Ini bukan kisah istri yang terus-terusan disakiti, tetapi kisah tentang cinta terlambat seorang suami kepada istrinya.
Ini bukan kisah suami yang kejam dan pelakor penuh intrik di luar nalar kemanusiaan, tetapi kisah dilema tiga anak manusia.
Hangga telah memiliki Nata, kekasih pujaan hati yang sangat dicintainya. Namun, keadaan membuat Hangga harus menerima Harum sebagai istri pilihan ibundanya.
Hati, cinta dan dunia Hangga hanyalah untuk Nata, meskipun telah ada Harum di sisinya. Hingga kemudian, di usia 3 minggu pernikahannya, atas izin Harum, Hangga juga menikahi Nata.
Perlakuan tidak adil Hangga pada Harum membuat Harum berpikir untuk mundur sebagai istri pertama yang tidak dicintai. Saat itulah, Hangga baru menyadari bahwa ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh kepada Harum.
Bagaimana jadinya jika Hangga justru mencintai Harum saat ia telah memutuskan untuk mendua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Eka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Seperti biasa, Hangga bangun sebelum azan subuh.
“Aduh,” lirih Hangga saat merasakan bibirnya kaku ketika bangun tidur.
Setelah duduk sebentar dengan punggung bersandar di kepala ranjang, ia beringsut bangun lalu melangkah menuju cermin. Di depan cermin, ia memegangi bibirnya yang Jontor akibat tersundul kepala Harum kemarin sore.
“Duh, kok bangun tidur malah makin Jontor,” ucapnya sembari meringis.
Karena keadaan bibirnya, Hangga memutuskan untuk salat Subuh di rumah saja. Kemudian ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu lalu salat.
“Yang, bangun dong.” Selepas salat Subuh, ia membangunkan istrinya.
“Apa sih, masih subuh juga,” sahut Nata dengan mata yang masih terpejam.
“Yang, lihat deh bibir aku.” Hangga menggoyang-goyang tubuh Nata agar bangun.
“Kenapa itu?” tanya Nata dengan memicingkan mata sebab baru bangun tidur.
“Segini Jontor enggak, Yang?” Bukannya menjawab pertanyaan Nata, Hangga malah balik bertanya.
“Iya, sedikit. Kok bisa Jontor begitu?”
“Gara-gara si ....” Hangga terdiam, tidak melanjutkan kalimatnya. Kalau ia mengatakan terbentur kepala Harum, khawatir membuat Nata salah paham. “Ini kejedot jendela,” sambungnya.
“Oh.” Nata mangut-mangut. Sejenak kemudian, ia tersenyum menatap Hangga dengan tatapan penuh arti. “Tapi bibir kamu seksi kalau begitu. Aku suka,” bisiknya di telinga Hangga.
“Enggak dulu deh, Yang. Aku lagi cape. Semalam kan udah,” ujar Hangga yang memahami 'maunya' Nata.
“Nanti malam aja ya,” sambungnya.
“Enggak cape. Kamu tinggal telentang, biar aku aja yang kerja,” ujar Nata sembari mendorong tubuh Hangga hingga jatuh telentang.
Hangga hanya bisa pasrah saat perempuan cantik itu mulai melancarkan aksinya.
Niat Hangga membangunkan Nata adalah meminta sang istri untuk mengobati bibirnya. Tetapi, kini yang terjadi malah Nata yang membangunkan sesuatu di tubuhnya.
*
Selepas salat Subuh dan mengaji sebentar, Harum memilih untuk membereskan lemari pakaiannya yang berantakan. Kemarin ia hanya sekedar memasukkan pakaian dalam koper ke lemari, tanpa merapikannya. Akibatnya, tumpukan pakaian dalam lemari menjadi berantakan, padahal ia adalah gadis yang sangat menyukai kerapian.
Sesaat kemudian, pandangannya tertuju pada sebuah pigura dalam tumpukan pakaian. Tangannya bergerak mengambil pigura ukuran 10 R tersebut. Foto sepasang pengantin yang tidak lain adalah dirinya dan Hangga, terpajang dalam pigura pemberian sang ibu mertua saat berkunjung ke rumah ini beberapa hari yang lalu.
“Kalian pulang buru-buru sekali. Hari pertama menikah langsung pulang, sampai foto pengantin pun belum selesai,” ujar Bu Mirna saat menghampirinya di dalam kamar.
“Ini ibu bawakan foto pengantin kalian yang ukuran 10 R. Kalau yang ukuran 30 R, di simpan di rumah ibu,” ujar Bu Mirna lagi.
Harum ingat betul saat itu hanya ada dirinya dan sang mertua di dalam rumah. Sementara sang ayah mertua tengah menemani Hangga mengucap ijab kabul, menikahi Nata di sebuah pondok pesantren. Sedangkan Jenah tengah sibuk di dapur mempersiapkan kebutuhan acara syukuran pernikahan Hangga dan Nata.
Harum bergerak menuju tempat tidur. Duduk di tepi ranjang, ia menatap pilu foto pernikahannya. Baru sebulan usia pernikahannya, bahkan Hangga belum pernah menyentuhnya, dirinya sudah dimadu.
Sesungguhnya Harum bukan menyesali keputusannya mengizinkan Hangga menikah lagi. Tetapi, perempuan berparas ayu itu menyesalkan sikap Hangga yang tidak berubah.
Apa Hangga tidak tahu kalau bersikap adil terhadap istri-istrinya itu adalah suatu kewajiban. Apa Hangga tidak merasa apa yang dilakukannya saat ini adalah suatu bentuk kezaliman.
Apa Hangga tidak takut, kelak di akhirat ada balasan bagi suami yang tidak adil terhadap istri-istrinya. Seperti hadis Rosulolloh yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa barangsiapa seorang (suami) mempunyai dua orang istri, kemudian ia cenderung kepada salah satunya, tetapi tidak kepada yang lain, maka ia datang di hari kiamat dengan separuh badannya menceng.
Dada Harum terasa sesak setiap hari karena menahan getir luka. Sampai kapan Hangga akan bersikap begini? Sampai kapan ia sanggup bertahan dalam situasi rumit seperti ini? Apa yang harus dilakukannya?
Mengingat hal tersebut membuat mata Harum terasa panas. Bersusah payah ia menahan air mata agar tidak tumpah. Ia tidak ingin menangis.
Harum kembali memandangi foto tersebut. Seketika ia jadi teringat Hangga. Harum melirik jam meja berbentuk mushaf Al-Qur’an di atas meja rias. Penunjuk waktu mengarah pada angka 5 dan 3, menunjukkan pukul lima lewat lima belas menit.
“Mas Hangga udah bangun belum ya,” gumam Harum yang sejak bangun tidur tadi belum bertemu Hangga. Ia teringat kejadian beberapa hari yang lalu saat Hangga terlambat bangun dan melewatkan kewajiban salat Subuh.
Harum meletakkan pigura itu di atas kasur. Ia meraih jilbab yang tersampir di kepala ranjang. Selama ini, Harum belum pernah sekalipun membuka kepalanya meski di dalam rumah. Kemudian ia beranjak keluar kamar.
“Bi, Mas Hangga enggak pergi ke masjid?” tanya Harum saat menemui Bi Jenah di dapur.
“Bibi kurang tahu Neng, belum lihat Mas Hangga sejak bangun tadi,” jawab Bi Jenah yang sedang memasak air panas.
“Oh, gitu ya.” Harum mangut-mangut. Sama seperti Jenah, ia pun belum bertemu Hangga. Biasanya selalu saja ada momen berpapasan dengan suaminya itu kala hendak pergi atau pulang dari masjid.
“Ya udah, Bi. Makasih ya.”
“Sama-sama, Neng.”
Kemudian Harum pergi ke teras untuk mengecek sandal. Ia melihat sandal jepit Hangga yang tersimpan rapi di rak sandal. Biasanya Hangga selalu memakai sandal tersebut untuk pergi ke masjid.
Setelah memastikan dan meyakini Hangga tidak pergi ke masjid, ia memutuskan untuk membangunkan Hangga. Sebagai seorang istri, ia merasa wajib untuk mengingatkan waktu salat kepada suaminya.
Sampai di depan pintu kamar Hangga, ia malah ragu untuk mengetuk pintu. Tangannya sedikit bergetar karena khawatir Hangga akan marah dan menegurnya karena sudah berani membangunkan tidurnya.
Bangunkan saja lah, daripada Hangga tidak salat. Begitu pikirnya.
Tangan Harum sudah terangkat untuk mengetuk pintu, namun seketika tangan dan tubuhnya menjadi lemas tak bertulang karena mendengar suara-suara dari dalam kamar.
Suara desah dan erangan yang saling bersahutan itu membuat seluruh tubuhnya gemetar dan nyaris pingsan.
“Astagfieulloh ya Rabb,” ucapnya menahan tubuh agar tidak limbung.
.
..
.
.
Terima kasih dukungannya ❤️❤️
sungguh nikmat kn mas Hangga poligami itu 😈
yg bener nggak sadar diri
perempuan yang merendahkan diri sendiri demi cinta yg akhirnya di telan waktu