NovelToon NovelToon
Raja Arlan

Raja Arlan

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Dunia Lain / Fantasi Isekai
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: BigMan

Namaku Arian. Usia? Ya... paruh baya lah. Jangan tanya detail, nanti aku merasa tua. Yang jelas, aku hidup normal—bekerja, makan, tidur, dan menghabiskan waktu dengan nonton anime atau baca manga. Kekuatan super? Sihir? Dunia lain? Aku suka banget semua itu.

Dan jujur aja, mungkin aku terlalu tenggelam dalam semua itu. Sampai-sampai aku latihan bela diri diam-diam. Belajar teknik pedang dari video online. Latihan fisik tiap pagi.

Semua demi satu alasan sederhana: Kalau suatu hari dunia ini tiba-tiba berubah seperti di anime, aku mau siap.

Konyol, ya? Aku juga mikir gitu… sampai hari itu datang. Aku bereinkarnasi.

Ini kisahku. Dari seorang otaku paruh baya yang mati konyol, menjadi petarung sejati di dunia sihir.
Namaku Arian. Dan ini... awal dari legenda Raja Arlan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 17 - Riak Merah di Balik Tembok Istana

Pagi itu, istana belum sepenuhnya terjaga saat langkah kaki berat menggema dari arah lapangan latihan.

Bukan langkah kacau para prajurit baru.

Tapi langkah penuh tekad dari para kesatria terbaik yang telah melalui seleksi berdarah kemarin.

Sir Kaela berdiri tegak di tengah lapangan.

Jubahnya berkibar tertiup angin pagi, merah pekat seperti darah yang menyatu dengan langit fajar. Di bahu kirinya tergantung simbol baru yang belum pernah terlihat sebelumnya—bulan sabit.

Itu adalah lambang Divisi Bulan Merah.

Dan di belakangnya, sembilan sosok berdiri sejajar. Para Top 9—kesatria-kesatria yang telah melalui ujian duel tanpa sihir sehari sebelumnya. Tubuh mereka menjulang, penuh wibawa, tapi bukan itu yang menarik perhatian semua orang.

Melainkan jubah baru yang mereka kenakan.

Jubah yang tampak elegan tapi kokoh, berwarna merah gelap dengan motif garis perak samar—menandakan kebebasan dari sistem lama dan ikatan baru pada seseorang yang lain.

Pangeran Arlan.

Jubah itu, secara ajaib, telah siap dalam semalam. Tak seorang pun tahu bagaimana, kecuali Lyra yang kini berdiri di balik pilar jauh, menatap karyanya dengan wajah letih tapi puas.

Ia menjahit tanpa tidur, menyatukan benang demi benang seolah hidup kesatria-kesatria itu akan bergantung padanya. Dan kini, hasilnya berkibar gagah di bawah cahaya pagi.

Sir Kaela melangkah maju. Suaranya keras dan tegas, seperti petir dari langit musim dingin.

“Divisi Bulan Merah akan memulai perekrutan terbuka.”

Langkah-langkah para ksatria muda dan prajurit yang sedang berlatih mendadak berhenti. Puluhan pasang mata mengarah pada Kaela.

“Aku tidak akan memaksa siapa pun. Tapi jika kalian bersedia meninggalkan status kesatria kerajaan… dan memilih untuk berdiri langsung di bawah komando Pangeran Arlan—maka langkahkan kaki kalian ke depan. Hanya yang bersedia. Dan hanya yang siap menanggung beban baru.”

Hening. Hembusan angin menjadi satu-satunya suara.

Lalu, seorang ksatria muda melangkah maju. Kemudian dua. Lalu lima.

Suasana berubah menjadi penuh detak. Entah karena rasa kagum… atau ketakutan.

Karena semua orang tahu: bergabung dengan Arlan berarti masuk ke dalam pusaran kekuatan yang belum pernah disentuh siapa pun sebelumnya.

Di lorong-lorong istana, desas-desus mulai tumbuh liar seperti rumput liar setelah hujan pertama.

Pelayan-pelayan berbisik sambil pura-pura membersihkan patung. Beberapa bangsawan muda yang baru saja keluar dari aula kecil saling bertukar tatapan gelisah.

“Pangeran Arlan membentuk pasukan pribadi…”

“Pasukan yang tak terikat kerajaan…”

“Pasukan di luar kuasa Dewan Militer…”

“Bayangkan… enam hari koma, lalu bangun sebagai sosok seperti itu?”

“Dia bahkan tak terlihat lemah sekarang. Wibawanya… menusuk seperti pedang.”

“Pangeran itu… dulu bahkan tak sanggup berdiri lama tanpa pingsan.”

“Apakah itu… kebangkitan darah kerajaan?”

Sementara itu, di ruang arsip tua yang sunyi, Aldein melangkah cepat, membawa setumpuk dokumen yang bahkan ia lupa apa isinya. Kepalanya penuh oleh satu hal saja—berita itu.

Ia mendorong pintu kayu lapuk dan mendapati ayahnya, duduk membungkuk di depan meja penuh catatan tua.

“Ayah!”

Pria tua itu mendongak, wajahnya masih datar meski sedikit terkejut.

“Aldein? Kenapa—pagi-pagi begini?”

Aldein menutup pintu, lalu berdiri di hadapan ayahnya. Napasnya tertahan sejenak sebelum ia berkata:

“Aku… aku dipilih oleh Pangeran Arlan. Sebagai peracik strategi untuk pasukannya.”

Ayahnya diam. Mata tuanya menatap kosong selama beberapa detik. Lalu, dengan suara serak:

“Kau… apa tadi kau bilang?”

“Aku… akan ikut dalam Divisi Bulan Merah. Aku dipercaya langsung oleh Pangeran. Bukan sebagai petarung. Tapi sebagai... pemikir di balik medan.”

Satu helaan napas berat lolos dari mulut pria tua itu. Ia berdiri perlahan… lalu melangkah maju.

“Kau…”

Tangannya terangkat, lalu turun. Kemudian ia memeluk Aldein erat—erat sekali, seolah takut anak itu akan menghilang jika tidak digenggam.

“Akhirnya… kau mendekati mimpimu, Nak. Bukan hanya mendekati. Mungkin… kau sudah melampauinya.”

Aldein membalas pelukan itu, bahunya bergetar pelan.

“Aku ingin membuktikan kalau pengetahuan pun bisa jadi pedang, Ayah. Kalau aku… bisa jadi kebanggaanmu.”

Ayahnya menepuk punggung Aldein.

“Kau sudah jadi kebanggaanku sejak lama. Sekarang… kau akan jadi kebanggaan negeri ini.”

Di taman belakang, tempat biasa para bangsawan wanita berjalan-jalan santai, Lyra duduk di bangku batu sambil memegang cangkir teh yang sudah dingin. Matanya sembab karena tak tidur semalam, tapi di matanya ada sinar tenang.

Seraphine datang dari arah berlawanan dan duduk di sebelahnya.

“Semalam kau menjahit sepuluh jubah? Sendiri?” tanyanya dengan nada lembut.

“Ya,” jawab Lyra pendek. “Kalau mereka akan memulai sejarah baru… maka mereka butuh pakaian yang bisa membawa beban itu.”

Seraphine tersenyum, menatap langit biru.

“Arlan benar-benar menggerakkan semuanya dengan cepat.”

Lyra mengangguk pelan.

“Dan perlahan… ia akan mengguncang dunia ini. Dari dalam.”

“Arlan yang sekarang sangat berbeda, ya...”

“Ya, efek amnesianya benar-benar manjur.”

Mereka tertawa sesaat, lalu... Hening. Dedaunan jatuh perlahan dari pohon di belakang mereka, seolah mengiringi musim yang akan berganti—bukan hanya musim cuaca, tapi musim kekuasaan dan sejarah.

...----------------...

Di tempat lain...

Cahaya sore menyusup melalui kaca patri tinggi yang mengelilingi ruang kerja Raja Argus, membentuk bayangan warna-warni di atas lantai marmer. Udara di dalam ruangan tenang, namun penuh dengan ketegangan samar. Seolah tembok batu itu sendiri sedang mendengarkan.

Barcos, Guru Besar Pedang Kerajaan, berdiri di hadapan Raja Argus. Di balik kumis tebalnya, ada guratan rasa hormat dan keraguan yang sama besar.

“Yang Mulia,” katanya dengan suara berat, “Saya datang seperti yang diperintahkan.”

Argus memutar cincin di jarinya pelan, pandangannya mengarah keluar jendela.

“Barcos… Aku dengar dari beberapa telinga… bahwa Pangeran Arlan telah membuat sedikit ‘keributan’ di arena pelatihan ksatria. Ceritakan padaku, dari awal.”

Barcos mengangguk. “Dua hari terakhir ini, Pangeran mengunjungi arena, dengan dalih ingin melihat pelatihan. Tapi nyatanya… ia melakukan seleksi. Tiga ujian: pengamatan, strategi, dan pertarungan. Dan hari ini... Ia secara resmi mengangkat seorang ksatria muda bernama Luther Cavilan sebagai pedangnya.”

Argus menaikkan satu alis. “Hanya itu?”

“Tidak, Yang Mulia. Itu hanya permukaannya.”

Barcos menghela napas panjang, lalu mulai menjelaskan.

“Ia membentuk divisi elit. Disebut Divisi Bulan Merah. Langsung di bawah komandonya. Ia mengangkat Sir Kaela sebagai kaptennya, dan telah merekrut sembilan ksatria elit lain sebagai fondasi awal. Saat ini perekrutan terbuka sedang dilakukan, dengan satu syarat... mereka yang bergabung harus keluar dari sistem kesatrian kerajaan.”

Hening sesaat. Barcos melanjutkan, nadanya mulai terdengar berbeda.

“Yang membuat saya terdiam adalah... bagaimana Pangeran mengatur semuanya. Tatapannya, ketenangannya, cara ia mengamati setiap ksatria, dan bagaimana ia menyembunyikan kekuatannya tapi tetap mengendalikan seluruh situasi...”

Ia menatap langsung ke arah Argus.

“Itu bukan Pangeran Arlan yang saya kenal. Bukan Pangeran yang dulu sering pingsan di tengah latihan. Saya merasa… sedang berbicara dengan seorang pemimpin besar. Calon raja yang... telah bangkit dari bayangannya sendiri.”

Lalu ia diam, membiarkan kata-katanya mengendap di udara.

“Pertanyaannya adalah… Apakah ini harus dibatasi, Yang Mulia? Karena bagaimanapun, divisi di luar sistem militer bisa menjadi ancaman. Bahkan untuk istana sendiri.”

Argus menoleh, perlahan. Lalu ia tertawa kecil. Tawa yang ringan, tapi terdengar seperti suara air yang menabrak tebing setelah musim kering yang panjang.

“Ah… jadi akhirnya itu terjadi.”

Barcos mengernyit.

“Yang Mulia?”

Argus menatap langit sore yang mulai memerah. Matanya penuh kenangan.

“Aku telah menanti hari ini sejak lama. Bertahun-tahun aku duduk di singgasana ini, memikirkan... apakah anakku akan mampu melanjutkanku. Dan bertahun-tahun pula aku menahan diri untuk tak terlalu berharap.”

Ia berdiri dari kursinya, menatap lambang kerajaan di dinding—dua singa saling membelakangi dengan mahkota api di antara mereka.

“Anakku... akhirnya memilih jalannya sendiri. Dan ia tidak hanya memilih. Ia menapakinya dengan kepala tegak. Ia tak meminta izin. Ia bertindak. Seperti raja.”

Barcos menunduk. “Jadi… Anda mengizinkannya?”

“Tidak hanya mengizinkan,” jawab Argus sambil tersenyum kecil. “Aku tidak akan mencampuri apa pun yang ia lakukan. Karena aku tahu, tubuhnya mungkin lemah… tapi tekadnya telah melampaui siapa pun yang ada di istana ini.”

Ia memutar cincin di jarinya sekali lagi.

“Jika dunia harus berubah… maka biarlah itu dimulai dari tangan Arlan. Aku hanya tinggal menunggu... sampai ia siap mengambil tempatku.”

Barcos diam cukup lama, sebelum akhirnya berkata pelan.

“Sampai saat itu tiba, Yang Mulia... Izinkan saya berdiri di sisi Pangeran. Untuk melihat sejauh mana ia akan membawa negeri ini.”

Argus mengangguk pelan. “Maka kau harus bersiap, Barcos. Karena aku yakin… ini baru awal dari badai.”

Matahari mulai tenggelam, dan semburat merah menyelimuti ruang kerja sang raja.

Tapi bagi mereka yang mengerti, itu bukan tanda senja.

Itu adalah fajar yang baru saja menyingsing.

1
budiman_tulungagung
satu bab satu mawar 🌹
Big Man: Wahh.. thanks kak..
total 1 replies
y@y@
👍🏿🌟👍🌟👍🏿
budiman_tulungagung
ayo up lagi lebih semangat
Big Man: Siap.. Mksh kak..
total 1 replies
R AN L
di tunggu kelanjutannya
Big Man: Siap kak.. lagi ditulis ya...
total 1 replies
y@y@
👍🌟👍🏻🌟👍
Big Man: thanks kak..
total 1 replies
y@y@
👍🏿⭐👍🏻⭐👍🏿
y@y@
🌟👍👍🏻👍🌟
y@y@
⭐👍🏿👍🏻👍🏿⭐
y@y@
👍🌟👍🏻🌟👍
y@y@
👍🏿⭐👍🏻⭐👍🏿
y@y@
🌟👍👍🏻👍🌟
y@y@
⭐👍🏿👍🏻👍🏿⭐
y@y@
⭐👍🏿👍🏻👍🏿⭐
y@y@
⭐👍🏻👍👍🏻⭐
y@y@
👍🏿🌟👍🌟👍🏿
y@y@
👍🏻⭐👍⭐👍🏻
y@y@
🌟👍🏿👍👍🏿🌟
y@y@
⭐👍🏻👍👍🏻⭐
y@y@
👍🏿🌟👍🌟👍🏿
y@y@
👍🏻⭐👍⭐👍🏻
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!