Hilya Nadhira, ia tidak pernah menyangka bahwa kebaikannya menolong seorang pria berakhir menjadi sebuah hubungan pernikahan.
Pria yang jelas tidak diketahui asal usulnya bahkan kehilangan ingatannya itu, kini hidup satu atap dengannya dengan status suami.
" Gimana kalau dia udah inget dan pergi meninggalkanmu, bukannya kamu akan jadi janda nduk?"
" Ndak apa Bu'e, bukankah itu hanya sekedar status. Hilya ndak pernah berpikir jauh. Jika memang Mas udah inget dan mau pergi itu hak dia."
Siapa sebenarnya pria yang jadi suami Hilya ini?
Mengapa dia bisa hilang ingatan? Dan apakah benar dia akan meninggalkan Hilya jika ingatannya sudah kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
STOK 32: Satu Langkah Tertinggal
" Bangsaat, kamu bener-bener nggak becus kerja hah. Suruh matiin orang, orang itu masih hidup. Dan sekarang lukisan ini, lukisan ini palsu bajingaan!" Kali ini amarah Santiago sungguh tidak tertahankan lagi. Pelmo hanya bisa diam, karena ia yakin apapun yang keluar dari mulutnya pasti akan salah dna berakhir tidak baik. Sudah untung tangan Santiago tidak melayang untuk menghajar dirinya.
" Sekarang aku nggak mau tahu, cari dimana lukisan itu berada dan bawa sini, secepatnya!"
" Baik Tuan."
Sraaak
Tap tap tap
Diluar ruangan Pelmo hanya bisa mengusap wajahnya kasar. Dia mana tahu lukisan itu asli apa bukan. Karena lukisan yang ia dapatkan waktu itu sungguhan seperti yang aslinya.
Mungkin ini lah jawaban mengapa tempat itu sama sekali tidak dijaga. Secara logika sangat tidak mungkin bukan membiarkan galeri milik pelukis terkenal kosong tanpa adanya penjagaan. Walaupun di dalamnya hanya terdapat lukisan setengah jadi. Dan yang membuat TBGS itu jelas replika adalah penempatannya. Lukisan yang sering dipamerkan di beberapa pemeran seni, tidak mungkin diletakkan di galeri yang terkesan terabaikan.
" Haah, sebenernya aku sih tahu saat ini dimana TBGS yang asli. Tapi jelas bukan perkara mudah untuk mendapatkannya."
Kantor Raka Pittore, itu adalah tempat yang jelas dimana TBGS berada. Karena hanya tempat itu lah letak galeri resmi dari Raka Pittore dimana sang pelukis memajang mahakaryanya.
Meskipun galeri tersebut bisa dikunjungi oleh siapa saja karena dibuka untuk umum namun itu malah menjadi titik lemah bagi Pelmo. Pasalnya penjagaannya pasti sangat ketat, dan sistem keamanannya juga demikian.
Bagi dirinya yang bukan ahli dalam bidang seperti itu karena tugas utamanya adalah asisten pribadi Santiago untuk menyelesaikan perihal urusan perusahaan, maka dia jelas meras kesulitan. Satu-satu cara adlah dengan menyewa orang untuk melakukan tugas itu.
" Dimana aku dapat orang yang bisa melakukan itu?" keluh pria itu. Sepertinya dia sudah lelah mengikuti kemauan Santiago. Terlebih tuannya itu sungguh sangat terobsesi dengan TBGS sampai melupakan pekerjaannya yang ada di Singapure. " sebenernya buat aku kayak gini, aku yang pontang-panting ngurus sana sini sedangkan dia dan adik perempuannya itu nggak ngerti sama sekali."
Sebenarnya satu langkah kembali tertinggal bagi Pelmo. Saat ini lukisan The beautiful Golden Sunrise sudah dibawa pulang oleh Tara. Ia meletakkan lukisan itu di kamarnya. hal tersebut membuat Kaluna sedikit heran. Semenjak memiliki galeri yang terpisah dari rumah, Tara tidak pernah membawa lukisannya.
" Tumben bawa lukisan pulang?"
" Mau diamati Bund."
Kaluna mengernyitkan keningnya, ia kadang suka tidak mengerti dengan si sulung itu. Tapi mengingat dia sudah dewasa dan menjadi seroang suami maka Kaluna pun memilih angkat tangan untuk mencoba mengerti. Sekarang itu tugas istrinya, seperti itulah yang dipikirkan oleh Kaluna.
Setelah meletakkan lukisan itu di tempatnya, Tara merebahkan tubuhnya sejenak. Ia belum lihat istrinya sedari tadi masuk rumah. Rupanya Hilya berada di kamar mandi. terlihat dia keluar dari sana dengan tubuh yang masih sedikit basah karena baru selesai mandi.
" Mas, udah pulang dari tadi?"
" Nggak, baru aja. Maaf ya aku ninggalin kamu seharian."
" Ndak masalah, melakukan banyak kegiatan sama Bunda asik juga kok. Nggak sadar udah sore aja."
Tara merasa lega mendengar ucapan Hilya. Ia bersyukur bahwa Hilya dan ibunya mudah dekat sepeti itu. Ini sungguh keputusan yang tepat untuk membawa Hilya kemari. Tapi meskipun begitu, Tara tetap meminta Nayaka untuk mengerahkan anak buahnya. Mengingat apa yang terjadi padanya, besar kemungkinan bahwa anak dari Romario akan mengincar keluarganya.
Menyembunyikan Hilya, ini sedikit over protektif untuk saat ini dan juga sedikit egois, tapi memang untuk sekarang Hilya belum boleh ketahuan publik karena hal yang menimpanya.
Orang itu menginginkan nyawanya hanya karena lukisan, jadi bisa jadi dia pun akan menggunakan cara licik lainnya untuk mencapai tujuannya.
" Mas, apa ada maslaah?"
" Nggak sih, cuma itu. Coba lihat lukisan itu, apa kamu merasa ada sesuatu yang lain dari lukisan itu?"
Hilya duduk di sebelah Tara. Dan agaknya ia lupa bahwa saat ini dirinya masih belum menggunakan pakaian dan hanya memakai bath robe.
Saking fokusnya memerhatikan lukisan yang terpajang di dinding, Hilya tidak sadar saat Tara sudah melingkarkan tangan diperutnya. Hilya baru sadar saat nafas Tara berhembus di lehernya.
" Mas!"
" Eii, kenapa kaget gitu. Haah, aku agak capek jadi biarkan seperti ini sebentar."
Gluph!
Hilya menelan saliva nya dengan susah payah, terlebih tangan Tara saat ini mengusap lembut perutnya. Meski terhalang kain, tapi tetap saja Hilya bisa merasakan dengan jelas. Sentuhan tangan itu membuat tubuhnya menegang. Tapi dia membuat tubuhnya lebih santai. Jika memang suaminya menginginkan haknya sekarang juga, maka ia akan siap untuk memberikannya.
" Mas, apa Mas menginginkannya?"
" Apa boleh?"
Tara seketika itu melepaskan belitan tangannya dari perut Hilya, ia lalu melihat wajah istrinya dengan seksama, sekaan mencari sebuah kepastian dari apa yang istrinya ucapkan tadi.
Jujur, melihat Hilya hanya menggunakan handuk berbentuk jubah membuat hasratnya bangkit. Apalagi kulit mulus milik Hilya masih sedikit basah, itu nampak seksi dan menggoda dimatanya. Bagian dada yang terbuka sedikit saat Hilya duduk, semakin membuat dirinya ingin menerkamnya.
" Jika memang begitu, maka aku nggak akan nolak."
Tara memegang dagu Hilya lalu mencium dan langung melumat bibir itu. Rasa manis bercampur segar karena Hilya baru saja menggosok giginya membuat Tara semakin senang. Sambil terus memagut bibir, tangan Tara menurunkan handuk jubah itu hingga bagian atas milik Hilya terlihat sempurna di matanya.
" Cantik," ucap Tara. Pemandangan itu baginya sungguh sangat luar biasa. Apalagi saat ini pencahayaan lebih terang dari pada di penginapan waktu itu, jadi dia bisa melihat istrinya dengan sangat jelas.
" Mas, jangan lihatin begitu."
" Ya? Hehehe tahu nggak, ini, ini dan ini adalah milikku sepenuhnya. Semua ini milikku dan hanya untukku. Dan ini, milikmu, hanya kamu yang boleh menyentuhnya dan memilikinya."
Hilya membelalak saat tangannya dituntun untuk menyentuh bagian utama milik Tara. Ya, ia tentu bukanlah bodoh bahwa alat reproduksi milik pria akan menegang dan juga mengeras jika tengah berhasrat. Tapi ini cukup membuat Hilya kaget.
" Jika siap, maka kamu akan merasakan ini."
" Ya?"
Wajah terkejut Hilya membuat Tara semakin gemas. Sebenarnya ia sudah menahan inginnya untuk nanti malam, namun saat ini sudah tidak bisa lagi. Akhirnya Tara mengangkat tubuh Hilya dan merebahkan dengan benar di atas ranjang. Kini ia melepaskan semua handuk yang tadi masih menyangkut, ia juga melepaskan pakaiannya sendiri sehingga keduanya sama-sama sudah tidak mengenakan kain.
Tara menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka. Secara perlahan ia mencumbui Hilya, mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Meskipun masih malu tapi Hilya jauh lebih merasa tenang dari pada saat pertama kalinya.
" Aku adalah istri Mas Tara, maka apa yang saat ini kulakukan bersamanya merupakan bagian dari ibadah kami. Semoga keturunan yang baik hadir diantara kami, Aamiin."
TBC
banyak typo 🤭