"Ketimbang jadi sadboy, mending ajarin aku caranya bercinta."
Guyonan Alessa yang tak seharusnya terucap itu membawa petaka.
Wanita sebatang kara yang nekat ke Berlin itu berteman dengan Gerry, seorang pria sadboy yang melarikan diri ke Berlin karena patah hati.
Awalnya, pertemanan mereka biasa-biasa saja. Tapi, semua berubah saat keduanya memutuskan untuk menjadi partner bercinta tanpa perasaan.
Akankah Alessa dapat mengobati kepedihan hati Gerry dan mengubah status mereka menjadi kekasih sungguhan?
Lanjutan novel Ayah Darurat Untuk Janinku 🌸
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sheninna Shen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Dengarkan Kata Hatimu
...“Lihat aku dan dengarkan kata hatimu.” — Gerry Anderson...
Waktupun berlalu. Tak terasa, matahari telah bangun dari tidur panjangnya. Sinar yang begitu terang itu membuat keindahan Rhine River di penghujung musim gugur terlihat sangat indah.
Gemerisik dedaunan kering dan riak air sungai membuat pagi itu menjadi sangat menyenangkan. Tentu saja pagi itu sangat dingin. Terlebih lagi sebentar lagi negara itu akan menghadapi musim dingin!
Alessa terbangun dari tidurnya. Tak ada Gerry di sampingnya saat itu.
“Ke mana dia?” Pikir Alessa sambil matanya berkeliling. Namun, saat matanya berkeliling, tatapan itu berhenti pada sebuah tubuh yang sedang berdiri di pinggir sungai. Dari kaca mobil ia dapat mengetahui keberadaan pria itu.
Alessa pun bangun dari tidurnya. Kemudian ia merogoh pembalut yang ada di tasnya dan pergi ke toilet. Tak lama kemudian, wanita itu keluar dan pergi menghampiri Gerry. Ia merasa bersalah karena sudah bersikap dingin pada pria itu malam tadi. Sebaiknya pagi ini ia meminta maaf dan membuat liburan terakhir mereka menyenangkan.
“Moin!” sapa Alessa sambil memeluk Gerry dari belakang.
“Moin?” Gerry berbalik badan dan kembali memeluk Alessa menggunakan sebelah tangan. Pasalnya, tangan yang sebelah lagi sedang memegang cangkir yang berisikan kopi hangat.
“Oh. Maksudku Guten Morgen, Good Morning dan Selamat Pagi,” kekeh Alessa sambil mendongakkan kepalanya.
“Ck! Jadi, Moin itu bisa dibilang bahasa gaulnya Guten Morgen? Begitu?”
Alessa mengangguk pelan sambil tersenyum, menampakkan lesung pipinya yang sangat indah.
“Kamu fasih sekali berbahasa Jerman. Jadi, apa yang membuatmu ke sini dan belajar bahasa Jerman?” tanya Gerry penasaran.
Alessa melepaskan pelukannya, namun Gerry enggan melepaskan wanita itu. “Tetaplah seperti ini.”
Alessa pun tak menolak. Kini mereka saling berdepanan dalam dekapan hangat, disaksikan alam yang menguning karena daun gugur yang sudah luruh ke bumi. Sementara riak air sungai, seperti alunan musik untuk kebersamaan dua orang itu di pagi hari.
“Aku ke sini karena mencari ayahku,” jelas Alessa membuka pembicaraannya. “Itulah kenapa aku bertekad ke Jerman setelah ibuku meninggal 5 tahun yang lalu.”
“Tapi sayangnya, hampir 4 tahun aku di sini, pencarianku nihil dan tak membuahkan hasil,” imbuh Alessa dengan ekspresi yang sendu.
“Bagaimana kalau aku bantu menemukan—”
“No, Gerry. Aku nggak suka berhutang jasa pada seseorang,” elak Alessa enggan menerima bantuan Gerry. “Karena hutang jasa akan membuat aku terus bergantung pada orang itu.”
“Apalagi kamu akan menjadi milik orang, mana mungkin aku bergantung padamu?” batin Alessa melanjutkan ucapannya tadi di dalam hati.
“Tapi kamu nggak perlu merasa berhutang padaku. Aku tulus membantumu. I’m serious,” Gerry menatap lekat ke dalam pupil mata biru wanita itu. Ia berharap ketulusannya itu dapat dirasakan oleh Alessa.
“No. Lupakan masalahku itu.” Alessa enggan kembali membahas tentang ayahnya. Semakin jauh ia bercerita dan berkeluh kesah dengan Gerry, maka semakin nyaman ia dengan pria itu. Jadi, sebaiknya ia menyudahi semua kenyamanan itu sebelum terlambat. "Kita sudah berjanji untuk menikmati liburan, 'kan?"
“I’m sorry,” lirih Gerry. Ia sangat menyadari dengan benteng yang sengaja wanita itu bangun. Jika sudah seperti itu apalagi yang bisa ia lakukan? Cukup bertahan sampai hari terakhir dan nikmati momen-momen menyenangkan saat ini.
Dua orang itu menikmati liburan panjang mereka dengan penuh kemesraan dan kebahagiaan. Mobil yang mereka tumpangi berhenti di beberapa tempat yang menyuguhkan pemandangan alam yang sangat indah.
Terkadang, Gerry mengajak Alessa berswafoto untuk mengabadikan momen terakhir itu. Begitupun Alessa, ia juga tak keberatan dan berswafoto dengan Gerry. Diam-diam kedua orang ini mengabadikan momen kebersamaan mereka di dalam ponsel.
Selama perjalanan panjang itu, tanpa disadari, dua orang ini benar-benar bersikap seperti sepasang kekasih. Mereka mendatangi beberapa tempat wisata yang mereka temui di sepanjang perjalanan. Bahkan kerap kali mereka ikut berdansa di beberapa tempat di mana ada pengamen jalanan yang sedang tampil.
“Aku nggak bisa nari,” ucap Alessa waktu itu di saat Gerry mengajaknya berdansa pertama kali.
“It’s okay. Ikuti saja insting dan perasaanmu,” ucap Gerry sambil menarik tangan Alessa.
Mata Alessa membulat saat tubuhnya menempel ke tubuh Gerry. Pria itu meletakkan kedua tangannya di pinggul Alessa, sementara Alessa meletakkan kedua tangannya di bahu Gerry.
“Ger, aku gugup,” bisik Alessa sambil sesekali matanya menatap ke sekeliling.
Tak hanya mereka berdua yang menari saat itu. Ada banyak pasangan tua dan muda yang ikut serta menikmati musik yang dilantunkan oleh penyanyi jalanan itu.
“Alessa, lihat aku,” bisik Gerry sambil menatap wajah wanita itu. “Lihat aku dan dengarkan kata hatimu. Perlahan, gerak tubuh akan mengikuti apa yang saat ini kamu pikirkan.”
Alessa mendengarkan ucapan Gerry di saat sekujur tubuhnya bergetar. Apalagi selain karena malu dan gugup. Ini merupakan pengalaman pertamanya menari di depan orang ramai. Yah, meskipun tak ada yang peduli, karena semua yang ada di sana hanya untuk bersenang-senang.
Tanpa wanita itu sadari, tubuhnya bergerak mengikuti alunan musik klasik khas Jerman itu. Mata birunya menatap dalam ke arah mata hitam legam milik Gerry. Ia menatap pria itu sebagai buku pedoman, akan seperti apa gerak tubuh yang dihasilkan saat menatap mata yang mencuri hatinya.
Begitu pun Gerry. Ia menatap pupil mata Alessa sambil menggerakkan tubuhnya, mengikuti isi hati yang sejujurnya.
Seperti itulah Alessa mendapatkan pelajaran menarinya dari Gerry.
Sejak hari itu, wanita berambut coklat itu tak segan-segan lebih dulu menarik Gerry di hadapan penyanyi jalanan untuk berdansa.
Dua hari sebelum liburan panjang mereka usai, mobil yang mereka tumpangi menuju ke sebuah desa yang terkenal akan keindahan alam dan bangunan bersejarahnya. Desa Ladenburg yang ada di Kota Heidelberg.
“Hei,” Gerry menatap Alessa yang saat ini sedang berdansa bersamanya. “Sejak kapan kamu jadi bersemangat berdansa seperti ini?”
Alessa tertawa girang mendapatkan pertanyaan dari pria itu. Dengan suara yang lembut dan tatapan penuh cinta, Alessa berkata dengan gamblang dan lugas. “Sejak bersamamu.”
“Al, aku ingin menciummu,” bisik Gerry sambil menari, namun perlahan wajahnya mulai condong ke depan mendekati wajah Alessa.
Dengan sigap Alessa menutup bibir Gerry menggunakan kedua tangannya, sementara kedua tangan Gerry masih melingkar di pinggul Alessa. Tentu saja tubuh Alessa saat itu sedikit condong ke belakang karena menghindari ciuman pria itu.
“Gerry … ini tempat umum!” ucap Alessa dengan suara perlahan namun penuh penekanan. Sementara matanya membulat dengan sempurna.
“Siapa peduli?” kekeh Gerry saat tangan Alessa sudah melepaskan bibirnya. “Kita di Jerman, Alessa.”
“Tetap saja, aku malu, Gerry.”
Alessa meraih tangan kiri Gerry yang dipinggulnya, kemudian ia menjarakkan tubuhnya dengan tangan yang masih berpegangan. Ia membawa tangan itu ke atas, lalu ia berputar tepat di bawah tangan pria itu.
Melihat Alessa yang saat itu bersemangat, Gerry pun ikut melakukan dansa dengan perasaan yang bahagia karena ucapan Alessa tadi. Kemudian tangannya yang semula di atas, kini langsung membawa tubuh Alessa jatuh tepat di dekapannya untuk menyudahi tarian mereka saat itu.
Suara tepuk tangan bergemuruh, saat Alessa dan Gerry menyudahi tarian mereka berbarengan dengan berakhirnya alunan musik, yang dimainkan oleh pria tua dengan kumis dan jenggot yang tebal seperti Santa Claus itu.
“Danke!” ucap Alessa dan Gerry berbarengan. Kemudian, mereka beranjak pergi menuju ke campervan.
“Alessandra Hoffner?”
Suara bariton pria tua menggema di gendang telinga Alessa dan Gerry. Kedua orang itu memutar tubuh mereka berbalik ke arah asal suara. Tentu saja dua orang itu langsung mengenali pria tua yang berjenggot dan kumis tebal itu. Kan itu adalah penyanyi jalanan yang menjadi penggiring musik ia dan Gerry berdansa tadi?
“Ja? Woher kannten Sie meinen Namen?” (Bagaimana kamu tahu namaku?) Alessa bertanya pada pria tua itu dengan eskspresi terkejut dan dahi mengkerut.
Seketika pria tua itu tertawa layaknya Santa Claus yang sedang tertawa. Namun di balik tawa itu, ada airmata yang terlihat di balik mata tua yang keriput itu. “Das bin ich, Luther Hoffner.” (Ini aku, Luther Hoffner)
...🌸...
...🌸...
...🌸...
...Bersambung …....
Alessa kan kak??
❤❤❤❤❤
ampuuunnn..
manis sekali lhoooo..
jadi teehura..
berkaca2..
❤❤❤❤❤❤
akhirnya mumer sendiri..
😀😀😀😀😀❤❤❤❤
berjanggut ya jadi pangling gonk..
😀😀😀❤❤❤❤❤