Lintang Anastasya, gadis yang bekerja sebagai karyawan itu terpaksa menikah dengan Yudha Anggara atas desakan anak Yudha yang bernama Lion Anggara.
Yudha yang berstatus duda sangat mencintai Lintang yang mengurus anaknya dengan baik dan mau menjadi istrinya. Meskipun gadis itu terus mengutarakan kebenciannya pada sang suami, tak menyurutkan cinta Yudha yang sangat besar.
Kenapa Lintang sangat membenci Yudha?
Ada apa di masa lalu mereka?
Apakah Yudha mampu meluluhkan hati Lintang yang sekeras batu dengan cinta tulus yang ia miliki?
Simak selengkapnya hanya di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Kalah telak
Pak Juli tak menyerah begitu saja. Ia mengikuti kemana Lintang pergi, baginya saat ini putrinya itu pun salah satu jalan mempermudah dirinya bisa bertemu dengan Yudha.
"Lintang, maafkan ayah. Seharusnya ayah tidak meninggalkan kalian." Terus bergumam merutuki penyesalan yang pernah dilakukan.
Sekilas bayangan bu Fatimah saat tersenyum membuat dada pak Juli sesak. Wanita yang sudah menyerahkan cinta dan masa muda untuknya itu harus mengalami kepahitan hidup yang tragis. Kebaikan yang tulus dibalas dengan sebuah penghianatan yang menyakitkan. Sedemikian rupa pak Juli telah menghancurkan masa depan Lintang dan Bu Fatimah. Menelantarkan mereka disaat butuh seseorang yang seharusnya melindungi.
Mobil pak Juli berhenti di depan sebuah cafe. Matanya terus berkaca penuh sesal. Sesekali cairan bening itu lolos membasahi pipi kokohnya. Menatap nanar punggung Lintang yang berlalu melewati pintu.
"Ayah memang tidak berguna, Lintang."
Mengusap air matanya lalu membuka pintu mobil. Bagaimanapun juga ia harus berbicara dengan Lintang. Meminta maaf atas apa yang pernah diperbuat. Memperbaiki hubungan yang sudah lama terkoyak.
Pak Juli mengedarkan pandangannya. Menyusuri setiap pengunjung cafe yang duduk sembari menikmati hidangan. Matanya berhenti pada sosok gadis yang tersenyum. Dia adalah Lintang, wajahnya tampak ceria tanpa beban.
Sudah lima tahun ia hidup di atas penderitaan putri pertama. Tanpa sadar, bocah yang dulu manja dengan segala tingkah konyolnya kini sudah menjadi gadis dewasa yang sangat cantik. Sebentar lagi akan menjadi istri dari orang yang sangat tersohor.
"Kamu pantas membenciku, Nak. Aku memang tidak berguna." Untuk yang kesekian kali, hati Pak Juli tersayat. Tak bisa membayangkan bagaimana nasib Lintang setelah dirinya pergi.
Tak mau membuang waktu, Pak Juli langsung menghampiri Lintang yang duduk di bagian pojok.
"Lintang…"
Suara berat pak Juli sukses meredupkan senyum yang dari tadi menghiasi bibir Lintang.
Tak hanya Lintang, Gita pun ikut menoleh ke arah sumber suara.
Itu kan ayahnya Lintang.
Gita kembali menatap sang sahabat yang menunduk sambil mengaduk-aduk latte di depannya. Ia tahu jika Lintang sangat membenci ayahnya, bahkan beberapa kali gadis itu bercerita jika dia tidak ingin bertemu lagi dengan pak Juli.
"Lintang, bicaralah dengan ayah kamu, aku akan menunggumu di depan."
Lintang hanya mengangguk kecil. Meskipun ia masih sangat kecewa, setidaknya memberi kesempatan pada pria itu.
Setelah Gita pindah ke tempat lain, Pak Juli duduk di depan Lintang. Menatap cincin berlian yang tersemat di jari manis gadis itu. Meyakini cincin itu pemberian Yudha. Sebab, Lintang tak mungkin bisa membeli barang berharga dengan yang gajinya sebgai karyawan yang pastinya sangat kecil.
Beberapa menit kemudian, pak Juli terdengar menghela napas panjang.
"Maafkan ayah," ucap Pak Juli mengawali pembicaraan, entah mau dimulai dari mana, ia pun bingung mengingat kesalahan yang sangat besar.
Udara di ruangan yang dipenuhi ac itu mulai panas. Sungguh saat ini Lintang tidak ingin berdamai dengan sekitar hingga keberadaan ayahnya membuatnya kesal.
"Sekarang Ayah minta maaf, lalu bilang kalau ayah waktu itu khilaf sudah meninggalkan aku dan ibu, basi. Semua laki-laki pasti akan mengatakan seperti itu jika mereka melakukan kesalahan yang sangat fatal," tebak Lintang dengan bibir bergetar.
Dari lubuk hati ia ingin sekali memeluk dan membagi keluh kesah pada pria itu. Namun, bayangan ibunya lah yang memaksa dirinya untuk menjadi sekeras batu.
Lintang menahan air matanya yang hampir luruh. Ia tidak ingin menunjukkan sisi kerapuhan di depan orang yang membuat hidupnya menderita.
Hening lagi
Pak Juli sudah kehabisan kata-kata untuk mengutarakan isi hatinya. Pasalnya, Lintang tak mungkin begitu saja menerima apa yang dibicarakan.
"Ayah cuma mau menanyakan alamat kamu dan Yudha saat akad nikah." Pak Juli mengalihkan pembicaraan. Ia tak mau merusak suasana hati Lintang di hari bahagianya.
"Aku tidak tahu, tanya saja sama mas Yudha," jawab Lintang dengan cepat.
"Tapi Yudha tidak mau bertemu dengan ayah," timpal Pak Juli. Mengingat perjuangannya yang seharian ini hanya terbuang sia-sia.
"Kalau begitu nanti aku akan tanya sama dia, sekarang ayah pergi, aku tidak ingin melihat ayah lagi."
Lintang menjawab dengan ketus. Namun, itu tak membuat pak Juli jera. Nyatanya, pria itu tetap tak beranjak dari duduknya. Malah menatap seragam yang dipakai Lintang lalu menunduk.
"Kenapa kamu tidak meminta jabatan tinggi. Yudha calon suami kamu, tapi kamu malah jadi karyawan. Bukankah ini keterlaluan?"
Lintang menggebrak meja dengan keras hingga beberapa orang menatapnya dengan tatapan aneh.
"Aku menikah dengan mas Yudha, bukan karena ingin memiliki hartanya. Dan juga tidak ingin kedudukan yang tinggi. Tapi cinta yang tulus, yang tidak pernah ayah berikan pada ibu."
Ayah Lintang menunduk malu dengan ucapan Lintang. Ia benar-benar kalah telak dari putrinya.
Ponsel yang ada di tas Lintang berdering. Ia segera merogoh ponselnya.
Mas Yudha, ngapain dia menghubungiku? tanya Lintang dalam hati. Ia menggeser lencana hijau tanda menerima.
Suara tangis dari balik layar menyapa. Lintang paham itu adalah suara Lion.
"Sayang, kenapa nangis?" tanya Lintang antusias.
Hatinya ikut pilu saat bocah itu menitihkan air mata.
"Mama, aku kangen, cepat pulang," ucap Lion terputus-putus.
"Iya, Mama pulang, tunggu mama."
"Jangan buru-buru. Fokus saat nyetir. Jangan pikirkan apapun, Lion baik-baik saja," pesan Yudha.
Setelah sambungan terputus, Lintang beranjak dari duduknya, tak peduli dengan ayahnya, ia langsung berlalu menghampiri Gita.
"Git, aku harus pulang, ada yang penting," pamit Lintang sembari meski jaket.
"Hati-hati, bye. Sampai ketemu besok."
Baru saja membuka pintu, Lintang menabrak seseorang dari arah berlawanan. Ponsel yang ada di tangannya terjatuh, begitu juga ponsel orang yang ada di depannya.
"Maaf, Mbak. Saya nggak lihat."
Lintang membungkuk, memungut ponselnya yang terbelah menjadi dua. Ia berdecak kesal saat memeriksa benda pipihnya yang ternyata mati.
"Lain kali kalau jalan pakai mata. Kamu tahu berapa harga hp saya?" pekik wanita yang ada di depan Lintang. Membolak-balikkan ponselnya yang masih utuh.
Lintang melirik ke arah ponsel wanita itu yang jelas-jelas masih menyala.
"Nggak tahu," jawab Lintang membaca merek yang memang terkenal dengan harganya yang fantastis.
"Gaji kamu satu tahun tidak mungkin cukup untuk membeli ini." Memamerkan hp tepat di depan wajah Lintang yang membuat sang empu tersenyum.
"Maaf ya, Mbak. Saya nggak ada niat buat beli hp mahal, untuk apa punya barang mewah, kalau hanya dipamerkan, tidak ada gunanya juga."
Lintang mengucap dengan percaya diri lalu pergi saat wajah mungil Lion melintas di otaknya. Mengabaikan wanita yang tak dikenal itu berteriak memaki dirinya.
🤡 lawak kali kau thor