Dipaksa pulang karena suatu perintah yang tak dapat diganggu gugat.
ya itulah yang saat ini terjadi padaku.
seharusnya aku masih berada dipesantren, tempat aku belajar.
tapi telfon hari itu mengagetkanku
takbisa kuelak walaupun Abah kiyai juga sedikit berat mengizinkan.
namun memang telfon ayah yang mengatas namakan mbah kakung tak dapat dibantah.
Apalagi mbah kakung sendiri guru abah yai semakin tak dapat lagi aku tuk mengelak pulang.
----------------------------------
"entah apa masalahmu yang mengakibatkan akhirnya kita berdua disini. tapi aku berharap kau tak ada niat sekali pun untuk menghalangiku menggapai cita2ku" kataku tegas. takada sama sekali raut takut yang tampak diwajahku
masabodo dengan adab kali ini. tapi rasanya benar2 membuatku ingin melenyapkan seonggok manusia didepanku ini.
" hei nona, bukankah seharusnya anda tidak boleh meninggikan suara anda kepada saya. yang nota bene sekarang telah berhak atas anda" katanya tak mau kalah dengan raut wajah yang entah lah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsa Salsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
BAB 23
( Pov Dipta )
‘Tuhan semoga ini memang kenyataan’.
Batinku tak tenang. Tapi aku tak bisa berbuat apa- apa.
Kami mulai memasuki area asrama saat malam sudah mulai larut. Beberapa kali aku pernah pergi ke pondok pesantren tapi baru kali ini di dalam hidupku aku memasuki area asrama para santri. Pun sepertinya hal yang sama yang dirasakan oleh hampir semua crew. Mereka terlihat sedikit bingung atau entah lah.
Satu minggu kami akan menjadi seperti santri sesungguhnya. Ya sebenarnya tak semenyeramkan itu. Ini adalah waktu kita untuk sedikit beradaptasi dengan tempat ini sebelum akhirnya kita mulai bekerja minggu depan.
Kamar tidur yang bisa menampung sekitar sepuluh anak dengan ranjang tingkat beserta lemari pakaian. Fasilitas yang sama yang kita dapat seperti para santri di tempat ini.
“Apa santri putri juga mendapatkan fasilitas yang sama dengan santri putra kang?”. Tanyaku refleks. Entah mengapa pikiranku masih berpusat pada Aliya. Setelah kejadian bayangan tadi otak ini penuh dengan pertanyaan tentangnya. Apakah tempat dia tidur nyaman. Apakah teman- temannya baik. Atau apakah- apakah yang lain.
“Sama mas, apalagi kalo yang sudah menjadi anak ndhalem dan juga pengurus mereka dapat kamar yang lebih luas sama kasurnya sudah tunggal tidak bertingkat seperti ini”. Jawab kang Ridwan. Dia yang akan menjadi pendamping kami di area pesantren ini.
Malam semakin larut saat aku selesai berbenah dengan barang bawaan yang lumayan banyak. Saat aku memutuskan untuk keluar kamar dibandingkan mengistirahatkan tubuh seperti yang lain. Entah lelah ini sudah hilang entah kemana.
Mungkin sekitar pukul setengah sebelas malam saat aku memberanikan diri berjalan sekitar kamar sendirian. Bukan keheningan yang terasa disaat selarut ini. Tapi suara canda tawa yang terdengar nyaring dari berbagai sisi.
Apakah mereka tak lelah?. Selarut ini baru selesai dengan kegiatan belajar. Dan aku yakin kalau mereka pasti sudah bangun sebelum azan subuh berkumandang. Malam saat kami tidur dalam kamar yang sama dulu dia pun juga seperti itu. Tidur larut entah apa yang sedang dikerjakannya dan juga bangun begitu awal.
Suasana kekeluargaan yang begitu kental terasa. Mereka beruntung walau jauh dari keluarga ada begitu banyak teman yang sudah seperti saudara. Sangat berbeda dengan kehidupan di kota metropolitan tak ada kawan yang benar- benar kawan.
Mereka ada saat kau dibutuhkan. Tapi saat kau butuh hanya ada satu dua orang yang mendekat. Atau malahan tak ada.
Sedangkan disini mereka berperan saling menguatkan satu sama lain. Yah sepertinya akan banyak sekali pelajaran hidup yang akan kudapat di tempat ini. Apakah ini yang membuat mama begitu memaksaku untuk menerima pekerjaan ini. Agar aku lebih banyak belajar tentang bagai mana menyikapi tantangan kehidupan. Dan pasti pelajaran hidup yang begitu banyak inilah yang membuat dia begitu terlihat mempesona. Bukan semata- mata karena parasnya. Tapi juga karena sifatnya. Sikap tenangnya saat berada disituasi yang sulit saat itu. Walau pun pikiran dan hatinya begitu berisik dan meminta untuk diluapkan. Tapi dia berhasil mengeluarkan di saat yang tepat. Saat kami hanya berdua. Saling berbicara dari hati ke hati.
Malam semakin larut. Suara gelak tawa semakin lama semakin berkurang. Aku mulai berjalan kembali menyusuri bangunan- bangunan bertingkat tempat mereka semua beristirahat.
Semoga malam ini dia pun juga akan tidur dengan lelap. Tanpa ada pikiran yang mengganggunya. Semoga apa yang kulihat di ndhalem tadi hanyalah sebuah ilusi.
kalo siang ada jadwal yang lebih penting.
makasih ya dukungannya🙏🙏🫶🫶