Selama tiga tahun menikah, Elena mencintai suaminya sepenuh hati, bahkan ketika dunia menuduhnya mandul.
Namun cinta tak cukup bagi seorang pria yang haus akan "keturunan".
Tanpa sepengetahuannya, suaminya diam-diam tidur dengan wanita lain dan berkata akan menikahinya tanpa mau menceraikan Elena.
Tapi takdir membawanya bertemu dengan Hans Morelli, seorang duda, CEO dengan satu anak laki-laki. Pertemuan yang seharusnya singkat, berubah menjadi titik balik hidup Elena. ketika bocah kecil itu memanggil Elena dengan sebutan;
"Mama."
Mampukah Elena lari dari suaminya dan menemukan takdir baru sebagai seorang ibu yang tidak bisa ia dapatkan saat bersama suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33. PANIK
Hujan baru saja turun ketika Raven Wattson menutup pintu mobilnya dengan keras. Napasnya tersengal. Ia tidak pernah merasa setakut ini seumur hidupnya. Anak dalam kandungan Jessy, itu adalah satu-satunya hal yang membuat Raven bertahan selama ini. Dan kini, melihat Jessy meringis kesakitan sambil memegangi perutnya yang sudah membesar tujuh bulan, seluruh emosinya kacau balau.
Jessy menggeliat di kursi penumpang, tubuhnya melengkung, seolah ada pisau yang menusuk perutnya dari dalam. "Raven ... sakit ... tolong ..."
"Sabar, Jessy. Tahan. Akan membawamu ke rumah sakit secepatnya," kata Raven panik.
Tangan Jessy meraih lengan Raven, memegang erat, kukunya mencakar lengan baju Raven karena rasa sakit yang membuncah.
Raven langsung masuk, menghidupkan mesin, dan hampir menabrak mobil lain di depannya karena buru-buru. "Tahan sebentar lagi! Kita harus ke rumah sakit! Jangan tidur, Jessy!”
Jessy menggigit bibirnya, wajahnya pucat mengerikan. "Raven ... kau tidak akan meninggalkanku, kan? Janji kau meikahiku?"
Raven mengeratkan rahang. Pembicaraan itu, masalah yang membuat mereka bertengkar besar setengah jam lalu, kembali menghantam kepalanya.
"Jessy, bukan saatnya ngomongin itu! Fokus ke napasmu!" suruh Raven.
"Kau bilang kau mencintaiku," suara Jessy bergetar, air matanya menetes, bercampur keringat. "Kau bilang kalau aku memberimu anak, kau bakal menikahiku, Raven."
"Aku tidak pernah bilang begitu." Nada Raven tegas, dingin, seperti biasa.
"Kau bilang! Kau memberi harapan itu!" Jessy menjerit, suaranya setengah histeris karena sakit.
Raven menekan gas lebih dalam, melesat melewati mobil-mobil lain. Lampu merah? Ia menerobos. Klakson di belakangnya? Tidak ia pedulikan. Tangannya bergetar di setir, tapi ia memaksa dirinya tetap fokus.
"Jessy, tolong, berhenti dulu bicara. Pikirkan dulu dirimu dan bayinya. Jangan bahas soal nikah sekarang."
"Kenapa? Karena ayahmu tidak setuju?" Jessy memejamkan mata kuat-kuat, tubuhnya menggigil. "Atau karena Elena? Hah?! Karena kau masih cinta wanita itu?!"
"Jess-"
"Jawab!" Jessy menjerit lagi, suaranya mengerikan karena bercampur rasa sakit yang tak tertahankan.
Raven mengusap wajahnya yang basah oleh keringat dingin. "Diamlah!"
"Kau mau bawa Elena balik ‘kan? Setelah aku melahirkan?" Jessy membuka mata, menatapnya sambil terisak, "Kau mau membuangku."
Raven membentak, "JESSY! Diam!"
Jessy terkejut dan semakin menangis. Perutnya kembali terasa mencengkeram, ia menekan keras bagian bawahnya.
"Aaakh! Raven ... Raven ... tolong aku. Sakit sekali," ringis Jessy.
Hati Raven luruh. Ia benci suara Jessy menangis. Ia benci melihat Jessy kesakitan. Ia benci segala hal yang membuat bayi itu dalam bahaya.
"Jess, tahan ... kita hampir sampai," kata Raven, hanya itu yang sanggup ia katakan sekarang.
Raven menginjak pedal gas, menaikkan kecepatan semampunya menuju rumah sakit.
Lima menit kemudian.
Mobil Raven berhenti mendadak di depan pintu IGD Rumah Sakit St. Maria. Ia keluar dari mobil dengan cepat, menuju pintu penumpang, lalu mengangkat tubuh Jessy yang sudah hampir kehilangan kesadaran.
"Bantu! Tolong! HAMIL TUJUH BULAN! SAKIT PARAH!" suara Raven menggema keras di lobi.
Perawat yang sedang bertugas tersentak dan langsung berlari mendekat. "Taruh dia di atas tandu! Cepat! Hubungi dokter kandungan jaga!"
"Jessy, bertahan." Raven terus memegang tangan Jessy. Tubuh gadis itu terasa dingin.
"Raven ... kalau bayi kita ... ada apa-apa ...." Jessy menangis pelan.
"Tidak akan! Aku tidak akan biarkan itu terjadi!" kata Raven tegas.
Dua perawat mendorong tandu menuju ruang pemeriksaan. Raven ikut berjalan cepat, wajahnya menegang seperti batu. Perawat mencoba menghentikannya di pintu.
"Maaf, Sir, Anda tidak bisa masuk dulu," mata perawat.
"Aku mau lihat keadaannya!" tolak Raven.
"Dokter sedang memeriksa, tolong beri ruang!" balas sang perawat.
Raven hampir mendorong perawat itu, tapi dokter muncul dan berkata, "Mr. Wattson? Silakan tunggu di luar dulu. Kami perlu fokus memeriksa pasien."
Raven mengepalkan tangan. Tidak pernah ada orang yang bisa menolak perintahnya. Ia adalah Raven Wattson, pewaris tunggal keluarga Wattson, pria yang bisa membuat perusahaan runtuh hanya dengan satu kata. Tapi di depan Jessy ... semua kekuasaannya tidak berarti apa-apa.
Dengan napas kasar, Raven akhirnya mundur beberapa langkah. "Tolong bayinya," katanya, suaranya bergetar.
Dokter mengangguk. "Kami akan lakukan yang terbaik."
Pintu tertutup.
Raven berdiri mematung. Tangannya gemetar. Napasnya tidak teratur. Setiap detik seperti menghantam dadanya.
Sepuluh Menit terasa seperti sepuluh tahun.
Raven bolak-balik di depan pintu ruang pemeriksaan. Sepuluh kali. Dua puluh. Lima puluh. Tidak peduli. Ia bahkan tidak mendengar ketika seorang perawat memanggilnya untuk menyerahkan formulir. Ia hanya menulis tanda tangan tanpa melihat apa pun.
Dalam kepalanya hanya ada satu hal.
Bayi itu.
Keturunannya.
Darahnya.
Satu-satunya alasan ia bertahan selama bertahun-tahun menghadapi perang batin antara dirinya dan dunia. Satu-satunya hal yang membuatnya rela terjebak dalam hubungan tak jelas dengan Jessy.
Ia menyukai Jessy? Mungkin.
Ia sayang Jessy? Mungkin.
Ia mencintai Jessy? Tidak.
Jessy hanyalah perempuan yang hadir di saat ia membutuhkan pelarian dari rasa penuh tekanan akan keturunan yang didambanya.
Tapi bayinya ... bayinya adalah masa depannya. Ia akan melakukan apa pun untuk itu.
Pintu terbuka.
Raven langsung maju dua langkah, wajahnya campur aduk antara cemas dan marah. "Dokter! Bagaimana keadaannya?!"
Dokter, wanita berusia sekitar 40 tahun berkacamata itu menatap Raven dengan tenang.
"Pasien dan bayinya aman. Tidak ada kontraksi prematur." Dokter tersenyum sedikit. "Anda boleh tenang."
Raven hampir tidak bisa bernapas. Kakinya lemas sesaat. "A-Aman?"
"Aman. Yang terjadi pada pasien adalah guncangan psikologis dan stres berat. Kondisi emosinya memicunya merasakan sakit seperti kontraksi. Tapi itu bukan kontraksi sebenarnya," jelas sang dokter.
Raven mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Syukurlah."
"Tapi," dokter menambahkan dengan tegas, "pasien tidak boleh stres lagi. Sama sekali. Juga tidak boleh menangis terlalu banyak atau mengalami tekanan emosional berlebih."
Raven menatapnya. "Berarti ...."
"Berarti Anda harus memastikan dia tenang. Jangan membuatnya menangis atau panik. Jika tidak, itu bisa berdampak buruk pada janinnya. Hamil tujuh bulan itu fase sensitif," saran dokter.
Raven menelan ludah. Rasa bersalah menyergap dadanya. "Aku mengerti."
"Silakan masuk. Tapi tolong ... bersikap lembut padanya," ucap sang dokter sebelum meninggalkan Raven.
Raven hanya mengangguk.
Ketika Raven memasuki ruangan, Jessy sedang berbaring lemah, selang infus terpasang di tangannya. Wajahnya pucat, matanya basah karena tadi menangis. Namun ketika melihat Raven, tatapannya penuh campuran rasa sakit dan harapan.
"R-Raven ...," suara Jessy terlalu pelan.
Raven menghampirinya, duduk di kursi dekat tempat tidur. Ia meraih tangan Jessy dan menggenggamnya erat. "Aku di sini."
"Keadaan bayi kita?"Jessy menatapnya dengan mata basah.
"Bayi kita baik-baik saja," Raven menjawab, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Dokter bilang kau stres. Kau terlalu banyak menahan semuanya sendirian."
Jessy menggigit bibirnya, wajahnya menegang karena harapan yang patah. "Kalau kau tidak mau menikahiku ... ya aku memang stres."
"Jessy ...." Raven mengusap rambut di dekat pelipis Jessy. Gerakannya lembut, lebih lembut dari yang pernah ia lakukan sebelumnya. "Aku minta maaf. Aku terbawa emosi. Aku lelah ... pekerjaan, tekanan ayahku, aku kelepasan."
Jessy menatapnya dalam-dalam. "Kau sungguh tidak mau menikahiku karena ayahmu atau karena Elena?"
Raven tidak menjawab.
Dan itu sudah cukup menjadi jawaban untuk Jessy.
Air mata Jessy mengalir pelan. "Apa aku ... hanya alat pemberi keturunan?"
Raven terdiam lama. Sangat lama. Sampai Jessy merasa napasnya berhenti.
Akhirnya, Raven menjawab ... pelan, jujur, dan menyakitkan.
"Aku ... butuh anak ini, Jessy."
Jessy tertawa kecil. Tawa paling pahit yang pernah ia keluarkan. "Aku tahu."
"Dan aku janji," Raven menggenggam tangan Jessy lebih erat, "aku akan menjagamu. Aku akan jaga bayi kita. Aku akan lebih baik setelah ini."
"Lebih baik?" Jessy mengulang.
"Iya," Raven menunduk dan mencium punggung tangan Jessy. "Aku tidak mau kau kesakitan lagi."
Jessy mengangguk pelan, tapi pikirannya tidak setenang wajahnya. Ia tahu Raven tidak pernah berniat menikahinya. Bahkan ketika ia mengandung anak Raven.
Raven mencintai Elena.
Raven menginginkan Elena.
Setelah anak ini lahir ... Raven pasti akan kembali pada Elena.
Jessy tersenyum samar.
Dan saat itulah, muncul satu keputusan dingin di dalam hatinya.
Jika Raven tidak ingin menikahinya karena status dan nama Wattson maka Jessy akan menggunakan nama Wattson. Ia akan menikmati harta Raven, hidup mewah, dan membuat pria itu menyesal telah meremehkannya.
Jessy akan menggunakan Raven, seperti Raven menggunakan dirinya.
"Aku lelah, Raven," Jessy berkata pelan.
"Aku tahu." Raven menyentuh pipi Jessy dengan lembut. "Tidur saja. Aku di sini."
Jessy memejamkan mata. "Kau tidak pergi?"
"Tidak."
"Kau janji?" tanya Jessy lagi.
"Aku janji," jawab Raven.
Jessy membuka mata sedikit. "Tetap di sini sampai aku tertidur?"
"Jessy," Raven menggenggam tangan Jessy dengan dua tangan. "Aku tidak akan meninggalkanmu. Tidak malam ini."
Jessy tersenyum tipis. "Baik."
Detik berlalu.
Jessy akhirnya tertidur, wajahnya masih pucat tapi lebih tenang.
Raven duduk di kursinya, menatap wajah Jessy, lalu menurunkan pandangan pada perut besar Jessy. Ia menyentuhnya pelan.
"Daddy ada di sini. Kau harus kuat, oke? Kau adalah masa depanku," bisik Raven
Ada getaran kecil yang terasa dari dalam. Tendangan lembut.
Ia mencium perut Jessy pelan, tanpa sadar menunjukkan sisi yang tidak pernah ia tunjukkan pada siapa pun.
Tapi setelah beberapa menit, tatapan Raven berubah.
Ia memandang Jessy, lalu memandang perutnya.
Wajahnya berubah serius.
"Setelah kamu lahir, Daddy akan bawa ibumu yang sebenarnya kembali ... Elena," bisiknya pelan tapi yakin. "Dia yang akan jadi istri Daddy dan juga Mamamu."
Malam semakin larut.
Di dalam ruangan rumah sakit yang tenang, dua hati sedang mempersiapkan perang yang berbeda.
Raven ingin anaknya.
Jessy ingin balas dendamnya.
Dan tidak ada satu pun dari mereka yang tahu. Malam itu adalah awal dari segalanya.
kalo aku di depa Hans : Hans itu di gendong bukan malah dituntun woyyy, udah kesakitan itu paokkk, kapan sampe rumah sakit nya kalo di tuntun begitu, biar tambah bingung Hans nyaa 🤣🤣🤣
tenang Hans Raven dah berubah dah kena karma nya dia 😁
bab ini aku terhura 🥹
mirisnya hidup mu.