Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.
Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengejaran
Lautan kesibukan kota Surabaya menjadi saksi dari kejar-kejaran yang menegangkan. Yudha berlari dengan sekuat tenaga, melompati trotoar, menyusup di antara kerumunan, dan berbelok tajam di sudut jalan. Di belakangnya, sekelompok lelaki berjas terus mengejar, pentungan di tangan mereka terayun ganas, siap melumpuhkannya kapan saja.
Tubuh Yudha yang besar menerobos keramaian dengan brutal, hingga tanpa sengaja menabrak seorang gadis yang baru keluar dari minimarket. Gadis itu terjatuh dengan keras, barang belanjaannya terlempar berantakan ke trotoar.
"Maaf," ucap Yudha cepat, wajahnya diliputi kegelisahan. Matanya melirik gugup ke belakang, memastikan jarak dengan para pengejarnya.
Namun, pandangannya kembali tertuju pada gadis di depannya. Tatapannya berubah dari sekadar kekhawatiran menjadi keterkejutan. "Naima?" gumamnya, nyaris tak percaya.
Naima yang masih terduduk di trotoar mengangkat wajahnya, alisnya berkerut. "Kamu—"
"Itu dia orangnya! Tangkap dia!" teriakan dari gerombolan lelaki berjas terdengar semakin dekat.
Yudha, tanpa berpikir panjang, menarik kantong belanjaan Naima. "Ayo, kita harus pergi!" ucapnya tegas sambil menarik Naima untuk berdiri.
Naima yang terkejut menghentikan langkahnya. Dia melepaskan barang belanjaannya yang sedari tadi ditarik oleh Yudha. "Hei! Kenapa aku juga harus ikut?" protesnya dengan napas tersengal, mencoba melepaskan tangannya. "Mereka ngejar kamu, bukan aku!"
"Aku mau ngomong sama kamu!" balas Yudha, tanpa menghentikan langkahnya.
"Aku-nya yang nggak mau," Naima berbalik, membuang muka. Untuk apa dia ikut dengan orang yang terus mengusiknya?
Yudha menoleh dengan wajah frustrasi, lalu kembali ke arahnya dan tanpa basa-basi menarik pergelangan tangan Naima. "Aku nggak minta pendapat kamu!" katanya, nadanya rendah namun penuh ketegasan.
Yudha menarik Naima untuk berlari, namun terlambat. Orang-orang berjas hitam itu sudah berkerumun, menghalangi jalan mereka, dan menjadikan Naima sebagai sandera.
"Serahkan CD itu, atau pacarmu ini akan mendapatkan akibatnya!"
"Saya bukan pacarnya!" Naima membantah dengan cepat.
"Siapa peduli, minta dia untuk mengembalikan CD-nya!"
"C—D, celana dalam?" Naima bertanya bingung, matanya melirik Yudha dengan ekspresi tak percaya.
Tawa kecil Yudha pecah mendengar penuturan Naima, Hal itu sukses meluruhkan ketegangan yang bergelayut di udara. Meski tak banyak, itu cukup memberi secercah kelegaan di tengah situasi yang semakin memanas. Naima tidak keliru—orang-orang berjas hitam itu memang salah mengeja 'CD’
Orang yang menyandera Naima tampak canggung sejenak, wajahnya menunduk malu. Namun, tiba-tiba dia membentak, “Kenapa kamu tertawa? Diam! Cepat serang dia!”
Orang-orang yang menjadi komplotannya bergerak cepat, tanpa ragu meluncurkan serangan pertama. Pentungan mereka diayunkan dengan brutal, memicu baku hantam sengit yang tidak terelakkan. Yudha menghindar dengan gesit, tubuhnya bergerak lincah di tengah serangan yang datang bertubi-tubi.
Suara hantaman dan langkah kaki yang tergesa memenuhi udara, menarik perhatian orang-orang di sekitar. Yudha tahu dia tidak bisa bertahan lama melawan jumlah mereka yang jauh lebih banyak. Namun, tekadnya tidak goyah. Dia melirik sekilas ke arah Naima, gadis itu masih tertahan, dengan pisau yang menodong lehernya.
"Kemana kau melihat, ha?!" seru seseorang dari belakang. Tanpa memberi kesempatan, dia mengayunkan kayu dengan keras ke punggung Yudha. Hantaman itu membuat tubuh Yudha terhuyung ke depan, napasnya tercekat sejenak. Serangan susulan segera menyusul, kali ini menghantam dadanya dengan brutal, membuatnya nyaris kehilangan keseimbangan.
"Yudha!" Naima berteriak panik, suaranya menggema di antara keramaian yang perlahan menjauh, takut terlibat.
Yudha menggertakkan giginya, menahan sakit. Dengan cepat, dia bangkit dan melawan. Pandangannya tajam, penuh kemarahan. Tanpa berpikir panjang, dia meraih kantung belanjaan Naima yang tergeletak di tanah. Dalam satu gerakan, dia mengayunkannya langsung ke wajah salah satu dari mereka, membuat lelaki itu terdorong ke belakang sambil memegangi hidungnya yang kini berdarah.
"Sialan kau!" lelaki itu memaki, wajahnya merah padam oleh rasa malu dan sakit.
Yudha bersiap untuk serangan berikutnya, napasnya memburu. Dia tahu ini belum selesai. Sementara itu, Naima hanya bisa berdiri terpaku, tangannya mengepal, matanya penuh kecemasan saat menyaksikan kekacauan yang terjadi di depannya.
Naima yang melihat Yudha terpojok, dengan panik menggoyang-goyangkan lengan si penyandera. "WOH! UFO! UFO!" teriak Naima keras dan berlebihan, matanya membelalak seolah-olah benar-benar melihat sesuatu yang luar biasa.
Teriakan itu sukses membuat semua orang, termasuk si penyandera, teralihkan. Mereka menoleh ke arah Naima, dahi mereka berkerut penuh kebingungan. "Apa maksudmu?" salah satu dari mereka bergumam, mencoba memahami situasi.
Di sela-sela rasa sakit yang mendera tubuhnya, Yudha tak mampu menahan tawa kecil. “Apa-apaan itu, Naima…” gumamnya sambil menahan nyeri.
Menyadari cengkeraman di lengannya mulai melonggar, Naima langsung memanfaatkan momen tersebut. Dengan cepat, dia menginjak kaki si penyandera dengan sekuat tenaga, lalu menghantamkan sikunya ke dada si penyandera. Lelaki itu mengaduh kesakitan, tubuhnya terhuyung ke belakang.
“Lari!” teriak Naima lantang pada Yudha, wajahnya penuh determinasi.
Tanpa membuang waktu, Yudha segera bangkit, dan keduanya melesat pergi, berlari menuju gang terdekat. Napas mereka memburu, langkah kaki bergema di antara dinding sempit gang, sementara suara makian dan perintah pengejar terdengar di belakang mereka, semakin mendekat.
***
Gang terlihat remang-remang. Cahaya lampu neon yang tergantung di atas kepala berkedip-kedip tak beraturan, menciptakan bayangan yang bergerak liar di dinding bata yang basah. Hembusan angin malam menusuk kulit, membuat tubuh yang bercampur keringat terasa dingin dan lengket.
Naima menatap Yudha dengan sorot mata yang penuh kekesalan. Napasnya masih tersengal-sengal, dadanya naik-turun berusaha mengatur ritme yang tidak terkendali. Dia menyeka peluh di dahinya dengan punggung tangan, lalu mendelik tajam ke arah lelaki di depannya.
"Apa itu tadi, UFO?" Yudha bertanya, masih dengan sisa tawa yang terselip di napasnya. Bahkan dalam situasi seberat itu, tingkah Naima tetap berhasil membuatnya terpingkal.
"Berhenti tertawa! Sudah bagus kita selamat," sahut Naima dengan nada kesal, napasnya masih tersengal-sengal. Wajahnya memerah, entah karena lelah atau jengkel. "Dan dengar baik-baik, jangan pernah libatkan aku dalam masalah kamu lagi, Yudha!"
Yudha menelan tawa terakhirnya, menatap Naima dengan ekspresi bersalah. Namun, ada sedikit senyum kecil yang masih tersisa di sudut bibirnya. "Maaf... Tapi serius, Naima, tadi itu lucu."
Naima mendengus, tubuhnya bersandar di dinding rumah, "Sekarang apa yang terjadi?" tanyanya dengan nada setengah berteriak, suaranya memecah kesunyian gang. "Kenapa mereka ngejar kamu?!"
Yudha, yang sama-sama terengah, bersandar di dinding sambil memegangi lututnya. Dia mencoba mengatur napas, tapi malah tersenyum kecut, seperti tidak tahu harus mulai menjelaskan dari mana. "Aku… Aku hanya ga sengaja terlibat masalah," katanya pelan, nyaris tidak terdengar di antara deru napasnya.
"Ga sengaja?" Naima mengangkat alis, ekspresinya berubah dari kesal menjadi tidak percaya. "Kamu liatkan tadi ada orang ngejar kamu dengan pentungan, hah?!"
Yudha tidak menjawab, hanya menarik napas panjang, wajahnya serius. "Aku liat, aku ga buta, Naima."
Naima mendengus neataoa tajam Yudha yang juga bersandar di dinding bangunan, "Apa ini, niatku cuma mau beli cemilan buat nonton drama. Tapi lagi-lagi aku ambil bagian dari film action hidup kamu!"
Yudha nyaris tertawa kecil, tapi buru-buru menahannya. "Anggap aja nambah pengalaman. Siapa tahu nanti bisa jadi inspirasi buat nulis."
Naima memutar matanya dengan dramatis. "Lucu banget. Aku hampir mati ngos-ngosan di sini, dan kamu masih sempat bercanda."
Yudha menghela napas panjang, menatap Naima dengan sorot mata yang jail. "Tenang aja, aku akan antar kamu kembali ke kamar dan nonton film dengan selamat. Semoga,” ucapnya enteng, sambil mengangkat bahunya acuh.
Naima tidak menjawab, hanya menatap Yudha lama. Wajahnya datar, tanpa emosi yang jelas. Dia bahkan tidak tergiur sedikit pun untuk menanggapi candaan lelaki itu. Napasnya mulai teratur, meskipun dadanya masih terasa berat.
“Baiklah,” Yudha akhirnya angkat bicara setelah beberapa detik sunyi yang canggung. Dia melirik ke ujung gang dengan penuh kewaspadaan. "Ayo kita lihat situasi. Semoga mereka sudah jauh..."
Yudha berjalan pelan ke arah sudut gang, tubuhnya setengah membungkuk untuk menghindari perhatian. Naima, meski masih merasa kesal, mengikuti di belakangnya dengan langkah ragu-ragu. Bayangan tubuh mereka memanjang di dinding yang basah akibat sisa hujan semalam.
Yudha berhenti di ujung gang, menyembulkan kepalanya sedikit untuk mengintip ke jalan utama. Ia menahan napas, matanya menyapu setiap sudut dengan teliti. Lampu-lampu jalanan memantulkan cahaya redup di trotoar yang hampir kosong, hanya sesekali dilalui pejalan kaki. Tidak ada tanda-tanda gerombolan pria berjas hitam tadi.
“Mereka nggak ada,” gumam Yudha pelan, seolah meyakinkan dirinya sendiri. Ia menarik napas lega, lalu menoleh ke Naima. "Sepertinya aman."
Naima memutar bola matanya, tetap berdiri beberapa langkah di belakang. "Aman? Aku hampir bertemu malaikat maut"
Yudha tersenyum tipis, meski ekspresinya tampak lelah. "Aku nggak bilang ini mudah. Tapi hei, kamu selamat, kan? Itu yang penting."
Naima mendengus, menahan diri untuk tidak mengeluarkan komentar sarkastik. "Selamat? Kalau kejadian kayak tadi terjadi lagi, aku bakal benar-benar berpikir ulang buat keluar rumah. Bahkan buat beli camilan!"
Yudha terkekeh kecil, meski tahu Naima tidak sedang bercanda. "Oke, aku janji nggak bakal libatin kamu lagi. Ini kejadian terakhir."
Naima menatapnya curiga. "Janji?"
"Janji." Yudha mengangguk serius, tapi ada sedikit keraguan di matanya yang tidak luput dari pengamatan Naima.
“Bagus,” Naima menghela napas panjang. “Kalau aku lihat pentungan lagi, atau ada yang teriak ‘tangkap dia’ sambil nunjuk kamu, aku akan pura-pura nggak kenal.”
Yudha tertawa kecil, kali ini tidak bisa menahannya. "Adil."
Naima menggeleng, meski bibirnya sedikit melengkung membentuk senyum kecil. "Kamu itu benar-benar masalah berjalan, Yudha. Aku nggak ngerti kenapa aku masih di sini."
“Karena kamu nggak tega ninggalin aku,” balas Yudha sambil menyeringai.
Naima mendengus lagi, tapi tidak membantah. Sambil melangkah menjauh dari sudut gang, dia memeluk dirinya sendiri untuk melawan dinginnya udara malam. Satu hal yang dia tahu pasti—ini malam yang akan sulit dilupakan.
Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"
Ditunggu ya kak