“Satu malam, satu kesalahan … tapi justru mengikat takdir yang tak bisa dihindari.”
Elena yang sakit hati akibat pengkhianat suaminya. Mencoba membalas dendam dengan mencari pelampiasan ke klub malam.
Dia menghabiskan waktu bersama pria yang dia anggap gigolo. Hanya untuk kesenangan dan dilupakan dalam satu malam.
Tapi bagaimana jadinya jika pria itu muncul lagi dalam hidup Elena bukan sebagai teman tidur tapi sebagai bos barunya di kantor. Dan yang lebih mengejutkan bagi Elena, ternyata Axel adalah sepupu dari suaminya Aldy.
Axel tahu betul siapa Elena dan malam yang telah mereka habiskan bersama. Elena yang ingin melupakan semua tak bisa menghindari pertemuan yang tak terduga ini.
Axel lalu berusaha menarik Elena dalam permainan yang lebih berbahaya, bukan hanya sekedar teman tidur berstatus gigolo.
Apakah Elena akan menerima permainan Axel sebagai media balas dendam pada suaminya ataukah akan ada harapan yang lain dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Enam
"Kenapa aku malu? Kamu telah menyia-nyiakan Elena dan aku yang akan membahagiakannya," jawab Axel.
"Aku dan Elena belum selesai. Dan aku tak pernah menyia-nyiakannya!"
Ruangan itu terasa semakin sempit. Kedua pria itu tampak tegang. Udara seperti menekan dada Elena. Setelah sedikit tersadar. Ia memandang Axel, mencari jawaban dari tatapannya.
“Axel .…” Suara Elena nyaris berbisik. “Apa benar yang Mas Aldi katakan? Kamu sepupunya?"
Axel terdiam beberapa detik, rahangnya mengeras. “Ya,” akhirnya ia menjawab, tenang tapi tegas. “Aku sepupunya Aldi. Tapi itu nggak mengubah apa pun. Aku tak tahu kalau kamu istrinya. Menikah saja keluarga tak ada yang tau!" seru Axel.
Aldi melangkah maju, nadanya semakin meninggi. “Nggak mengubah apa pun?! Kamu menggoda istriku, Xel! Kamu sadar nggak kamu sudah mengkhianati keluargamu sendiri?"
Axel berdiri tegap, sorot matanya dingin. “Aku tidak menggoda Elena. Dia datang padaku saat kau lukai. Aku ada di sini waktu kamu nggak ada. Aku yang lihat dia jatuh, aku yang lihat dia hancur. Kamu yang membuat dia sampai seperti ini, Di. Jadi jangan salahkan aku kalau sekarang aku yang melindunginya.”
Elena menghela napas keras. “Cukup!” serunya lantang. “Aku nggak peduli kalian sepupu atau saudara. Masalahku sama Mas Aldi adalah masalahku sebagai seorang istri yang dikhianati. Bukan urusan keluarga kalian!”
Aldi menatap Elena, matanya memohon. “Elen … jangan bicara kayak gitu. Aku janji akan perbaiki semuanya. Aku janji akan menjauhi Lisa. Aku tak ada hubungan apa pun dengan Lisa."
“Kamu terlambat!” potong Elena tajam. “Janji itu seharusnya kamu ucapkan sebelum aku melihat foto-foto kalian berdua. Sebelum aku menangis setiap malam sendirian. Sebelum aku berhenti percaya sama pernikahan ini!”
Aldi terdiam. Kata-kata Elena seperti pisau yang menusuk dada. "Foto-foto?" tanya Aldi.
"Tanyakan saja pada Lisa."
Dahi Aldi tampak berkerut. Tak mengerti dengan apa yang Elena katakan. Namun, sebelum dia bertanya lebih jauh, Axel mengusirnya.
Axel melangkah lebih dekat ke Elena, berdiri di sisinya. “Elena sudah jelas dengan keputusannya. Kalau kamu masih mau berdebat, lakukan di pengadilan nanti. Sekarang aku minta kamu keluar dari ruangan ku.”
Aldi mengepalkan tangan. “Kamu pikir aku takut sama kamu, Xel? Ini urusan keluargaku. Jangan ikut campur!"
Axel tidak bergeming. “Bukan masalah takut. Ini masalah menghormati keputusan Elena. Kamu sudah cukup menyakitinya. Jangan paksa dia mengulang semua luka itu. Aku di sini sebagai atasan, meminta kamu kembali ke ruangan. Aku tak mau ada karyawan yang merasa tak nyaman!"
Mata Elena berkaca-kaca. Kali ini bukan karena sedih, tapi karena lega. Ada seseorang yang berdiri di pihaknya.
Aldi menatap Elena sekali lagi, kali ini dengan sorot mata yang berbeda penuh sakit hati. “Kamu benar-benar nggak mau kasih aku kesempatan, Elen?”
Elena menggigit bibirnya. Air matanya jatuh, tapi ia tetap mengangguk. “Tidak. Aku mau bebas, Mas. Tolong lepaskan aku. Kita tak perlu saling menyakiti lagi. Kamu bisa cari wanita yang lebih dariku."
"Sekali lagi aku katakan, Elen. Aku tak akan menceraikan kamu!"
"Dan aku tetap akan mengajukan gugatan cerai dengan atau tanpa persetujuan darimu."
Keheningan panjang mengisi ruangan. Napas Aldi berat. Akhirnya ia memutar tubuh, melangkah pergi dengan langkah berat. Pintu menutup keras di belakangnya.
Elena terjatuh di kursi, bahunya bergetar. Axel langsung berjongkok di depannya, menggenggam kedua tangannya.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Axel pelan.
Elena mengangguk, walau air matanya masih mengalir. “Iya … cuma rasanya sedikit sesak.”
Axel mengusap punggung tangannya lembut. “Kamu nggak perlu ketakutan lagi. Aku janji bakal tetap ada di sini sampai semua ini selesai.”
Elena menatap mata Axel. Ada sesuatu yang berbeda di sana, bukan hanya rasa kasihan, tapi sesuatu yang lebih dalam.
“Terima kasih, Xel .…” Suara Elena terdengar lirih.
Axel hanya tersenyum tipis. “Ayo. Hari ini kita mulai langkah baru.”
**
Aldi masuk ke ruangannya dengan langkah berat. Dadanya masih terasa sesak setelah percakapan barusan. Di dalam, Lisa sedang duduk di meja kerjanya, mengetik di laptop dengan wajah serius.
“Lisa,” panggil Aldi, suaranya rendah.
Lisa menoleh, senyum tipis muncul di bibirnya. “Kok mukamu kusut gitu, Di? Ada apa?”
Aldi menghela napas panjang. “Elena tadi bilang ... dia punya foto-foto kita. Kamu tahu maksudnya?”
Lisa mengerutkan kening, lalu tertawa kecil. “Foto? Foto apa? Aku bahkan nggak pernah foto-foto sama kamu yang aneh-aneh.”
“Tapi dia yakin. Dia bilang dia lihat foto kita berdua tidur dan itu darimu ...," ucap Aldi mengecil.
Lisa langsung pura-pura terkejut, tangannya menutup mulut. “Foto kita tidur? Dan itu dariku? Ya ampun, Di. Itu pasti akal-akalan Elena. Dia cuma cari alasan supaya bisa ninggalin kamu. Jangan terlalu percaya sama kata-katanya. Dia kan emang lagi marah."
Lisa mendekati Aldi, "Mana mungkin aku mengirimi foto kita berdua, itu sama saja aku menjerumuskan diri sendiri."
Aldi terdiam. Kata-kata Lisa memang terdengar masuk akal, tapi entah kenapa hatinya tetap resah. “Aku cuma pengin semua ini selesai, Lis. Aku capek.”
Lisa berdiri, mendekati Aldi. Tangannya perlahan menyentuh bahu pria itu. “Selesai? Bisa kok selesai. Kamu cuma perlu fokus sama aku. Aku kan ada di sini buat kamu.”
Aldi mengangkat wajahnya, menatap Lisa. Perempuan itu tersenyum manis, matanya lembut. “Ayo kita lupain Elena sebentar. Kamu terlalu tegang,” bisiknya.
“Lis, ini kantor .…” Aldi sempat ragu.
“Ya terus kenapa? Tak ada yang berani masuk tanpa izin'kan?” Lisa mendekat, suaranya menggoda.
Aldi menatapnya lama, lalu akhirnya menyerah. Dia menarik Lisa ke dalam pelukannya. Tangan mereka saling mencari, bibir mereka bertemu. Suasana mendadak memanas.
Mereka terlalu sibuk dengan diri mereka sendiri untuk menyadari satu hal, kamera CCTV di pojok ruangan menyala, merekam semua yang terjadi.
Di ruangan lain, Axel duduk di depan layar monitor keamanan, kedua alisnya terangkat. Sorot matanya tajam. Dia menatap layar itu beberapa detik, lalu berdiri.
“Ini kesempatanmu, Elen,” ucapnya tegas sambil menoleh pada Elena yang masih duduk di kursinya, menatap kosong.
Elena mengerjap, bingung. “Kesempatan apa?”
“Buat lihat siapa yang sebenarnya kamu pertahankan selama ini.” Axel mengulurkan tangan. “Ikut aku.”
Elena ragu sesaat, tapi akhirnya bangkit. Hatinya berdebar tak karuan. Mereka berjalan cepat menuju ruangan Aldi.
Langkah Elena semakin berat mendekati pintu. Tangannya bergetar, tapi Axel berada di sampingnya. “Kamu kuat, Elen. Kita lakukan ini sama-sama.”
Elena mengangguk. Nafasnya tersengal, tapi ia memaksakan diri. Axel meraih handle pintu, menatap Elena sekali lagi.
“Siap?” bisik Axel.
Elena menggigit bibirnya. “Buka saja.”
Elena mencoba membukanya dengan pelan agar tak mengganggu. Pintu terbuka perlahan. Mata Elena langsung melebar. Napasnya tercekat.
Pintu sudah terbuka lebar. Axel melangkah masuk, dan Elena berdiri di belakangnya, melihat pemandangan di depan mata mereka, Aldi dan Lisa yang saling berpelukan erat, masih terlalu dekat untuk disebut wajar. Baju mereka sudah kusut dan berantakan.
semoga elena kuat melihat perbuatan mereka ber2