🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳
Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.
Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.
Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.
Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?
Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Bestie?
Perlombaan yang diselenggarakan oleh para anggota PPI di Ponpes Darul Quran berlangsung meriah. Para santri yang telah digembleng selama empat puluh hari berlomba dengan serius. Hafsa dan Gus Sahil turut menjadi juri pada beberapa cabang perlombaan, yang nantinya pengumuman dan pembagian hadiah akan diumumkan saat malam hari.
Hafsa berdecak kagum mencicipi hasil masakan para santri pada cabang lomba memasak. Semuanya enak-enak, ia sampai bingung memilih siapa yang terbaik di antara mereka.
"Bagaimana Ning?" Gus Ihsan mendekati Hafsa. "Sudah terlihat belum siapa yang menang?"
Hafsa menggelengkan kepalanya. "Susah Gus. Semua masakannya enak-enak,"
Gus Ihsan terkekeh, "Berarti program kita berhasil kan ya?"
Hafsa tertawa, mengangguk-anggukkan kepala.
Gus Sahil yang semula berada di lokasi cabang lomba merias wajah tidak sengaja melihat ke arah mereka, sekonyong-konyong menghampiri dengan langkah tergesa. Setelah sampai, ia dengan sengaja menempatkan dirinya di tengah-tengah Hafsa dan Gus Ihsan.
"Mana yang enak?" Gus Sahil bertanya pada Hafsa, tidak menoleh pada Gus Ihsan sama sekali.
"Semuanya enak Mas Gus," Hafsa tampak berpikir sejenak, kemudian mencomot satu buah kue klepon. "Cobain deh, ini juga enak,"
Tanpa repot-repot menggunakan tangannya, mulut Gus Sahil terlebih dulu maju, melahap klepon dari tangan sang istri. Mata Hafsa terbelalak lebar, tidak menyangka Gus Sahil akan melakukannya di tempat yang ramai orang begini.
"Hmm..enak banget Sa. Coba yang itu juga," Gus Sahil menunjuk dadar gulung, meminta Hafsa mengambilnya. Hafsa menurut, langsung disuapkan pada Gus Sahil.
Tidak berhenti sampai di situ, Gus Sahil menunjuk kembali beberapa makanan lain, meminta Hafsa untuk menyuapinya secara langsung.
Gus Ihsan menggeleng-gelengkan kepalanya, hatinya merasa panas melihat kemesraan mereka. Ia kemudian memilih pergi daripada dianggap sebagai obat nyamuk di sana.
...----------------...
"Kami umumkan juara pertama!"
Seperti yang sudah direncanakan, malamnya seluruh santri berkumpul di aula. Mereka bertepuk tangan riuh, saling mengelukan nama-nama jagoan mereka. Setelah pembawa acara menyebutkan nama-nama juaranya, tepuk tangan kembali bergemuruh di aula tersebut.
"Kami juga berikan penghargaan kepada orang yang turut berkontribusi dalam melancarkan program kami. Kepada Ning Hafsa, kami haturkan."
Para santri bersorak-sorai. Hafsa yang tidak menyangka namanya akan ikut dipanggil tertawa, merasa malu. Umi Zahra memberikan kode agar Hafsa segera maju ke depan.
Gus Ihsan secara langsung memberikan piagam penghargaan pada Hafsa. Juru kamera segera menempati posisi mereka, bersiap memotret momen itu. Hafsa dan Gus Ihsan tersenyum lebar.
Gus Sahil tiba-tiba muncul, langsung berdiri di tengah mereka berdua. Ikut tersenyum saat di foto. Hafsa menoleh dengan bingung, kenapa suaminya itu tiba-tiba ikut berdiri di sini?
"Senyum Sa, difoto itu loh," tegur Gus Sahil.
Meski masih merasa heran, Hafsa menurut. Kembali tersenyum lebar.
KLIK!
Setelah acara pemberian penghargaan selesai, para santri bergantian memberikan hadiah kenang-kenangan kepada para kakak-kakak anggota PPI. Hadiahnya ada yang berupa barang dan ada juga yang surat. Mereka memberikan hadiah itu kepada anggota yang paling mereka sukai.
Gus Ihsan sampai kewalahan membawa semua hadiah. Rupanya para santri terutama santri putri banyak yang mengagumi Gus Ihsan. Tak heran, karena selain wajahnya yang tampan, Gus Ihsan juga sangat lembut dan perhatian kepada semua orang.
"Gus Ihsan populer juga ya," Hafsa menyeletuk.
"Mbak santri tahu saja mana yang ganteng," Umi Zahra mengangguk setuju.
Hafsa tertawa mendengar jawaban Umi Zahra. Sementara Gus Sahil yang mendengarnya berdecak jengkel.
"Aku juga ganteng," tukasnya sembari menghembuskan nafas kesal.
...----------------...
Esok paginya, Gus Ihsan dan anggota PPI berpamitan. Mereka sudah selesai menjalankan program mereka, dan sudah waktunya untuk pergi ke pesantren lain.
"Bagaimana menurutmu program ini San?" tanya Abah Baharuddin.
"Alhamdulillah, dibandingkan dengan pesantren lain, program yang kami lakukan di Darul Quran berjalan sangat sukses Yai,"
"Alhamdulillah," serentak semua orang mengucap syukur.
"Kami juga berterima kasih karena kalian semua sudah mau repot-repot datang ke sini. Empat puluh hari terasa cepat sekali ya. Pulangnya apa tidak bisa diundur saja?"
Gus Ihsan menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Abah Baharuddin. "Kami masih mau melanjutkan program ini di pesantren lain Yai. Supaya program kami ini bisa dirasakan oleh seluruh santri pada semua pesantren,"
Abah Baharuddin mengangguk-anggukkan kepala. "Semoga lancar ya San,"
"Terimakasih banyak untuk do'anya Yai,"
Setelah berpamitan, Gus Ihsan dengan para anggotanya bersalaman. Hafsa mengatupkan telapak tangannya di depan dada saat menyalami Gus Ihsan dan anggota laki-laki yang lain.
Saat tangan Gus Ihsan berjabatan dengan Gus Sahil, ia menggenggam tangan laki-laki itu dengan kuat. "Saya minta maaf atas kejadian tempo hari Gus," ucap Gus Ihsan sembari tersenyum lebar. Meski begitu tangannya masih meremas tangan Gus Sahil sekuat mungkin.
"Saya juga minta maaf karena sudah melukai wajah njenengan," Gus Sahil merasa tidak mau kalah, balas meremas tangan Gus Ihsan lebih kuat. "Dan kalau bisa, jangan kesini lagi."
Gus Ihsan tersenyum miring. "Tergantung. Kalau saya dengar kabar buruk soal njenengan, saya akan langsung lari ke sini."
Dalam waktu yang lama, dua putra kyai kondang itu saling beradu tatap sengit. Sama sekali tidak ada yang mau mengalah sampai Hafsa menyenggol Gus Sahil pelan. "Gus, pada antre itu di belakang,"
Gus Sahil dan Gus Ihsan terhenyak. Benar saja, para anggota PPI yang ingin ikut bersalaman tampak menunggu. Melihat mereka berdua dengan tatapan heran.
Gus Sahil dan Gus Ihsan buru-buru melepaskan tangan masing-masing, mengusap-usap telapak tangan mereka pada sarung yang mereka pakai.
Hafsa mengernyitkan dahi melihat ekspresi aneh mereka berdua.
Mobil yang menjemput para anggota PPI meluncur mulus dari gerbang pesantren. Hafsa dan Umi Zahra melambaikan tangan pada mereka yang pergi. Setelah mobil menghilang dari pandangan, mereka segera beranjak untuk masuk ke rumah.
"Sedih?" tanya Gus Sahil tiba-tiba.
"Hah?" Hafsa terkejut karena pertanyaan mendadak sang suami. "Sedih kenapa?"
"Ya mungkin sedih karena ditinggal Gus Ihsan?"
"Sedikit sedih sih," jawaban Hafsa membuat mata Gus Sahil seketika melotot. "Programnya kan bagus, para santri juga jadi semangat mencari ilmu baru. Sekarang pesantren terasa lebih sepi setelah mereka pulang,"
Gus Sahil mendengus. "Oh.."
"Memang njenengan nggak sedih?" Hafsa balik bertanya.
Alis Gus Sahil terangkat. "Kenapa harus sedih?"
"Kan bestie njenengan sudah pulang,"
"Bestie-ku?" Sekarang gantian Gus Sahil yang kebingungan. "Siapa?"
"Loh, Gus Ihsan itu bukannya bestie-nya njenengan?"
Mata Gus Sahil terbelalak lebar. "HAH?! Kok bisa kamu berpikir begitu?"
"Njenengan berdua itu kelihatannya akrab sekali. Tadi saja waktu pamitan salamannya lama banget. Orang-orang pasti kepikiran hal yang sama dengan saya,"
Gus Sahil menepuk jidatnya sendiri. Apa lomba adu tatap mereka tadi dianggap salam perpisahan bagi Hafsa? Kalau sampai istrinya tahu dirinya dan Gus Ihsan pernah adu jotos pasti langsung syok.
"Memangnya bukan, Mas Gus?" Hafsa merasa penasaran, bertanya sungguh-sungguh.
"Ya bukanlah!" Gus Sahil entah kenapa merasa kesal, cepat-cepat masuk ke dalam rumah sebelum ditanya lagi oleh Hafsa.