Kirana, dalam hembusan terakhir sang Kakek dia menikah dengan sosok pria yang diyakini Kakeknya akan menjaganya dan membahagiakannya. Namun, siapa sangka kalau Arjuna adalah sosok suami yang menganggap Kirana sebagai musuh, bukan istri.
"Aku akan terus melafalkan namamu dalam doaku, karena aku mencintaimu." -Kirana Anindy.
"Menghilanglah dan pergi. Jika harta yang kamu inginkan, bawa itu bersamamu." -Arjuna Braja Satya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memohon Izin
🌹JANGAN LUPA KASIH EMAK VOTE YA ANAK ANAK KESAYANGAN EMAK, EMAK SAYANG BANGET SAMA KALIAN.🌹
🌹IGEH EMAK JUGA DIFOLLOW DI : @REDLILY123.🌹
🌹SELAMAT MEMBACA, EMAK SAYANG KALIAN.🌹
Kirana terbangun tatkala dia merasakan dinginnya udara yang masuk ke dalam celah rumah bilik itu. Dia menggosok matanya, mengedarkan sekitar dan mendudukan dirinya sesaat.
Dia minum air yang memang selalu dia sediakan di sampingnya. Beberapa saat terdiam sebelum mengelus kembali perutnya yang agak membuncit.
"Maaf ya, Nak. Nanti siang kita beli susu, terus kita ketemu Eyang kamu," ucap Kirana pada perutnya sendiri.
Mila memberikannya beberapa lembar uang sebelum pergi lagi. Dia juga memberi petuah pada Kirana untuk segera menemui Arjuna. Tapi Kirana masih belum sanggup menemui pria itu. Jadi dia berencana untuk menemui mertuanya, berharap mereka bisa membantu dan tidak marah karena dirinya pergi.
Kirana bangun dari tidurnya, dia pergi ke kamar mandi untuk berwudhu dan shalat tahajud sambil menunggu waktu subuh tiba.
Ditinggalkan oleh orang-orang yang disayanginya, hidup seorang diri dan tidak pernah diinginkan. Kirana merasakan sakitnya. Dan dia tidak ingin anaknya juga merasakan hal yang sama.
Dia hanya bisa berdoa, berharap jika anaknya ini diizinkan lahir ke dunia dengan banyak cinta yang dia dapatkan dari orang-orang di sekitarnya.
Sementara itu, di waktu yang bersamaan, Bunda Eliza tengah menyiapkan apartemen Arjuna untuk kedatangan sang menantu yang kini sedang dijemput oleh anaknya.
Karena barang barang berwarna pink itu baru datang, jadi Bunda Eliza baru bisa menatanya sekarang. Apalagi Mila memberikan kabar kalau Kirana sedang mengandung.
"Bun, ngapain sih malem malem berisik?"
"Malem apanya, ini udah subuh, Yah. Udah jangaa tidur lagi, cepetan wudhu terus doa biar cucu sama menantu kita bisa Arjuna bawa ke sini," ucap Bunda Eliza yang masih merapikan sprei kamar Arjuna yang diganti menjadi corak polkadot.
"Arjuna gak suka warna-warna gitu."
"Ya daripada ditinggal bini nya lagi."
"Bunda yakin mau matuh dulu di sini?"
Bunda Eliza menghentikan aktivitasnya dan berbalik memandang sang suami di sana. Dia menghela napasnya dalam dan memberi anggukan kepala. "Iya, Yah. Bunda mau tinggal di sini dulu sampai Arjuna sama Kirana bener-bener akur lagi. Lagian mereka juga pasti canggung, jadi bunda temenin. Apalagi Kirana lagi hamil, dia pasti mikir kalau mau minta sama Arjuna pasti takut digablog."
"Maaf yah, Bun. Ayah gak bilang tentang mata Arjuna."
Bunda Eliza menghela napasnya. "Makannya, Ayah kalau ada apa apa itu ngomong. Kasihan bapaknya Kirana liat anaknya disiksa mulu."
"Maaf."
"Udah sana sholat, terus doa biar Kirana nya mau ke sini."
"Anak anak mau nyusul juga katanya. Mau ketemu sama Kirana."
"Nanti dia kaget, Yah. Nanti aja, Ayah juga pagi ini pulang aja, biar Bunda yang di sini."
"Yaudah, terserah Bunda aja."
"Ya iyalah, kalau terserah Ayah gak ada bedanya sama Arjuna. Kacau."
🌹🌹🌹
Arjuna menyerahkan semua pekerjaannya pada sang sekretaris. Sementra dirinya pergi ke Jawa Tengah, dimana sang istri berada di sana. Dia baru bisa berangkat sebelum subuh karena harus menyelesaikan beberapa hal dalam pekerjaannya.
Sebuah telpon membuat Arjuna segera mengangkatnya. "Hallo, assalamualaikum, Bun?"
"Waalaikum salam. Abang udah ketemu?"
"Belum, ini baru nyampe di rumah makannya."
Dan Arjuna baru sampai di daerah itu saat siang hari, dia melihat sebuah plang rumah makan padang yang difotokan oleh Mila kemarin.
"Awas, Bang. Hati-hati bawa Kirana, jangan pake emosi."
"Iya, Bun. Ini Abang mau turun kok."
"Bismillah dulu napa."
"Iya udah."
"Awas ya kalau Kirana gak dibawa pulang. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Arjuna bergegas turun dan segera masuk, tidak tertarik dengan apa yang ditawarkan oleh si penjual. Arjuna malah bertanya, "Bu, maaf. Ada yang namanya Kirana? Dia kerja di sini?"
"Kirana? Abang ini siapanya ya?"
"Saya suaminya, Bu."
"Oh, suaminya toh. Dia ada di belakang, sedang cuci piring. Jalan sini saja, Bang," ucap ibu-ibu berperawakan gendut itu.
Arjuna mengambil jalan memutari rumah makan. Dan ketika matanya menangkap sosok yang sedang duduk beralaskan kursi kayu kecil dengan tangan sibuk membersihkan piring, Arjuna menghentikan langkahnya.
Bagaimana matanya digunakan untuk melihat Kirana yang menyeka keringatnya, membasuh piring-piring kotor itu sembari menahan lelah di wajahnya. Jangan lupakan perutnya yang membuncit, membuat Kirana terlihat lebih susah untuk bergerak lebih bebas.
Memakai pakaian yang lusuh, sendal yang basah karena air cucian. Hati Arjuna terasa terpukul oleh dirinya sendiri. Akankah perempuan itu memaafkannya?
Sampai seorang ibu-ibu keluar dari pintu, menatap ke arah Arjuna. "Gak papa, Bang, kalau mau dibawa juga. Ran, udah kamu gak usah cuci piring, itu suami kamu nyari."
"Apa, Bu?" Tanya Kirana mengeringkan tangannya dengan lap kemudian berdiri.
"Nih, uang untuk hari ini. Kamu pulang aja ya, kasiham suami kamu," ucap ibu pemilik rumah makan itu memberikan uang pada Kirana kemudian memandang sosok yang tidak jauh dari mereka.
Kirana mengikuti arah pandangan, dia kaget melihat sosok yang sedang berdiri di sana.
"Udah sana."
"Makasih, Bu," ucap Arjuna yang mendekat, dia mengelus punggung istrinya yang sebelumnya sering dilakukan sendir oleh Kirana.
"Sama sama."
Dan ketika ibu itu masuk kembali, Kirana menjauhkan tangan Arjuna dari tubuhnya. Bukan sebuah gerakan yang menandakan dirinya jijik, tapi gerakan bahwa dirinya risih.
"Ran, bisa kita ngomong?"
Kirana mengangguk tanpa memandang Arjuna, dan mengatakan apapun kemudian melangkah lebih dulu. Arjuna yang awalnya hendak membawa Kirana pergi itu memilih mengikuti istrinya dari belakang.
Kirana yang berjalan lebih dulu itu meneteskan air matanya dalam diam, merasakan sosok di belakangnya mengikuti. Pemikirannya berkecamuk sendiri, antara takut dan juga sesak.
Ketika sampai di kontrakan, Kirana masuk. Yang pertama dia tuju adalah bagian dapur, Kirana belum meminum obatnya siang ini.
"Kamu sakit?" Tanya Arjuna melihat sang istri yang berdiri di ujung ruangan; selesai meminum obatnya.
Kirana menggeleng. "Cuma vitamin. Kakak mau ngomong apa?" Kirana masih tidak memandang manik itu.
"Saya mau minta maaf, dan kesempatan kedua sama kamu. Atas semua perlakuan saya, kamu mau kan kasih saya kesempatan kedua?"
Kirana tersentak kaget ketika Arjuna sudah berdiri di depannya, menggenggam tangannya. Dan yang bisa dilakukan Kirana hanyalah menunduk, menahan air matanya.
Apa ini nyata?
"Ran, izinkan saya memperbaiki semuanya. Kesalahan saya memang fatal, tapi berikan saya kesempatan kedua. Dan saya tidak akan menyia-nyiakannya."
Kirana tetap diam menunduk, yang mana membuat Arjuna segera bersimpuh di hadapan istrinya.
"Kakak ngapain? Kotor, Kak. Bangun!"
"Berikan saya kesempatan kedua, Ran. Izinkan saya pria brengsek ini menebus kesalahannya."
"Kak, bangun. Kotor." Kirana malah ikut bersimpuh di lantai semen itu. Air mata Kirana sudah merembas keluar, dia baru berani menatap mata Arjuna yang memerah, seolah menahan sesuatu di sana.
"Berikan saya kesempatan, kamu mau 'kan?"
Kirana masih mengatupkan bibirnya dengan air mata yang menuruni pipinya.
Tangan Arjuna terangkat untuk menghapusnya. "Saya janji tidak akan membiarkan air mata kesedihan ini keluar lagi. Saya pria bodoh, brengsek dan berhati iblis, dan saya ingin memperbaikinya. Izinkan saya, Ran. Izinkan saya mengumandangkan adzan di telinga anak kita."
🌹🌹🌹
*TO BE CONTINU**E*