Aozora Jelitha, dikhianati oleh calon suaminya yang ternyata berselingkuh dengan adiknya sendiri. Padahal hari pernikahan mereka tinggal menunggu hari.
Sudah gagal menikah, ia juga dipaksa oleh ayah dan ibu tirinya, untuk membayar utang-utang papanya dengan menikahi pria yang koma,dan kalaupun bangun dari koma bisa dipastikan akan lumpuh. Kalau dia tidak mau, perusahaan yang merupakan peninggalan almarhum mamanya akan bangkrut. Pria itu adalah Arsenio Reymond Pratama. Ia pewaris perusahaan besar yang mengalami koma dan lumpuh karena sebuah kecelakaan.Karena pria itu koma, paman atau adik dari papanya Arsenio beserta putranya yang ternyata mantan dari Aozora, berusaha untuk mengambil alih perusahaan.Ternyata rencana mereka tidak berjalan mulus, karena tiba-tiba Aozora mengambil alih kepemimpinan untuk menggantikan Arsenio suaminya yang koma. Selama memimpin perusahaan, Aozora selalu mendapatkan bantuan, yang entah dari mana asalnya.
Siapakah sosok yang membantu Aozora?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosma Sri Dewi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dipaksa untuk menikah
"Aku tidak mau!" terdengar penolakan tegas dari mulut seorang wanita, yang kecantikannya tersembunyi di balik penampilannya yang sederhana.
Dia adalah Aozora Jelitha, gadis cantik yang memiliki rambut lurus, hitam legam dan panjang. Memiliki bentuk tubuh yang bisa dikatakan sangat diidam-idamkan oleh kebanyakan kaum wanita. Ia juga memiliki kulit yang putih, hidung mancung dan mata besar yang indah.
Wanita cantik itu sekarang dipaksa untuk menikah dengan Arsenio Reymond, seorang pria yang merupakan pewaris dari sebuah perusahaan besar. Namun, pria itu kini sedang koma diakibatkan kecelakaan yang dia alami dan kalaupun nantinya bangun dari koma, disinyalir pria itu akan mengalami kelumpuhan.
"Kamu tidak bisa menolak. Bagaimanapun kamu harus membayar utang-utang papamu yang nilainya tidaklah sedikit. Kalau kamu tetap menolak, perusahaan akan bangkrut." tegas Dona. Seorang wanita paruh baya ,yang di usianya sudah hampir mencapai setengah abad, tapi tetap tidak bisa menutupi kecantikannya. Wanita itu tidak lain ibu tiri Aozora.
"Hei, kenapa harus aku,Tante? kenapa bukan Tsania saja? Dia juga kan anaknya Papa."
Ya, sudah 10 tahun papanya Aozora menikah dengan ibu tirinya itu, tapi sekalipun Aozora tidak pernah memanggil wanita itu dengan panggilan mama karena baginya wanita yang pantas dia panggil mama hanyalah almarhumah wanita yang sudah melahirkannya dan yang bakal akan jadi mertuanya nanti.
"Kalian beda. Tsania itu memang anak papamu, tapi dia lahir dari rahimku. Sedangkan kamu ... kamu itu lahir dari wanita yang sudah dimakan cacing itu," sahut Dona, dengan nada dan raut wajah sinis.
"Jaga ucapanmu, Tante! Jangan pernah bawa-bawa mamaku dalam hal apapun! karena mulutmu yang kotor itu sama sekali tidak pantas!" seperti biasa, wajah Aozora akan berubah merah karena marah. Wanita berparas cantik itu tidak pernah suka kalau wanita paruh baya yang merupakan istri papanya itu, membawa-bawa almarhum mamanya.
"Kamu yang harus jaga ucapanmu, Zora!" seorang pria paruh baya yang dari tadi diam saja buka suara membentak Auzora. Dialah Aditya, pria yang merupakan papa dari wanita yang sering dipanggil Zora itu
"Kenapa? Papa mau membela wanita ini? Bukannya yang aku katakan tadi benar? Dia sama sekali tidak pantas__"
"Aozora!" suara Aditya meninggi, memotong ucapan putri sulungnya.
"Yang sopan kalau bicara pada orang tua. Bagaimanapun dia itu istri papa, dan berarti mamamu juga. Kamu seperti tidak pernah diajari sopan santun saja!" lanjut Aditya lagi, masih dengan intonasi suara yang sama.
Azora berdecih. Kedua sudut bibirnya melengkung, membentuk senyum sinis.
"Pertama ... wanita ini bukanlah mamaku. Dia itu hanya seorang perebut yang sekarang sudah menjadi istri papa. Dari awal aku juga sudah dengan tegas mengatakan kalau sampai kapanpun aku tidak akan memanggil dia mama. Kedua ... tentu saja aku diajari oleh mamaku sopan santun. Hanya saja, aku tahu siapa yang layak mendapatkan sikap sopanku. Dan menurut papa, apa wanita ini pantas? wanita ini sama sekali tidak layak, Pa." tutur Aozora dengan mata yang melirik sinis ke arah Dona.
"Dan kamu ... kamu yang katanya papaku, apa emang pernah mengajarkan sesuatu padaku? tidak kan? Jadi stop bicara tentang kesopanan di depanku!" Sambungnya lagi.
Aditya terdiam seribu bahasa. Pria itu benar-benar terkesiap kaget, melihat putri yang selama ini diam dan patuh bisa melontarkan kata-kata pedas seperti itu.
"Sayang, kenapa kamu jadi diam? Harusnya kamu bertindak memarahi anak tidak tahu diri ini. Dia itu sudah menghinaku, Mas!" Dona memekik, seperti biasa meminta suaminya itu untuk memarahi Aozora.
"Tahu nih, Pa, yang tegas dong sama Kak Zora! Masa diam saja mama dihina," kali ini Tsania yang merupakan adik dari Aozora, buka suara.
"Cih, drama terus, drama terus! Gak cape ya, akting terus?" sindir Aozora, dengan raut wajah sinis yang sama sekali tidak tanggal dari wajahnya.
"Diam!" bentak Dona.
"Kamu emang anak yang tidak tahu diri. Dengar ... aku tidak peduli kamu mau panggil mama ataupun tidak, karena aku sama sekali tidak berharap. Aku juga tidak sudi kamu panggil mama. Sekarang yang jelas kamu tidak boleh membantah lagi. Mau tidak mau, kamu harus tetap mau menikah dengan Arsenio!" tegas Dona, tak terbantahkan.
"Aku tetap tidak mau!" Aozora tidak kalah tegas.
"Kamu harus tetap mau, Nak. Kalau tidak perusahaan mama kamu akan hancur. Apa kamu mau itu terjadi?" Aditya kembali buka suara. Dia berharap dengan membawa-bawa nama almarhum istrinya, putrinya mau berubah pikiran dan bersedia memenuhi permintaan mereka.
"Kenapa harus aku? Kalian yang berhutang banyak kan? Kalau demi kemajuan perusahaan mama, aku bisa maklum. Lah ini, semuanya hanya untuk foya-foya istri dan anak harammu ini!" Aozora mengangkat jari telunjuknya menunjuk ke arah Tsania.
"Aozora, stop mengatakan Tsania anak haram!" bentak Aditya dengan suara menggelegar.
"Kalau bukan anak haram mau disebut apa? Anak hasil Zinah, bukannya itu sama saja ya!"
Plak
Tangan Aditya terayun dan mendarat keras di pipi mulus Aozora. Tentu saja yang terjadi barusan membuat Dona dan Tsania tersenyum puas.
"Papa! Papa memukulku?" mata Aozora membesar. Wanita berparas cantik itu, terkesiap kaget, karena baru kali ini, pria yang dia panggil papa itu melayangkan pukulan padanya.
"Maaf, papa refleks!" seketika Aditya tersadar akan apa yang baru saja dia lakukan.
"Untuk apa Papa minta maaf? Dia memang pantas mendapatkan tamparan itu," cetus Tsania sembari menatap sinis ke arah Aozora.
"Apanya yang pantas? aku sama sekali tidak bicara sembarangan kan? Apa yang aku katakan tadi semuanya benar. Kamu itu lahir atas perzinahan yang dilakukan papaku dan mamamu di belakang mamaku!" ucap Aozora dengan napas memburu.
"Aozora, berhenti papa bilang berhenti! Jangan buat papa melakukan hal yang lebih dari tamparan. Kamu, selama ini papa diamkan semakin melunjak ya! Sekarang intinya kamu harus tetap mau menikah dengan Arsenio!" bentak Aditya, dengan tatapan yang sangat tajam bak sebilah belati yang siap menghujam jantung.
"Aku tetap tidak mau! kalau ini demi mempertahankan perusahaan mama, kenapa harus aku yang berkorban? Tsania ada, dan dia juga anak Papa!" lagi-lagi Aozora menolak, tegas.
"Hei, itu perusahaan mamamu, kenapa jadi anakku yang berkorban?" Dona kembali buka suara.
"Tante lupa, kalau perusahaan itu hampir bangkrut karena ulah kalian? Kalian berdua selalu menggunakan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi. Jadi setidaknya, kalian harus bertanggung jawab!" kali ini Aozora benar-benar tidak mau diintimidasi lagi, seperti yang dulu-dulu.
"Peduli apa dengan tanggung jawab? Yang jelas, aku tidak mau anakku menikah dengan pria yang kita tidak tahu kapan bisa bangun itu? Apalagi kalaupun dia bangun katanya akan lumpuh. Enak saja, anakku yang berkorban demi mempertahankan perusahaan mamamu!" tegas Dona.
"Jangan lupa ,Tante, kalian memang sepatutnya bertanggung jawab. Selain karena kalian menghabiskan uang perusahaan, kamu dan papa juga harus mempertanggung jawabkan kematian mamaku. Karena perselingkuhan kalian yang bahkan sampai mempunyai anak, mamaku jadi depresi dan sakit-sakitan. Ini semua salah kalian. Jadi, setidaknya Tante meminta Tsania untuk menikah dengan pria itu, sebagai bentuk pertanggungjawaban!" tatapan Aozora sangat tajam, menatap Dona, wanita yang sangat dibencinya dari dulu.
"Aku bilang tidak ya tidak! Kalau kamu tidak mau, terserah. Tapi, kamu harus siap menerima akibatnya. Perusahaan peninggalan mamamu itu akan hancur. Sedangkan aku ... aku tidak akan peduli mau perusahaan itu itu hancur atau tidak!" sudut bibir Dona naik sedikit ke atas membentuk senyuman sinis.
"Nak, tolong mau ya! Kamu harus tolong papamu ini, demi perusahaan mamamu." kali ini, Aditya berucap dengan intonasi suara yang rendah.
"Aku tidak mau, Pa!" Azora tetap bertahan pada pendiriannya. "Lagian, Papa tahu sendiri, pernikahanku dan Dimas tinggal menunggu hari. Jadi, tidak bisa dibatalkan begitu saja. Itu sama saja akan mempermalukan keluarga Dimas, Pa!" Ya, selain karena merasa bukan dirinya yang harusnya bertanggung jawab, Aozora juga sudah punya kekasih dan dalam seminggu ini memang akan melangsungkan pernikahan.
"Tenang saja, aku akan menggantikan kamu, menikah dengan Dimas," celetuk Tsania, tersenyum menyeringai.
"Punya hak apa kamu berkata seperti itu? Apa kamu kira, Dimas akan mau menikah denganmu?" kemarahan Aozora mulai terpancing lagi.
"Siapa bilang, dia tidak mau? Aku dan dia itu sudah saling mencintai. Tanpa kamu ketahui, kami sudah menjalin hubungan di belakangmu,"
Mata Aozora membesar sempurna, terkesiap kaget. Namun, itu hanya sebentar, karena detik berikutnya ia berdecak sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha untuk tidak percaya.
"Kamu kira aku akan percaya? Itu sama sekali tidak mungkin, karena Dimas tidak mungkin bisa menyukai wanita murahan seperti kamu. Apalagi hubungan kami sudah sangat lama dan bahkan sudah akan menikah," ucap Aozora.
Tsania sontak tertawa, meremehkan.
"Kamu tidak percaya? Aku bisa buktikan, kakakku tersayang. Kalian memang sudah lama menjalin hubungan, tapi Dimas, bilang kalau kamu itu membosankan. Dia lebih nyaman denganku, yang bisa memberikan apa yang dia mau," senyum sinis sama sekali tidak pernah tanggal dari bibir Tsania.
"Jangan mengada-ngada! Aku tidak akan percaya!"
"Baiklah, aku akan buktikan!" Tsania meraih ponselnya, lalu menunjukkan layar ponselnya ke arah Aozora.
"Kamu lihat dengan jelas, ini nomor Dimas kan?" Aozora membaca nama 'Semestaku' yang tertera di layar ponsel dan ia melihat nomor itu memang benar nomor milik Dimas, calon suaminya.
"Aku akan hubungi dia, dan kamu dengar sendiri ya!" Tsania menekan tombol memanggil dan dengan sengaja dia juga menekan tombol speaker.
"Iya, Sayang?" terdengar suara pria yang memang sangat familiar di telinga Aozora.
tbc