Laras terbangun di tubuh wanita bernama Bunga. Bunga adalah seorang istri yang kerap disiksa suami dan keluarganya. Karna itu, Laras berniat membalaskan dendam atas penyiksaan yang selama ini dirasakan Bunga. Disisi lain, Laras berharap dia bisa kembali ke tubuhnya lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Elmu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suami CEO, Istri OG
"Eng ... Gak ke divisi lain, gitu?" tanyanya, gak percaya, bakalan beneran dijadiin OG.
"Kamu mintanya apa? Office girl, kan? Kebetulan ada lowongan kosong," sahut Aksa santai.
Laras mencebik. Dasar, gak ada romantis-romantisnya. Seenggaknya dikasih yang agak tinggian kek. Emang sih, dia nyeletuk jadi OG gak papa. Tapi kan itu cuma perumpaan. Ya kali malah beneran dijadiin OG.
"Gak mau? Ya sudah. Kalau begitu gak usah."
"Eh, iya ... Iya, mau!" sambar Laras cepat. "Mau kok mau. Makasih, suami. Suami baik deh," dengan senyum dipaksakan.
Aksa mengibaskan tangannya. Memberi kode Laras untuk pergi.
Gadis itu berbalik. Senyum yang tadi terbit, langsung luntur. Untaian kata mutiara meluncur di bibirnya. Memang ya, kalau gak menyebalkan, bukan Aksa namanya.
Dia kembali ke kamarnya. Aksa gak bakal ngizinin dia tidur di kamar pria itu, sementara mama mertua sudah pulang.
"Gak papa deh, jadi OG. Seenggaknya gue OG elit. Istrinya CEO gitu loh," menepuk dadanya. Tertawa setelahnya.
"Istrinya CEO kok jadi OG. Haha. Sembarangan emang si Aksa," gerutunya.
.
.
Laras memegang sapu di tangannya. Aksa beneran menempatkan dia di bagian bersih-bersih. Bahkan dia sekarang memakai seragam khas office girl. Emang kelewatan si Aksa mah.
"Sapu yang bersih. Jangan mentang-mentang lo istri pak Aksa, bisa dapat hak istimewa," seorang wanita yang sepertinya sedikit lebih tua darinya berkacak pinggang.
Belum-belum dia sudah mendapat kata-kata pedas dari sesama OG.
"Kita semua tahu kali, meski lo istrinya pak Aksa, tapi sebenarnya lo gak sepenting itu," tambahnya, menarik sudut bibir, sinis.
"Bener. Udah jadi rahasia umum. Kita cuma pura-pura gak tahu aja. Padahal sebenarnya kita mah tahu, kalau lo itu cuma perebut pak Aksa dari mbak Lila," gadis yang lain menimpali. Senyumnya tak kalah mengejek.
"Iya. Lebih pantesan sama mbak Lila kali, daripada sama lo."
"Pendek bantet gitu mah jauh kali, dibandingin mbak Lila yang spek model."
Laras merotasikan bola matanya. Manusia-manusia reseh. Sukanya banyak omong, padahal kopong.
"Udah ngomongnya?" Dikira dia takut? Sory, gak ada kata takut dalam kamus hidupnya.
"Kenapa? Lo gak terima? Emang itu kenyataannya, kok. Iya, kan, Din?"
Laras mendecih. Nyari pembelaan rupanya.
"Iya. Buktinya waktu kemarin aja yang dibela mbak Lila."
Laras terkekeh. "Gitu doang?" remehnya, bersedekap. Menyungging smirk tipis.
Dan nyatanya, dengan sikap beraninya itu, dua gadis itu langsung kicep. Omongnya doang yang gede, mentalnya mah kerupuk. Kena senggol air langsung melempem.
"Mau kalian banding-bandingin gue sama cewek itu, sebenarnya gue gak peduli sih. Tetep aja derajatnya lebih tinggian gue. Kenapa? Soalnya ortu Aksa lebih milih gue daripada cewek yang kalian maksud." sorotnya menajam. Bisa-bisanya orang seperti mereka merendahkan Bunga, yang notabene adalah istri boss mereka sendiri. Kesal, itu pasti. Kebayang serendah apa Bunga dimata karyawannya suaminya sendiri selama ini. Dan ini gak bisa dia biarkan. Dia harus mengubah perspektif orang-orang menyebalkan itu. Mereka harus diajarkan apa itu respect.
"Memangnya kenapa kalau gue pendek bantet? Toh bantet-bantet gini yang dinikahi Aksa gue. Percuma kalau spek model, malah sukanya sama suami orang. Itu sih namanya gak punya harga diri. Dan biasanya yang suka dukung perusak hubungan orang gak jauh-jauh dari lont- sih. Kan sama-sama lont-, makanya saling dukung." Bukan Laras kalau mulutnya gak pedes. Sekali dia disenggol, jangan harap yang nyenggol bakal berdiri tegap. Yang ada dia senggol balik lah. Kalau perlu nyungsep sekalian.
Salah satu dari mereka hendak menyahut, sayangnya Laras gak memberinya kesempatan.
"Eiiits satu lagi!" Dua wanita itu nampak dongkol. Wajahnya saja merah padam. "Se-rendah-rendahnya kerjaan gue disini, bakingan gue kuat cuuy. Kalau ada apa-apa, gue ada yang belain. Ada yang macem-macem gue laporin. Kalian gak mikir sampek sana, kan? Jelas enggak lah. Namanya juga pendukung lont-. Haha," Puas sekali Laras. Emang enak, dibalikin. Salah sendiri bikin kesel.
"Tapi kan pak Aksa yang naruh lo disini. Jelas aja pak Aksa aja gak sudi sama elo."
"Dih, kata siapa? Orang gue sendiri yang minta sama Aksa ditaruh disini. Buat apa? Tentu aja buat ngawasin mulut-mulut karyawan macam kalian. Dikira gue disini gak ada tujuannya apa?"
Laras tertawa puas dalam hati. Kicep kan lo pada. Salah sendiri cari masalah.
"Udah, sana kerja! Atau gue laporin kalian ke Aksa. Biar dipecat sekalian," ancamnya.
Kedua wanita itu langsung ngabrit. Rupanya masih ada takutnya mereka. Laras ngakak.
"Huh, dasar. Gak sadar posisi. OG aja berani sama istrinya boss. Emang mereka kira mereka siapa? Huh." Untung saja gagang sapunya gak melayang.
Beberapa saat kemudian, gerutuannya bukan lagi tentang dua wanita menyebalkan itu. Melainkan Aksa.
"Emang kampret si Aksa. Gara-gara dia, istrinya jadi bahan cemoohan sekantor. Nasib lo buruk amat, Bung. Pokoknya kita bales mereka," omelnya.
.
.
Paruh hari pertama yang lumayan. Tatapan sinis dan meremehkan, masih Laras dapati dari para karyawan Aksa. Selagi mereka tidak langsung menyerangnya, dia biarkan saja sih. Beda kalau main senggol, barulah dia balas. Untuk merubah perspektif mereka tentang Bunga, gak bisa dalam sehari dua hari. Butuh waktu.
Melalui kepala dapur, dia diminta mengantar makanan langsung ke ruangan Aksa. Tentu saja atas permintaan pria itu. Laras mendorong troli ke ruangan Aksa. Pria itu sudah menunggunya, duduk di sofa. Dan selayaknya pekerja, Laras menata makanan itu meja. Dengan netra Aksa yang mengikuti gerak geriknya.
"Mau kemana? Duduk," perintah Aksa, saat Laras hendak mendorong trolinya keluar.
"Balikin troli lah."
"Nanti saja. Duduk."
Laras hendak membantah, tapi tatapan tajam Aksa mengurungkannya. Gadis itu melangkah malas ke sofa depan Aksa. Hanya diam, bahkan saat pria itu mengambil porsi untuknya. Yah, dia baru sadar, ada dua piring kosong. Seperti sengaja disediakan.
"Makan."
Laras hanya diam saja. Tidak menyantap seperti yang Aksa perintahkan.
"Kenapa? Marah?"
Laras mengangkat pandangannya.
"Enggak. Marah buat apa?" sahutnya, agak ketus.
"Ditempatin jadi OG, mungkin," Aksa mengambil porsi untuk dirinya.
"Ck. Enggak lah. Kan gue yang minta."
Aksa mengangkat bahunya. "Siapa tahu, ngambek."
"Enggak lah. Gue mah cewek strong. Anti ngambek-ngambek club."
Aksa manggut-manggut. "Baguslah. Kalau begitu, makan."
"Emang pantes ya, OG makan bareng atasan?"
"Siapa yang ngelarang?"
"Pacarmu, mungkin."
Aksa mendecak. "Gak usah aneh-aneh," menanggapi malas.
"Gak aneh. Lebih aneh lagi kalau pendukung pacar lebih banyak daripada istri sah," sahut Laras, menekankan kata pacar, dengan maksud menyindir.
Aksa membuang napas pelan. "Makan," ucapnya. Nadanya lebih tegas.
Laras mencibir samar. Sepertinya Aksa menghindari perdebatan. Tapi dia lapar juga sih. Pekerjaannya hari ini cukup menyita tenaga. Debatnya pending dulu. Ada yang lebih penting. Yaitu isi perut. Nuruti gengsi gak bikin kenyang.