Ainsley adalah anak kuliahan yang punya kerja sampingan di cafe. Hidupnya standar. Tidak miskin juga tidak kaya, namun ia punya saudara tiri yang suka membuatnya kesal.
Suatu hari ia hampir di tabrak oleh Austin Hugo, pria beringas yang tampan juga pemilik suatu perusahaan besar yang sering di juluki iblis di dunia bisnis.
Pertemuan mereka tidak menyenangkan bagi Ainsley. Tapi siapa sangka bahwa dia adalah gadis yang dijodohkan dengan Austin dua puluh tahun silam. Lebih parahnya lagi Austin tiba-tiba datang dan menagih janji itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34
Clara pamit pergi dengan wajah masamnya tak lama kemudian. Rencananya gagal. Padahal sebelum datang ke rumah Austin, sudah banyak rencana dalam benaknya. Sayangnya semua rencana itu gagal begitu saja.
Setelah kepergian Clara, Ainsley menatap Austin tajam.
"Kenapa, kau masih tidak senang? Bukankah aku sudah setuju kita pulang?" celetuk Austin.
"Kapan aku memaksa sambil menangis-menangis?" Ainsley memelototkan matanya sambil berkacak pinggang. Posisinya sudah berdiri di hadapan Austin.
Austin terkekeh. Oh, jadi gadis itu keberatan dengan perkataannya tadi.
"Kau tahu Clara itu wanita yang licik, kita harus punya alasan kuat agar dia tidak mencari-cari cara mengganggumu lagi." ucapnya.
Ainsley memicingkan matanya. Sebenarnya Clara itu siapa sih? Jangan-jangan mantan pacar Austin lagi. Atau, teman ranjang pria itu dulu. Sebelum menikah dengannya? Huh! Melihat betapa mesumnya seorang Austin, Ainsley jadi berpikir pria itu pasti sudah meniduri banyak sekali wanita.
"Apa Clara Clara itu mantan pacarmu?" tanya Ainsley tiba-tiba. Austin menatapnya sebentar, lalu
tertawa keras.
"Aku tidak pernah memiliki seorang kekasih sebelum bertemu denganmu, aku cukup tahu diri kalau aku sudah punya tunangan Ainsley. Bahkan sebelum tahu kalau gadis yang di jodohkan denganku adalah dirimu." Austin mengucapkan kalimat demi kalimat itu dengan sangat serius.
Memang ada waktu di mana dirinya sangat ingin menyentuh wanita. Bercinta dengan mereka dan menikmati bagaimana nikmatnya sentuhan-sentuhan mereka pada bagian-bagian tubuhnya yang sensitif.
Sayangnya, ketika para wanita itu telah berdiri didepannya, ia jadi tidak bernapsu. Bahkan jika mereka telanjang sekalipun. Ia kadang merasa dirinya bukan pria yang normal, namun pertemuannya dengan Ainsley membuatnya sadar kalau sebenarnya dirinya adalah pria yang sangat normal. Namun hanya pada wanita yang ia inginkan, seperti Ainsley. Kebetulan sekali Ainsley adalah gadis yang di jodohkan dengannya.
Walau di awal-awal sulit memaksa gadis itu untuk menikah dengannya, sekarang toh gadis itu sudah menjadi istrinya. Tinggal menunggu waktu sampai napsunya pada gadis itu tersalurkan.
"Oh, meski bukan pacarmu kau pasti pernah tidur dengannya bukan? Aku yakin pasti sudah banyak wanita yang kau tiduri." perkataan Ainsley membuat senyum di wajah Austin memudar. Raut wajahnya berubah dingin. Ia sama sekali tidak berpikir Ainsley akan menganggapnya seperti pria-pria lain yang suka bermain-main dan meniduri banyak wanita.
"Bereskan barang-barangmu. Kita akan pulang setelah aku selesai mengurus keberangkatan kita." ucap Austin dingin lalu pergi keluar rumah.
Dahi Ainsley berkerut. Pria itu marah? Austin marah padanya? Apa dia salah bicara?
Oke. Ia tahu dirinya sudah keterlaluan. Tapi ia bicara begitu karena emosi. Ia merasa tidak suka membayangkan Austin yang tidur dengannya banyak wanita. Tunggu, kenapa tidak suka? Apa dia cemburu? Tapi kan dia tidak ada perasaan pada pria itu.
Ainsley menyadarkan dirinya. Apa yang dia pikirkan? Ia membuang pikirannya jauh-jauh. Tidak mau terlalu jauh memikirkan tentang Austin. Kalau berpikir tentang pria itu terus, lama-lama ia jadi tidak merasa yakin dengan pikirannya.
Ainsley menghela napas. Ia kembali ke kamar dan mulai membereskan barang-barangnya.
***
Ketika hari ini berganti menjadi besok, dan Austin telah kembali paginya entah dari mana, mereka langsung masuk mobil menuju bandara.
Di mobil sangat hening. Austin tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Apa Austin masih marah karena masalah kemarin? batin Ainsley.
Ainsley merasa Austin berubah menjadi dingin. Tapi mengapa ia memikirkannya?
Ainsley menatap jendela. Selamat tinggal, Hawaii.
***
Di atas pesawat, Austin masih juga cuek. Ia malah menyibukkan diri di depan laptopnya. Ainsley sampai bosan.
Seorang pramugari menghampirinya.
"Kalian mau makan tuan, nona?" tawarnya sopan.
Pramugari ini jauh lebih baik dan sopan di banding sebelumnya. Ainsley membanding-bandingkan keduanya yang sangat jauh berbeda. Kalau pramugarinya sopan seperti ini sih ia betah lama-lama dalam pesawat.
Ainsley melirik Austin sebentar namun pria itu tetap cuek. Ia jadi ragu bertanya pada pria itu kalau pria itu mau makan atau tidak. Lebih baik pesan untuk dirinya sendiri saja. Karena ia memang sudah lapar. Tadi pagi mereka memang tidak sempat sarapan.
"Boleh." sahut Ainsley tersenyum ramah pada pramugari itu.
"Anda mau makan apa?" tanya pramugari itu lagi. Ainsley bingung, tapi sesudah itu ia bilang apa saja yang enak.
Tidak lama kemudian pramugari itu menyajikan menu sarapan berupa ham and cheese pastry. Ainsley langsung melahapnya.
Setelah makan, gadis itu melirik Austin lagi. Lelaki itu terus sibuk dengan laptopnya. Ainsley mulai bosan. Ia memutuskan membuka-buka apa saja di hpnya namun tak lama kemudian ia mengantuk dan memilih tidur saja.
***
Ainsley membuka matanya. Ia tersentak saat ia sudah bukan di pesawat lagi. Mereka sudah sampai? Jadi ia tidur selama itu?
Sekarang Ainsley berada di bangku belakang mobil, sendirian. Di mana Austin? Bagaimana caranya ia bisa berada dalam mobil itu? Apa Austin yang menggendongnya? Tapi di mana pria itu? Eskpresi Ainsley kelihatan bingung-bingung.
"Sudah bangun, nona?" tanya seseorang.
Ainsley menatap ke depan dan menyadari kalau si sopir memperhatikannya dari balik kaca spion tengah. Ainsley langsung mengenalinya. Orang itu adalah sopir Austin yang biasa.
"Di mana Austin?" tanya Ainsley.
"Bos Austin langsung ke kantor karena ada rapat penting," jawab sopir itu. "Saya di perintahkan membawa nona pulang ke rumah." tambahnya.
Ainsley mengangguk asal saja lalu tertegun. Mungkin Austin memang masih marah dan tidak mau bicara dengannya. Rapat hanya jadi alasannya saja, mungkin.
Ainsley mengangkat bahunya masa bodoh. Biar saja Austin marah padanya. Kalau perlu usir dia sekalian dari rumah. Biar dia bisa melakukan apapun yang dia suka.
Sesampainya di rumah Austin, Ainsley cepat-cepat masuk ke kamar mencari ponsel lamanya. Ia lebih suka menggunakan ponsel lama itu. Menurutnya lebih merakyat dan ada banyak kontak yang bisa ia hubungi. Teman-temannya tentu saja.
Ketika menemukan ponselnya, Ainsley langsung memeriksa. Benar saja, ada banyak panggilan tidak terjawab. Ada panggilan video dari papanya juga, dan... Alfa?
Dahi gadis itu berkerut samar. Alfa menelponnya? Kenapa? Bahkan ada dua belas kali panggilan masuk dari Alfa, seniornya itu.
Ainsley memilih duduk di atas ranjang. Pikirannya masih terus berpikir keras kenapa Alfa menelponnya. Apa yang penting? Tapi...
Gadis itu menggigit bibirnya lirih. Ingat, kau sudah menikah Ainsley. Kau harus melupakan seniormu itu. Lelaki itu juga sudah punya tunangan. ucap Ainsley dalam pikirannya. Ia sadar kalau hubungannya dan Alfa sudah tidak mungkin. Tapi, bagaimana kalau sebenarnya Alfa juga menyukainya? Bukankah cintanya tidak bertepuk sebelah tangan?
Ainsley menggeleng. Ya ampun, ada apa dengannya? Ia harus berhenti memikirkan Alfa mulai sekarang.
melaknat pelakor tapi malah begitu membela pebinor bahkan pebinor melecehkan istri orang dan membuat rumah tangga orang salah paham dan nyaris hancur tetap saja pebinor dibela dan diperlakukan sangat2 lembut (ini contoh pemikiran wanita murahan
dan novel mu adalah cerminan pola pikirmu dan karakter mu