"Apa yang Dipisahkan Tuhan takkan pernah bisa disatukan oleh manusia. Begitu pula kita, antara lonceng yang menggema, dan adzan yang berkumandang."
- Ayana Bakrie -
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Venus Earthly Rose, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selasa 5 April 2016
Kata-kata Andra tentang masalah benci sungguh terdengar menyebalkan. Apalagi itu diucapkan olehnya. Membuatku sungguh kepikiran. Membayangkan wajah si kakak kelas itu membuatku marah. Namun aku cukup puas sudah membuatnya mimisan. Namanya Afrizal. Ketua kelasnya Duabelas MIPA Tiga.
Dia bilang, "Benci sama cinta itu beda tipis, hati-hati."
Apanya yang hati-hati? Bagaimana bisa dia langsung berkata seperti itu setelah aku menceritakan kejadian kemarin. Aku takkan punya hubungan seperti itu dengan Afrizal dan aku tidak mau.
Kelas kami segera bergosip setelah kejadian kemarin. Rasa benci yang ada pada kami kepada mereka sungguh sedang menggebu-gebu. Karena mereka ketua kelasku dihukum menyapu taman selama seminggu. Aku? Ya tentu saja aku dihukum hal yang sama. Pupus sudah impianku agar masa SMA ku bebas dari catatan BK. Mau bagaimana lagi. Aku tak tahan kemarin.
Yang aku tahu tentang Afrizal ini, dia ketua kelasnya. Dia siswa teladan dan populer, dia juga Ketua Rohis. Jika aku anggota Rohis, aku akan mengkudeta orang sepertinya. Bisa-bisa nanti organisasi yang ia pimpin akan hancur mengingat dia sangat licik. Dia tampan, kok. Namun Andra jauuuuuuuuuuh lebih tampan. Tidak ada yang harus diubah dari Andra. Sedangkan Afrizal, dia merupakan perwujudan ungkapan "Jangan menilai buku dari sampulnya! "
Aku serius. Salah satu temanku bercerita jika Afrizal memang punya reputasi buruk di kalangan siswa kelas sebelas. Tentu saja karena tingkah lakunya yang licik. Karena dia populer dan disukai para siswi, dia sering memanfaatkannya untuk kepentingan dan keuntungannya pribadi. Seketika aku ingat pada Brian. Bedanya Brian memang buaya, jika Afrizal ini memang murni memanfaatkan.
Di kalangan kelas duabelas, dia terkenal sebagai siswa paling teladan satu kabupaten. Dia punya hubungan yang baik dengan sesama teman seangkatannya. Para siswi dari berbagai kelas juga sangat mengidolakannya. Menyebalkan. Aku tak tahu apakah para siswi penggemarnya ini buta atau bagaimana. Mereka hanya terpaku pada kelebihan Afrizal, sedangkan mereka tutup mata pada tingkah lakunya yang luar biasa licik.
Setelah kelas kami bersitegang dengan kelas orang gila itu kemarin. Grup angkatan langsung heboh. Kelas dua belas dan para siswi penggemarnya tentu menyalahkan kami dengan berkata jika kami adalah adik kelas yang tidak tahu sopan santun. Sedangkan para siswa kelas sebelas membela kami. Dan yang paling ku cinta, kelas sepuluh, teman seangkatan ku, memberikan dukungan penuh kepada kami. Baik para siswa maupun siswinya. Ini terjadi mungkin karena para siswi kelas sepuluh belum mengenal dan belum terpesona kepada Afrizal. Jadi mereka bisa membuka mata mereka lebar-lebar tentang tingkah lakunya yang luar biasa itu. Selain itu, Afrizal juga bukan anggota OSIS, jadi kami yang notabene siswa-siswi baru tidak terlalu mengenalnya.
Sungguh, grup kelas kami dipenuhi kosa kata kebun binatang kemarin malam. Tepat setelah aku menulis diari, ponselku berdenting tiada henti. Semua teman sekelasku meluapkan semua kemarahan mereka di grup. Ajang pergosipan pun seketika dimulai. Mereka turut mendukung kami yang besok akan bertandang ke kandang lawan untuk hukuman dari BK. Seisi kelas ingin ikut ke sana menemani kami. Aku sungguh tersentuh.
Hari ini hari pertamaku dan ketua kelas menyapu taman. Taman yang letaknya di dekat kelas duabelas. Nama ketua kelasku ini Steven. Sungguh, Steven ini berhati lembut, penyayang, tak tegaan, pandai, dan rajin menabung. Dia bahkan menawarkan diri agar dia saja yang menyapu taman jadi aku tak perlu ikut. Tentu saja aku menolak. Aku tak ingin memanfaatkan kebaikan hatinya. Lagi pula, Guru BK kami ikut juga untuk mengawasi.
Saat kami tiba di taman saat jam pelajaran pertama dimulai. Bulu roma ku mulai meremang. Padahal matahari bersinar dengan cerah dan tak ada awan mendung. Namun aku kedinginan. Hawa dinginnya berasal dari belakang. Saat aku menengok ke belakang seketika aku menemukan asalnya. Para siswi yang menatap kami dengan tatapan membunuh dari pintu kelas Duabelas MIPA Tiga. Aku menoleh mereka dengan ramah dan tersenyum. Lalu mereka berseru jijik sambil masuk dan menutup pintu kelas mereka dengan keras.
Steven tertawa melihat tingkahku sedangkan Guru BK kami hanya menggeleng pelan sambil menyesap kopinya. Aku hanya mengedikkan bahu tak peduli. Aku tak takut apapun jika memang bukan aku yang salah. Aku tak peduli mereka membenciku. Aku tak suka disalahkan atas sesuatu yang bukan salahku. Aku masih sangat puas telah memukul Afrizal dengan bola voli kemarin. Jika diberi kesempatan, aku ingin mengulanginya lagi. Kali ini akan ku pukul lebih keras.
Sebenarnya tak banyak yang harus disapu karena sebelum kelas dimulai tadi, petugas kebersihan sudah menyapu taman terlebih dahulu. Namun harus ku akui, taman ini cukup luas. Baru beberapa menit saja aku sudah mulai berkeringat, padahal taman ini sejuk dan rindang.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Si Licik Afrizal sengaja berjalan ke arah kami sambil membawa beberapa kertas, menatap lurus ke Guru BK. Oh, dia ingin mengumpulkan tugas yang menjadi hukumannya. Menulis kalimat "saya bersalah" sebanyak dua ribu kali. Cepat juga si orang gila ini.
Iya. Seperti dugaanku. Seperti firasatku yang tidak enak saat melihat dia keluar dari kelasnya. Dia menutup lagi pintu kelasnya sambil menatap lurus ke arahku lalu mengarahkan pandangannya ke Steven. Bibirnya terkunci sempurna namun aku tahu dia sedang menahan amarah kepadaku. Seharusnya dia tidak menahannya. Ayo, pukul aku! Pukul perempuan! Nanti aku akan melancarkan aksi yang sama sepertimu waktu itu, pura-pura jadi korban.
Di depanku ada tong sampah yang isinya dedaunan kering yang sudah kami sapu. Dia dengan sengaja menabraknya hingga dedaunan itu tumpah dan kembali mengotori area yang sudah kami sapu. Dasar orang gila. Dia hanya pura-pura tersandung dan bilang maaf sambil berlalu. Dia bahkan hanya pura-pura meringis kesakitan saat Guru BK kami menjewer telinganya. Aku dan Steven hanya mematung tak percaya melihat kejadian itu. Tidak apa-apa, kami saling menguatkan. Baiklah rencana balas dendam dimulai.
Di semua bangunan sekolah kami, ada toiletnya di setiap lantai. Kelas kami akan memanfaatkannya sebagai sarana balas dendam kami. Aku, Steven, dan beberapa teman laki-laki ku yang akan mengeksekusi rencana tersebut. Rencana ini akan kami langsungkan setelah pulang sekolah.
Setiap hari Selasa, sekolah kami mengadakan ekstrakurikuler Karate. Afrizal si gila juga salah satu siswa yang mengikutinya. Dia dan teman-temannya yang sama menyebalkannya dengannya akan ganti baju di toilet. Berdasarkan kabar burung, mereka biasanya berganti baju di toilet lantai dua kelas duabelas.
Saat kami di area kelas duabelas aku bisa mendengar cemoohan dan sorakan tidak suka mereka terutama dari para siswinya. Bodo amat. Steven berpura-pura mengkonsultasikan salah satu materi pelajaran dengan Guru kami yang kebetulan juga mengajar kelas tersebut. Teman-teman laki-laki ku yang lain bertugas untuk mengamati kondisi setelah Afrizal dan temannya yang lain masuk. Sebenarnya aku ragu mau ikut masuk ke toilet laki-laki. Ini sesuatu yang tidak pantas dan sangat ku sesali, harusnya ku biarkan saja temanku yang lain yang melakukannya. Namun demi dendam, malah ku lakukan. Saat masuk ke ruangan toilet, ada beberapa wastafel dan kaca di sana, di hadapan wastafel tersebut ada empat bilik toilet yang berjejer. Kata salah satu temanku Afrizal masuk ke toilet urutan ketiga. Sedangkan toilet paling ujung, nomor empat, kosong.
Saat teman-teman ku memberikan aba-aba jika semua orang gila itu sudah masuk toilet kami seketika beraksi. Celana dan baju seragam mereka disampirkan ke pintu toilet yang tidak penuh membentuk ruangan hingga ke atas. Seharusnya aku tak ikut masuk ke sana. Ini kebodohanku sendiri. Setelah aku mengambil satu per satu seragam mereka dan memberikannya kepada temanku untuk disembunyikan, seketika orang-orang gila itu berteriak. Semua temanku berlari keluar toilet sedangkan aku segera masuk ke toilet nomor empat yang memang tak dikunci. Aku segera masuk dan menguncinya dari dalam. Takut ketahuan. Saat itulah aku seperti tersambar petir.
"Kamu ngapain?" Kata seseorang di belakangku. Dengan datar.
Aku segera menghadap ke sumber suara dan melotot. Afrizal ada di toilet nomor empat, bukan nomor tiga. Jadi aku masuk ke toilet yang sedang ditempati Afrizal. Alhamdulillah dia belum telanjang, masih menggunakan seragam sekolahnya namun beberapa kancing baju bagian atasnya sudah terbuka. Dasinya ia pegang di tangan kiri, sedangkan tangan kanannya memegang seragam karate. Apa-apaan ini? Arghhh, teman-temanku bukan pengintai yang baik!
Dia sama kagetnya denganku. Aku refleks akan berteriak dan dia dengan sigap menutup mulutku dengan tangannya. Aku terdiam seketika. Jari telunjuk tangannya yang lain ia letakkan di depan bibirnya, mengisyaratkan agar aku diam.
Dia kemudian berbisik, "Jangan bersuara! Teman-temanku keluar toilet semua! Kalau kamu bersuara nanti mereka tahu kamu di sini. Aku nggak mau kepergok berduaan sama kamu di dalam toilet! "
Aku ingin menghilang dari muka bumi!