JANGAN MADU AKU GUS
"Aku mungkin bisa memenuhi kewajibanku sebagai seorang suami. Tapi untuk hatiku, aku tidak bisa memberikannya,"
Senyum Hafsa yang semenit lalu masih tersemat lebar seketika memudar, demi mendengar perkataan ketus laki-laki yang baru semalam menjadi suaminya itu.
"Maksud njenengan bagaimana Gus?"
"Singkatnya, aku punya wanita lain yang ada dihatiku Sa," suara Gus Sahil terdengar tegas. "Aku tidak bisa lagi memberikan rasa cintaku padamu,"
"Tapi, saya istri njenengan Gus," Hafsa mati-matian menahan getar tangis pada suaranya. "Bagaimana kita bisa menjalani pernikahan ini kalau tidak ada cinta?"
"Dari awal, aku menikah sama kamu itu bukan karena cinta," Gus Sahil mengacak rambut gondrongnya gusar. "Kalau bukan karena Abah dan Umik yang menjodohkan kita, aku tidak akan menikah sama kamu,"
"Lalu, kenapa njenengan tidak menolak dari awal Gus?" Hafsa menggelengkan kepala, tidak habis pikir. "Kenapa baru sekarang? Kenapa harus di malam pertama kita?"
"Kalau bisa, pasti sudah kutolak!" intonasi Gus Sahil meninggi. "Abah dan Umik tidak bertanya padaku sama sekali, tiba-tiba aku sudah diajak pergi ke rumahmu, tiba-tiba disuruh melamar! Bagaimana bisa aku menolak?!"
Napas Gus Sahil terdengar naik turun, meredam emosi.
"Pokoknya, jangan pernah mengharapkan perasaan apapun padaku. Aku mungkin bisa melakukan kewajibanku sebagai seorang suami, tapi hanya sebatas itu. Selebihnya, aku tidak bisa bertanggungjawab,"
Habis berkata begitu, bahkan tanpa repot-repot memandang wajah Hafsa yang sudah dirias begitu cantik, Gus Sahil keluar dari kamar, meninggalkan suara pintu berdebam.
Usai kepergian suaminya, Hafsa lantas jatuh terduduk. Kakinya terasa lemas. Ya Alloh, apa yang barusan terjadi? Bagaimana hal menyakitkan ini bisa terjadi tepat di malam setelah pernikahan?
Hafsa mencoba mengingat-ingat, dari mana semua ini terasa salah?
Seingatnya, pertemuan pertamanya dengan Gus Sahil terasa indah. Saat acara pengajian di pondok pesantrennya, Gus Sahil datang bersama keluarga besar. Saling mengenalkan. Ini Hafsa, ini Sahil. Gus Sahil tersenyum, dan saat itu Hafsa merasa terhipnotis dengan senyum indahnya.
Ah, apa saat itu Gus Sahil sebenarnya hanya pura-pura tersenyum? Berusaha menjaga kesopanan di depan seluruh keluarga?
Lalu, sebulan yang lalu, saat Gus Sahil datang melamarnya. Bukankah saat itu senyum Gus Sahil terlihat sumringah? Malu-malu saat ditanya apakah mau menikahi Hafsa? Ah, apa itu juga hanya perasaannya sendiri? Mungkinkah sebenarnya saat itu Gus Sahil tersenyum pahit karena harus dijodohkan dengannya?
Lalu, apa gunanya senyum malu-malu Hafsa saat itu? Apa gunanya ia menghitung hari, menghitung detik demi detik hari pernikahannya? Apa gunanya ia memilih gaun terbaik, seharian mengelilingi kota, pindah dari butik satu ke butik lain, membuat semua orang repot? apa gunanya ia bangun pukul empat dini hari tadi, terkantuk-kantuk menahan diri demi merias wajah agar cantik seharian?
Ah, Gus Sahil juga pasti tidak tahu kalau Hafsa sudah merencanakan seluruh perjalanan bulan madu mereka, berusaha menjadikannya bulan madu terbaik seumur hidup.
Tapi, sekarang apa gunanya itu semua? Lihatlah, mobil-mobil masih berjajar terparkir di luar sana. Tamu undangan yang sebagian besar para pimpinan pondok pesantren datang ke pesantrennya, memberikan kado terbaik, doa terbaik. Tenda-tenda besar masih terpasang, tanda acara belum usai. Para santri dengan giat membersihkan bekas lokasi pesta pernikahan, merasa suka cita karena putri sang pimpinan pondok akhirnya diambil mantu. Tidak peduli jika waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam.
Tapi, itu semua percuma. Hafsa, yang seharusnya menjadi wanita paling bahagia, malam ini harus menahan duka, menangis sejadi-jadinya.
***
"Loh, Gus? Kok njenengan ada disini?"
Gus Sahil buru-buru menempelkan telunjuk pada bibirnya, mengisyaratkan diam. "Jangan keras-keras ngomongnya Brur,"
Mabrur, santri sekaligus sopir pribadi di pesantren Gus Sahil seketika merapatkan bibir, menuruti titah sang gus.
"Gus ngapain kesini malem-malem? Kok nggak di kamarnya Ning Hafsa?"
"Hush, aku malam ini nggak tidur di sana,"
"Lo emang kenapa Gus?"
"Sudah, ndak usah kepo! Mana kunci mobilnya?"
"Gus mau kemana malem-malem begini?"
"Nggak kemana-mana, cuma mau tidur di mobil,"
"Eh, jangan Gus!" Mabrur buru-buru menarik kembali kunci mobil yang sudah hampir ia ulurkan. "Dingin Gus, Gus tidur di ndalem saja,"
(ndalem \= rumah kyai)
"Nggak bisa Brur," Gus Sahil mulai kesal. "Sudah, cepat kasih kunci mobilnya sini," Gus Sahil merebut kunci mobil dengan cepat. Mabrur berusaha menariknya kembali. Gus Sahil tidak menyerah, ia menarik kembali kunci itu sekuat tenaga.
"Hil?" sayangnya, adegan tarik menarik kunci itu dengan cepat berhenti. Gus Sahil menoleh, beberapa rombongan kyai tampak berjalan ke arah ndalem, mungkin habis berkeliling melihat-lihat keadaan para santri.
"Eh, iya Bah," Gus Sahil buru-buru menyalami Abah Ali, mertuanya.
"Barokallah mantuku," Abah Ali terkekeh. "Loh, kenapa kok disini? Belum ngantuk toh?"
"Eh, itu tadi mau ambil barang di mobil Bah," Gus Sahil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mencari-cari alasan.
"Ya sudah, cepat di ambil itu barangnya, jangan biarkan istrimu sendirian di kamar,"
"Njeh Bah,"
"Mungkin masih malu Yai, namanya juga pengantin baru,"
Celetukan tersebut lantas mengundang gelak tawa semua orang, disusul celetukan godaan lainnya. Gus Sahil hanya bisa tersenyum simpul, lalu tanpa sempat mengambil kembali kunci mobil yang sudah disimpan Mabrur, kembali ke ndalem dengan dituntun sang mertua
Di depan pintu kamar, Gus Sahil merasa kikuk. Ia terdiam cukup lama. Bagaimana dirinya bisa masuk ke dalam kamar lagi setelah mengucapkan kata-kata yang cukup kasar pada istrinya? Ia menyadari perkataannya mungkin sangat menyakiti hati. Tapi ia tidak ingin membuat janji yang tidak dapat ia tepati. Ia ingin Hafsa mengetahui dengan jelas bagaimana perasaannya yang sebenarnya.
Gus Sahil mengetuk pintu perlahan, tidak ada jawaban. Mungkin Hafsa sudah tidur. Ia memberanikan diri membuka pintu. Sepi. Hanya terdengar suara dengkur halus seorang wanita.
Gus Sahil mencoba melihat sekeliling ruangan dari cahaya lampu yang remang-remang. Baiklah, sepertinya karpet di lantai masih bisa menjadi tempat tidurnya. Tubuhnya sudah terlatih tidur dimana saja selama nyantri di pondok pesantren.
Gus Sahil dengan hati-hati meraih bantal di sebelah Hafsa yang tidak terpakai, melemparkannya ke lantai, lalu berbaring di sana. Bagaimanapun, ia tidak bisa menyentuh istrinya tanpa rasa cinta. Maka tidak mungkin bagi mereka berdua untuk tidur di atas kasur yang sama.
Sebelum memejamkan mata, Gus Sahil terlebih dulu membuka ponselnya. Membaca satu persatu ucapan selamat dari semua orang. Membalas mereka dengan ucapan terimakasih. Mengirim stiker lucu, menggoda teman-temannya yang masih jomblo. Jarinya kemudian berhenti lama pada sebuah chat. Balon pesannya cukup singkat, namun terasa menusuk ke hati yang terdalam.
"Barokallah Gus, semoga njenengan bahagia selamanya,"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Eti Alifa
part pertama udah nyesek 😔
2024-10-05
0
Dewi Dama
pake bhs indonesua..thor...
2023-12-27
2
Bunga Syakila
menyimak
2023-10-18
0