya mendadak menyembur keluar dari simbol, menerangi seluruh ruangan. Cahaya itu berbentuk lingkaran yang memancar ke segala arah, menembus kabut hitam dan mengenai makhluk bayangan itu. Makhluk itu mengeluarkan raungan terakhir sebelum tubuhnya perlahan menghilang, larut ke dalam cahaya.
Ketika semuanya selesai, ruangan kembali sunyi. Ukiran peta di lantai berubah menjadi batu biasa, tetapi sebuah batu kecil berbentuk kristal muncul di tengahnya. Kristal itu memancarkan cahaya lembut, seperti mentari pagi yang baru terbit.
Sang Penjaga mendekat, menatap mereka dengan penuh penghargaan. "Kalian telah melewati ujian terakhir di gua ini. Kristal itu adalah kunci menuju lokasi berikutnya. Jaga baik-baik, karena banyak pihak lain yang akan mengincarnya."
Raka mengambil kristal itu dengan hati-hati. “Apa ini benar-benar artefak yang kita cari?” tanyanya.
“Belum,” jawab Sang Penjaga. “Ini hanya awal. Kalian masih memiliki perjalanan panjang, dan musuh-musuh kalian kini tahu kalian semakin dekat dengan kebenaran.”
Ketika Sang Penjaga mulai memudar, ia meninggalkan satu pesan terakhir. “Ingatlah, kekuatan terbesar yang kalian miliki bukanlah apa yang kalian bawa, melainkan apa yang ada di dalam diri kalian. Jangan biarkan keraguan menghancurkan kalian.”
Ketiganya terdiam, merenungkan kata-kata itu. Saat mereka melangkah keluar dari gua, mereka disambut oleh pemandangan matahari terbenam yang luar biasa indah. Cahaya oranye dan merah menyelimuti langit, seolah menyambut keberhasilan mereka.
Namun, jauh di bukit sebelah, seorang pria berpakaian hitam mengamati mereka melalui teropong. Di tangannya, ada sebuah radio. “Mereka sudah mendapatkan kunci,” katanya pelan. “Kita harus bergerak lebih cepat.”
Petualangan mereka baru saja dimulai, dan bahaya kini semakin mendekat.