Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.
Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".
Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 20
Udara pegunungan yang dingin masih menyelimuti kafe kecil hotel itu. William duduk di dekat jendela dengan secangkir kopi yang mengepul di depannya. Pikirannya penuh dengan rasa bersalah dan bingung dengan perasaan yang tiba-tiba muncul untuk Anjani.
Namun, lamunannya buyar ketika suara kursi ditarik perlahan. Ia mendongak, menemukan Anjani duduk di depannya. Rambutnya masih sedikit berantakan, wajahnya terlihat lelah tapi tetap cantik.
"Wil… Kamu nggak istirahat ?" tanya Anjani pelan, matanya terlihat redup oleh rasa kantuk yang belum sepenuhnya hilang.
William mengerjapkan mata, lalu tersenyum tipis. "Nggak bisa tidur. Aku ingin menikmati udara di sini.”
Anjani hanya mengangguk pelan, membenarkan posisi duduknya. "Aku… juga ingin menikmati udara segar. Kepala aku rasanya berat."
William memperhatikan wajah Anjani dengan seksama, tapi ia sadar Anjani tampak enggan berbicara lebih banyak. Ada batasan yang jelas di sana—Anjani belum siap membuka dirinya. Tapi entah kenapa, justru hal itu membuatnya ingin mendekat lebih jauh.
"Kamu nggak perlu pura-pura kuat,dengan masalah mu Jani," ucap William, suaranya dalam dan tenang.
Anjani terkejut, menatap William dengan mata membesar. "Aku nggak pura-pura…"
"Ya, kamu memang kuat," potong William cepat. "Tapi kadang, orang kuat juga perlu istirahat. Perlu seseorang untuk bersandar."
Anjani terdiam. Ia menunduk, memainkan ujung lengan bajunya, menghindari tatapan William.
Melihat itu, William perlahan menggeser kursinya lebih dekat. Suaranya semakin lembut, tapi ada ketegasan yang membuat suasana di antara mereka menghangat. "Aku nggak akan maksa kamu cerita. Tapi kalau kamu butuh seseorang untuk dengar, aku di sini."
"Aku… aku cuma nggak mau merepotkan siapa-siapa," gumam Anjani, masih tak berani menatap langsung ke arah William.
"Jani," panggil William, suaranya rendah dan tegas. Jemarinya hampir menyentuh tangan Anjani di atas meja, tapi ia menahannya di detik terakhir. "Merepotkan? Kamu nggak merepotkan siapa pun. Justru aku yang… aku yang pengen ada di sisimu."
Anjani menelan ludah, wajahnya mulai memanas. Ia belum pernah melihat William seintens ini, dan itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
"Wil, aku—"
"Aku tahu kamu masih terluka karena Adrian," potong William, nadanya sedikit lebih dalam. "Tapi aku nggak tahan cuma jadi teman kerja biasa. Aku pengen lebih dari itu, Jani."
Mata Anjani membesar, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Kamu… jangan ngomong kayak gitu, William. Aku belum siap…"
William mendekat sedikit, kali ini keberanian menguasai dirinya. "Aku nggak minta kamu siap sekarang. Aku cuma minta satu hal—biarkan aku tetap di sisimu. Biar aku yang jaga kamu, meskipun kamu belum bisa sepenuhnya menerimaku."
Suasana di antara mereka menjadi sunyi, tapi bukan karena canggung. Ada ketegangan yang menggantung di udara—bukan dari ketakutan, melainkan perasaan yang mulai tumbuh, perlahan namun kuat.
Akhirnya, Anjani hanya mengangguk pelan, tak berani berkata apa-apa lagi. William tersenyum tipis, tahu bahwa ia baru saja membuat langkah pertama .
Untuk wanita ini, batinnya, aku rela menunggu seberapa lama pun.
Rasanya seperti mendapatkan lampu hijau yang selama ini ia tunggu-tunggu. Entah sejak kapan perasaan itu mulai tumbuh, tapi William sadar satu hal—ia tak bisa lagi membohongi hatinya sendiri.
Setiap momen bersama Anjani selalu terasa berbeda. Ada kenyamanan yang sulit dijelaskan, bahkan saat mereka hanya duduk diam tanpa berbicara.
"Terima kasih, Jani," ucap William pelan, suaranya penuh kelegaan. "Aku nggak bakal maksa mu. Aku cuma senang bisa ada di sini… dekat kamu."
Anjani menunduk, menyembunyikan rona merah di pipinya. Ia sendiri bingung dengan perasaan yang perlahan mengusik hatinya. William memang berbeda dari Adrian—ia tidak menuntut, tidak menghakimi, hanya… hadir dengan ketulusan yang tak pernah Anjani dapatkan sebelumnya.
"Aku juga nyaman, Wil," jawab Anjani akhirnya, suaranya pelan tapi jujur. "Kamu selalu bikin aku merasa dihargai."
William menghela napas lega, matanya tak lepas dari wajah Anjani yang tampak rapuh tapi kuat di saat yang bersamaan. "Aku bakal selalu di sini, Jani. Bukan cuma sebagai teman , tapi seseorang yang bisa kamu andalkan."
Obrolan mereka terhenti sejenak, hanya ditemani suara angin pegunungan yang berdesir lembut. William merasa damai, duduk di dekat Anjani seperti ini.
Setiap gerak kecil perempuan itu, bahkan saat sekadar memainkan ujung rambutnya, membuat detak jantungnya semakin tak terkendali. Dan bagi William, itu sudah lebih dari cukup.
William melirik jam di tangannya, lalu berdeham pelan. "Jani, kita harus bersiap. Sore ini ada jadwal kunjungan ke lokasi proyek. Kita masih punya waktu sebentar buat beres-beres," ucapnya, suaranya tenang tapi terdengar tergesa.
Anjani mengangguk singkat. "Oke, aku siap-siap dulu," jawabnya sambil melangkah menuju kamar.
Namun, saat pintu kamar terbuka, langkah William yang mengekor di belakang membuat Anjani menghentikan langkahnya dengan alis berkerut. "Wil, kenapa kamu ikut masuk?" tanyanya heran.
William menatapnya dengan ekspresi canggung. "Ada masalah, Jani…
“ Bukankah kita harus bersiap ke proyek wil ? Kenapa malah mengikuti ku?”
“ Kamar aku di sini makanya aku mengikutimu cantik”. Wiliam tersenyum jahil ke arah Anjani.
“ Bagai mana bisa kita satu kamar wil,? Tanya Tasya matanya membelalak tak percaya.
“Resepsionis bilang semua kamar sudah penuh. Ternyata cuma ini satu-satunya kamar yang tersisa," jelasnya sambil menatap ke dalam ruangan.
Anjani memandang sekeliling kamar, dan langsung menyadari masalah sebenarnya—hanya ada satu ranjang besar di tengah ruangan. Ia menghela napas dalam, menatap William dengan ragu. "Satu kamar? Ini serius?"
William mengangguk, ekspresinya menunjukkan bahwa ini bukan skenario yang dia inginkan. "Aku udah coba cari hotel lain, tapi semua penuh. Ini kota kecil, Jani, dan sepertinya ada acara besar yang bikin semua penginapan penuh."
Anjani menggigit bibir bawahnya, merasa bingung. "Terus… kita tidur di sini berdua?" tanyanya dengan suara pelan, nyaris berbisik.
William menghela napas panjang, menahan segala pikiran liar yang muncul di kepalanya. "Kayaknya memang nggak ada pilihan lain, Jani. Tapi tenang aja, aku nggak akan ganggu kamu. Kita bisa atur posisi tidur, misalnya…"
Anjani langsung memotong dengan tatapan tajam. "Nggak usah aturan aneh-aneh, Wil. Aku tidur di bawah saja, kamu di sisi lain. Jangan coba-coba macam-macam."
William tertawa pelan, mencoba mencairkan suasana. "Aku janji, Jani. Aku gentleman, bukan predator."
Anjani akhirnya menyerah dengan situasi itu. "Oke, asal kamu jaga jarak."
William hanya mengangguk dengan serius, tapi di balik sikap tenangnya, ada gejolak perasaan yang sulit ia kendalikan. Bagaimana pun juga, menghabiskan malam sekamar dengan Anjani—perempuan yang selama ini diam-diam ia perhatikan.
Setelah sedikit perdebatan mengenai kamar hotel yang harus mereka bagi, akhirnya Anjani dan William memutuskan untuk fokus pada tujuan utama mereka—menyelesaikan pekerjaan. Sesampainya di lokasi proyek, suasana profesional langsung mengambil alih.
William mulai memeriksa laporan yang sudah disiapkan oleh tim manajemen proyek, sementara Anjani lebih memilih terjun langsung ke lapangan. Ia berbicara dengan beberapa pekerja, memastikan bahwa proses pembangunan cabang baru perusahaan properti itu berjalan sesuai jadwal.
"Struktur fondasi sudah sesuai rencana?" tanya Anjani pada salah satu mandor lapangan.
"Sudah, Bu. Kami baru saja menyelesaikan pengecoran tahap awal," jawab mandor tersebut, menunjukkan beberapa dokumen dan foto progres.
William, yang memperhatikan dari kejauhan, tersenyum kecil melihat betapa seriusnya Anjani dalam bekerja. "Kamu memang nggak pernah setengah-setengah, ya?" celetuknya sambil mendekat.
Anjani melirik cepat. "Ini tanggung jawab aku, Wil. Kalau proyek ini gagal, bukan cuma nama perusahaan yang kena, tapi juga reputasi pribadi kita."
"Dan itu kenapa aku selalu kagum sama kamu," balas William dengan nada pelan, tapi cukup untuk membuat pipi Anjani memerah tipis.
Setelah memastikan semuanya berjalan lancar, mereka memutuskan untuk kembali ke hotel. Namun, waktu sudah menunjukkan hampir malam, dan perut mulai memberikan protesnya.
"Kita makan dulu sebelum balik ke hotel, Jani. Aku tahu kamu belum makan siang yang bener," kata William sambil menyalakan mesin mobil.
Anjani mengangguk pelan, merasa lapar juga. "Oke, tapi jangan tempat yang ribet. Yang simpel aja, aku capek."
Mereka akhirnya singgah di sebuah restoran kecil di pinggir jalan, tempat yang sederhana tapi hangat, dengan lampu temaram dan aroma masakan rumahan yang menggoda.
Selama makan, suasana sedikit lebih santai. Obrolan mereka mengalir lebih personal, dari hal-hal kecil seperti makanan favorit hingga kenangan masa kecil.
"Kamu selalu sibuk kerja, ya?" tanya William sambil mengaduk kopinya.
Anjani mengangkat bahu. "Aku cuma nggak mau terlalu banyak mikirin hal lain. Kerja itu kayak… pelarian dari masalah pribadiku."
William menatapnya lekat-lekat, memahami makna di balik kata-kata itu. "Kalau kamu butuh tempat cerita, aku di sini, Jani. Bukan cuma soal kerjaan."
Anjani terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Makasih, Wil."
Setelah kenyang menikmati makan malam, Anjani dan William kembali ke hotel. mereka naik dengan berjalan beriringan. Suasana hening di antara mereka terasa nyaman.
Sesampainya di kamar, Anjani segera membuka pintu, matanya langsung melirik ke koper yang tergeletak di sudut ruangan. "Aku mau bersih-bersih dulu," ujarnya singkat sambil mengambil baju tidur dari kopernya. Ia sengaja membawa pakaian itu ke kamar mandi, tak ingin berlama-lama di hadapan William dalam situasi yang canggung.
Suara air mengalir memenuhi kamar mandi, sementara William duduk di tepi ranjang, membiarkan pikirannya mengembara ke berbagai arah—terutama pada Anjani.
Tak lama kemudian, Anjani keluar dari kamar mandi dengan pakaian tidur sederhana berwarna pastel, rambutnya masih sedikit basah, dan wajahnya tampak segar. "Giliran kamu, Wil," katanya, berusaha menjaga nada bicara tetap datar.
William hanya mengangguk singkat sebelum mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Ia membersihkan diri dengan cepat, merasa tubuhnya lengket setelah seharian berkeringat di proyek. Namun, bukannya langsung mengenakan pakaian, ia malah keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang menggantung di pinggangnya.
Begitu William muncul, Anjani yang sedang duduk di tepi ranjang langsung mendongak. pemdangan yang indah terpampang jelas di depan nya. Ukiran perut menyerupai roti sobek begitu menggiurkan untuk di sentuh.
Wiliam tersenyum tipis tatkala melihat Anjani terbengong. Tak lama ketika kesadaran Anjani kembali spontan ia berteriak. "WILLIAM!" serunya, refleks membalikkan badan sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.
William terkejut, lalu terkekeh pelan. "Kenapa? Kau mau pegang , Jani," godanya, suaranya penuh keisengan.
"Astaga, Wil! Apa kamu nggak punya rasa malu?!" Anjani berusaha meredakan debaran jantungnya yang tak karuan. Pipinya memerah, entah karena marah atau malu, ia sendiri bingung.
William berjalan santai ke arah koper, masih dengan handuk yang menempel di tubuhnya. "Tenang aja, aku nggak niat ganggu kamu. Cuma...aku lupa membawa baju ganti aku kamar mandi tadi." jawabnya dengan nada santai.
"Kamu sengaja ya! Cepat pakai baju!" Anjani membalikkan tubuhnya, mencoba fokus pada dinding sambil menggertakkan giginya.
William tertawa pelan sebelum akhirnya mengambil pakaian dan kembali masuk ke kamar mandi. "Oke, oke. Aku nggak mau kamu pingsan gara-gara aku," ucapnya sambil menutup pintu.
Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan pakaian rapi. Ketika melihat Anjani yang masih duduk dengan wajah tegang, William mengangkat tangan tanda menyerah. "Maaf, Jani. Nggak ada maksud lain. Aku cuma iseng."
Anjani mendengus, tapi tak bisa menahan senyum tipis yang mulai muncul di sudut bibirnya. "Lain kali, coba isengnya pakai baju lengkap, Wil."
Setalah semua beres mereka segera berangkat..
hrs berani lawan lahhh