Kalian Bisa Dukung aku di link ini :
https://saweria.co/KatsumiFerisu
Seorang pengguna roh legendaris, yang sepanjang hidupnya hanya mengenal darah dan pertempuran, akhirnya merasa jenuh dengan peperangan tanpa akhir. Dengan hati yang hancur dan jiwa yang letih, ia memutuskan mengakhiri hidupnya, berharap menemukan kedamaian abadi. Namun, takdir justru mempermainkannya—ia terlahir kembali sebagai Ferisu Von Velmoria, pangeran ketiga Kerajaan Velmoria.
Di dunia di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menjalin kontrak dengan roh, Ferisu justru dikenal sebagai "Pangeran Sampah." Tidak ada roh yang mau menjawab panggilannya. Dipandang sebagai aib keluarga kerajaan, ia menjalani hidup dalam kemalasan dan menerima ejekan tanpa perlawanan.
Tetapi saat ia masuk ke Akademi Astralis, tempat di mana para ahli roh belajar tentang sihir, teknik, dan cara bertarung dengan roh, sebuah tempat terbaik untuk menciptakan para ahli. Di sana Ferisu mengalami serangkaian peristiwa hingga akhirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11 : Sisi Lain Pangeran Sampah
Saat Ferisu bersandar di kursi, ia menghela napas panjang, berusaha mengabaikan beban pikirannya. Ia kemudian melirik ke arah dua penjaga yang berdiri tegak di dekat pintu restoran, terlihat begitu kaku dan waspada.
“Hei, kalian berdua,” panggil Ferisu sembari melambaikan tangan ke arah mereka.
Kedua penjaga itu segera menghampiri, dengan postur hormat. “Ya, Ferisu-sama? Ada yang bisa kami bantu?”
Ferisu menggerakkan tangannya santai, menunjuk meja kosong di sudut ruangan. “Duduklah di sana dan pesan makanan. Ini waktunya makan siang, kalian juga butuh istirahat.”
Kedua penjaga itu tampak ragu. “T-tapi tugas kami adalah melindungi Anda, Ferisu-sama. Kami harus tetap siap siaga.”
Ferisu mendengus kecil sambil melipat tangan di dada. “Kalian terlalu tegang. Ini Kota yang aman, dan tidak ada orang bodoh yang cukup nekat untuk menyerangku di sini. Kalau ada masalah, aku bisa menanganinya sendiri.”
Kedua penjaga itu saling bertukar pandang, sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Kalau begitu, kami akan menerima tawaran Anda. Terima kasih, Ferisu-sama.” Mereka kemudian beranjak ke meja yang kosong dan mulai memesan makanan.
Tak lama setelah itu, Melia muncul dari dapur dengan membawa nampan besar di tangannya. Di atasnya terdapat tiga piring steak spesial yang dihias cantik. Aroma daging panggang yang menggugah selera langsung menyebar di udara, membuat siapa pun merasa lapar.
“Ini dia, steak spesial dari restoran kami!” kata Melia dengan senyum cerah, meletakkan satu per satu piring di depan Ferisu, Licia, dan Erica.
Ferisu mengangguk kecil. “Terima kasih, Melia. Masakanmu seperti biasa terlihat sempurna.”
Melia tersenyum lebar. “Senang Anda menyukainya, Ferisu-sama. Kalau ada yang kurang, jangan ragu memberi tahu saya.”
Licia menatap steak di depannya dengan mata berbinar. “Wow, aromanya luar biasa! Saya tidak sabar mencicipinya,” katanya, segera mengambil pisau dan garpu dengan semangat.
Erica, di sisi lain, hanya mengamati hidangan di depannya dengan ekspresi datar, lalu mencicipinya perlahan. Namun, tatapannya beberapa kali tertuju pada Melia, yang kembali sibuk di dapur.
Ferisu, tanpa banyak bicara, mulai memotong steaknya. Ketika potongan daging itu masuk ke mulutnya, ia memejamkan mata sejenak, menikmati rasa lembut yang berpadu sempurna dengan sausnya. “Seperti biasa, masakan di sini tidak pernah mengecewakan,” gumamnya.
Licia tersenyum cerah melihat ekspresi Ferisu yang puas. “Anda sering ke sini, Ferisu-sama?” tanyanya sambil memotong dagingnya.
“Cukup sering. Tempat ini nyaman, dan masakannya selalu konsisten,” jawab Ferisu santai, suara dan sikapnya terlihat lebih rileks daripada biasanya.
Erica mendengus kecil, memandang Ferisu dengan tatapan tajam. “Aku heran. Dengan selera makan seperti ini, bagaimana kau bisa begitu malas?” katanya dengan nada menyindir.
Ferisu hanya mengangkat bahu tanpa berkata apa-apa, membuat Erica semakin kesal.
Tak lama kemudian, Melia kembali dengan membawa dua piring tambahan untuk para penjaga. “Ini untuk para pengawal Anda, Ferisu-sama. Saya pastikan mereka juga menikmati makan siang yang lezat,” ujarnya dengan senyum hangat.
Para penjaga yang sebelumnya ragu-ragu terlihat sangat senang. “Terima kasih banyak, Nona Melia. Kami sangat menghargainya,” kata salah satu dari mereka, membungkuk hormat.
Suasana makan siang itu perlahan menjadi lebih santai, meski ketegangan samar antara Licia dan Erica tetap terasa di udara. Ferisu, seperti biasa, mencoba mengabaikan segalanya, fokus menikmati makanannya di tengah kekacauan kecil yang mengelilinginya.
.
.
.
Setelah selesai makan, mereka melanjutkan jalan-jalan santai di kota. Namun langkah mereka terhenti ketika melihat kerumunan orang yang tampak ribut di tengah jalan.
"Ada apa di sana?" tanya Ferisu pada seorang wanita tua yang berdiri agak jauh dari kerumunan, tampak penasaran tetapi enggan mendekat.
"Ah, Ferisu-sama," jawab wanita itu dengan sedikit terkejut. "Ada perselisihan antara seorang pandai besi dan pedagang. Masalahnya karena kesalahan pesanan."
"Kesalahan pesanan?" Ferisu mengangkat alis. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Pandai besi itu memesan batu roh api," jawab wanita tua itu.
"Dan yang dibawa oleh pedagang?"
"Batu roh air," lanjut wanita itu dengan nada prihatin.
Ferisu menghela napas, lalu berjalan mendekat ke kerumunan. Orang-orang segera memberi jalan saat melihatnya, membiarkan Ferisu maju ke tengah kerumunan.
Erica dan Licia saling pandang, lalu mengikuti Ferisu dari belakang.
Di tengah kerumunan, seorang pandai besi dengan tubuh kekar berwajah merah tampak beradu argumen sengit dengan seorang pedagang yang mengenakan pakaian rapi.
"Aku sudah jelas bilang batu roh api! Bagaimana kau bisa salah membawa batu roh air?!" teriak pandai besi dengan nada penuh kemarahan.
"Hah?! Kau dengar sendiri, aku sudah bertanya dua kali, dan kau bilang batu roh air!" balas pedagang itu, wajahnya memerah karena kesal.
"Batu roh air? Apa yang bisa dilakukan dengan batu sampah seperti itu?!" Pandai besi itu mendengus tajam. "Tidak ada yang mau memakai pedang dengan atribut air. Itu senjata lemah yang bahkan tak bisa melukai musuh!"
"Hei, jangan seenaknya bicara begitu! Batu roh air sangat berguna kalau kau tahu cara menggunakannya!" Pedagang itu mulai membela barang dagangannya dengan nada tinggi.
Ferisu menepuk tangannya, mencuri perhatian keduanya dan seluruh kerumunan. "Cukup! Apa kalian berdua ingin mempermalukan diri sendiri di depan semua orang?"
Kedua pria itu langsung menoleh ke arah Ferisu. "Ah, Ferisu-sama..." gumam mereka hampir bersamaan.
"Kudengar ada masalah soal pesanan," ujar Ferisu dengan nada datar. "Paman pandai besi, apa sebenarnya yang kau butuhkan?"
"Aku memesan batu roh api untuk membuat pedang sihir beratribut api, juga komponen untuk kompor portabel yang akan dikirimkan ke pengrajin alat sihir," jelas pandai besi dengan wajah masih penuh emosi.
"Lalu kenapa pedang atribut air tidak bisa menggantikan pedang atribut api?" tanya Ferisu.
Pandai besi itu mendengus keras. "Karena pedang atribut air tidak berguna! Pedang air itu lemah, tidak tajam, dan hanya senjata mainan. Siapa yang mau membeli barang seperti itu?!"
Pedagang itu tak mau kalah. "Kau hanya tidak tahu cara menggunakannya! Batu roh air memiliki potensi besar jika digunakan dengan benar!"
"Potensi besar? Omong kosong! Kau hanya mencari alasan atas kesalahanmu!" seru pandai besi dengan nada mengejek.
Ferisu mengangkat tangannya, meminta mereka tenang. "Baiklah. Aku akan membuktikan sesuatu kepada kalian."
Pandai besi tampak bingung, tetapi ia menyerahkan pedang yang sudah dipersiapkan untuk batu roh. "Ini pedangnya. Tapi percuma, batu roh air tidak akan menghasilkan pedang sihir yang kuat!"
Ferisu mengambil pedang itu dan melihatnya dengan saksama. "Beri aku satu batu roh air," ujarnya kepada pedagang.
Pedagang itu menyerahkan sebuah batu kecil berwarna biru dengan senyuman penuh keyakinan. Ferisu memasangnya ke gagang pedang, lalu memejamkan matanya. Semua orang terdiam, terpaku melihat Ferisu menyalurkan energi sihir ke dalam pedang itu.
Dalam sekejap, pedang itu berubah. Dari pedang biasa, bilahnya kini bersinar biru terang dengan pusaran air yang bergerak cepat mulai terbentuk di sekelilingnya. Ujung bilahnya terlihat begitu tajam.
"Lemparkan papan kayu itu," ujar Ferisu tanpa membuka mata.
Pandai besi, meski masih skeptis, mengambil papan kayu dan melemparkannya ke udara.
Ferisu tidak menggerakkan pedangnya. Ia hanya membiarkan pedang itu berdiri tegak, menghadap ke atas. Saat papan kayu itu jatuh mengenai bilah pedang, papan tersebut langsung terbelah sempurna.
"Mustahil!" Pandai besi itu terbelalak, hampir menjatuhkan rahangnya.
Kerumunan bergemuruh, banyak yang berseru tak percaya.
"Bagaimana? Masih menganggap batu roh air tidak berguna?" tanya Ferisu sambil memandang pandai besi dengan senyum kecil penuh makna.
"T-tapi... bagaimana itu bisa begitu tajam?" Pandai besi masih terguncang, mencoba memahami apa yang baru saja dilihatnya.
"Pedang air hanya lemah jika kau tidak tahu cara menggunakannya," jelas Ferisu dengan tenang. "Jika aliran energinya benar air itu akan berputar dengan cepat menyelimuti pedang. Tekanan air yang kuat bisa membentuk sebuah pedang yang sangat tajam, bahkan bisa membelah logam yang lebih kuat dari baja."
Pandai besi itu menunduk dalam-dalam, rasa hormat mulai terlihat di wajahnya. "Terima kasih atas pelajaran berharga ini, Ferisu-sama."
Pedagang itu tampak lega, bahkan tersenyum lebar. "Aku sudah bilang, batu roh air itu punya potensi besar!"
Kerumunan mulai bertepuk tangan, memuji Ferisu yang berhasil menyelesaikan konflik tersebut.
Erica memandang Ferisu dengan tatapan penuh keraguan. "Bagaimana seorang pangeran sampah bisa melakukan ini?" pikirnya.
Sementara itu, Licia tersenyum lembut. "Dia benar-benar luar biasa," gumamnya pelan, semakin terpesona pada Ferisu.
Ferisu menatap pandai besi yang masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Ia lalu mengarahkan pandangannya ke pedagang yang membawa batu roh air. "Paman, berapa banyak batu roh air yang kau miliki sekarang?"
"Saya membawa satu kotak penuh, Ferisu-sama. Sekitar dua puluh batu," jawab pedagang itu cepat, nadanya penuh harapan.
Ferisu mengangguk pelan, lalu memandang pandai besi. "Kalau begitu, untuk kompor portabel, apakah batu roh api benar-benar diperlukan? Tidak bisakah menggunakan batu roh air sebagai alternatif?"
Pandai besi tampak ragu, lalu menjawab dengan nada hati-hati, "Secara teori, mungkin saja, tetapi panas yang dihasilkan batu roh api lebih stabil. Batu roh air… yah, biasanya hanya menghasilkan dingin atau sedikit uap air."
"Itu karena kau menggunakannya dengan cara yang salah," ujar Ferisu, membuat semua orang yang mendengar menatapnya penuh perhatian.
Pandai besi mengernyitkan dahi. "Maksud Anda?"
Ferisu mengambil salah satu batu roh air dari pedagang itu, lalu meletakkannya di atas meja. Ia memejamkan mata lagi, menyalurkan sedikit energi sihir. Dalam sekejap, batu itu mulai berkilau lembut, menghasilkan uap panas yang stabil dan merata.
"Kalau kau menyalurkan energi sihir dengan pengaturan yang tepat, kau bisa membuatnya menguap dan menghasilkan panas yang stabil," jelas Ferisu.
Pandai besi tampak terkejut. "T-tapi... itu membutuhkan teknik khusus, bukan?"
Ferisu mengangguk. "Benar, dan aku bisa mengajarkan cara kerjanya. Tapi begitu mekanisme dasarnya dibuat, kau hanya perlu memasangnya di kompor portabel. Dengan begitu, kau bisa menggunakan batu roh air sebagai bahan bakar alternatif yang lebih murah dan lebih mudah didapat dibandingkan batu roh api."
Pedagang itu langsung berseru, "Itu ide luar biasa! Batu roh air jauh lebih murah, dan pasarnya lebih besar jika ini berhasil!"
Pandai besi menggaruk kepalanya, masih tampak ragu. "Tapi pelanggan sudah memesan batu roh api. Jika mereka tahu aku menggunakan batu roh air, mereka bisa menolak pesanannya."
Ferisu tersenyum kecil. "Berikan opsi kepada mereka. Tawarkan kompor portabel dengan batu roh air sebagai alternatif. Beri diskon sedikit untuk percobaan pertama. Jika mereka puas, kau bisa membuka pasar baru dengan produk ini."
Kerumunan mulai berbisik, banyak yang mengangguk setuju dengan solusi Ferisu.
Pandai besi akhirnya menghela napas panjang, mengakui kehebatan Ferisu. "Baiklah, Ferisu-sama. Saya akan mencoba saran Anda. Kalau ini berhasil, saya akan berterima kasih seumur hidup."
"Ah, tapi batu sihir air itu lebih cepat habisnya. Kalau dibandingkan batu roh api mungkin setara tiga batu roh air untuk menggantikan satu batu roh api," jelas Ferisu.
"Saya mengerti, terima kasih Ferisu-sama," ungkap Pandai Besi.
Ferisu hanya mengangguk santai, lalu menyerahkan kembali batu roh air kepada pedagang. "Kalian bisa memulai kerja sama ini. Pastikan setiap kompor diuji dengan baik sebelum dijual. Meskipun kalian teman dekat, tetapi lain kali tolong buat surat resmi tentang barang yang dipesan agar kejadian ini tak terulang lagi."
Kerumunan bertepuk tangan lagi, memberikan pujian kepada Ferisu yang berhasil menyelesaikan dua masalah sekaligus.
Erica, yang berdiri agak di belakang, menatap Ferisu dengan sorot mata yang penuh teka-teki. "Bagaimana dia bisa tahu semua ini? Pangeran pemalas dan tak berguna? Hah, sepertinya ada lebih banyak yang dia sembunyikan."
Licia, di sisi lain, tampak tersenyum bangga. "Aku tahu dia berbeda," gumamnya pelan.
Ferisu hanya menatap ke langit sejenak, merasa lega masalah ini selesai. "Baiklah, kalau begitu, ayo kita lanjutkan jalan-jalannya," ujarnya sambil berbalik meninggalkan kerumunan yang masih memujinya.
raja sihir gitu lho 🤩