Andai .... kata yang sering kali diucapkan di saat semua sudah berlalu. Di saat hal yang kita ingin gapain tersandung kenyataan dan takdir yang tidak bisa terelakan. Kadang aku berpikir andai saja waktu itu ibuku tidak meninggal, apakah aku masih bisa bersamanya? ataukah justru jika ibuku hidup kala itu aku bahkan tidak akan pernah dekat dengannya.
Ahhh ... mau bagaimana lagi, aku hanyalah sebuah wayang dari sang dalang maha kuasa. Mengikuti alur cerita tanpa tau akhirnya akan seperti apa.
Kini, aku hanya harus menikmati apa yang tertinggal dari masa-masa yang indah itu. Bukan berarti hari ini tidak indah, hanya saja hari akan terasa lebih cerah jika awan mendung itu sedikit saja pergi dari langitku yang tidak luas ini. Tapi setidaknya awan itu kadang melindungiku dari teriknya matahari yang mungkin saja membuatku terbakar. Hahaha lucu sekali. Aku bahkan kadang mencaci tapi selalu bersyukur atas apa yang aku caci dan aku sesali.
Hai, aku Ara. Mau tau kisahku seperti apa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamah Mput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perjodohan
Aku berdiri di depan cermin wastafel. Menatap diriku sendiri. Ternyata sangat berantakan. Perlahan aku mengambil sedikit air untuk membasuh mulutku. Lalu mencuci seluruh wajah. Begitu selesai, aku merapikan rambut yang juga berantakan.
Setelah semuanya rapi, aku berjalan mengambil tas lalu pergi ke pintu untuk keluar. Di saat yang bersamaan, Alan pun membuka pintu. Kini kami saling berhadapan, menatap satu sama lain untuk sejenak.
Alan merangsek masuk, dan aku terpaksa mundur beberapa langkah.
"Mau ke mana, sayang?"
"Pulang."
"Kerjaanku belum selesai, kamu tunggu beberapa jam lagi ya."
"Nggak, ah. Aku bosen di sini. pesenin aku taksi online aja."
"Ya udah, nanti Yoon yang anter kamu pulang."
Yoon? Kenapa sih dengan seenaknya dia nyuruh orang buat anterin aku pulang?
Ternyata Yoon gak ada di tempat, dia pergi entah kemana. Alan nampak bingung, mungkin dia bingung aku harus pulang dengan siapa.
"Kenapa harus bingung sih, Kak? Pesenin aku taksi online aja."
"Jangan, masa pake taksi."
"Ya gak apalah, memangnya kenapa? Udah sih, gak usah kayak yang pusing banget kayak gitu. Tinggal pesen taksi, selesai perkara."
"Kamu serius gak apa-apa?"
"Memangnya kenapa? Kakak sibuk kan?"
"Gak terlalu, cuma ada hal yang harus aku lakukan."
"Ya udah, terserah lah apapun itu. Yang pasti ara mau pulang. Gak mau pesenin taksi online, ya udah naik angkutan umum lainnya aja."
"Iya, tunggu sebentar ya."
Dia membuka layar ponselnya untuk memesan taksi. Setelah itu kami turun ke lantai bawah.
Saat di loby ada seseorang yang menghampiri. Wanita cantik dengan kursi roda yang didorong oleh pria bertubuh tegap dengan setelan jas serba hitam.
"Lan, adik kamu ya?"
"Iya."
Iya? tumben dia ngakuin aku sebagai adiknya.
"Kamu mau pulang?" tanyanya padaku.
"Iya, Kak."
"Dianter supir aku aja, Lan. Kamu gak bisa anter dia kan? Kita kan mau pergi."
Pergi? Jadi kak Alan mau pergi sama wanita ini, makanya gak bisa anterin aku pulang?
"Nggak apa-apa, aku sudah pesan taksi kok."
"Jangan, masa naik taksi? Pake mobil aku aja."
Wanita itu memaksa, dia meminta orang yang mendorong kursi rodanya memanggil supir. Tidak lama kemudian sebuah mobil datang.
"Ayo, masuk Ra." Alan mempersilahkan aku menaiki mobil itu.
"Nanti aku segera pulang setelah urusan selsai."
"Santai aja, Kak. Gak pulang juga gak apa-apa, kok. Biar aku bebas gak ada kakak sama Abang di rumah. Hahaha."
Wanita itu tertawa sambil memicingkan mata sebelah padaku.
"Tenang, Ra. Aku akan membawa kakak mu pergi cukup lama biar kamu bisa bebas," ujarnya seolah mendukung seorang adik yang ingin terlepas dari kekangan kakak nya. Dia bahkan tidak mengerti bahwa aku sedang menyindir Alan.
Hati ini benar-benar tidak tenang. Aku merasa sangat kesal dan marah. Dadaku rasanya bergejolak seperti air mendidih.
"Non, saya gak tau alamat rumahnya."
"Sama, Pak. Saya juga gak tau jalan ke rumah saya ke mana."
"Loh, kok bisa gitu?"
"Sebentar ya, Pak. Saya telpon teman saya dulu. Kami mau pergi nonton, nanti bapak anter ke temen saya aja. sebentar ya pak, sayang minta sharelok dulu sama dia."
"Oh, oke, Non."
Aku mencoba menelpon Ayumi. Rupanya dia sedang ada di rumahnya.
"Pak kita ke rumah temen saya aja."
"Baik, Non."
"Pak, yang tadi itu siapa ya? maksudnya bapak kerja sama siapa?"
"Loh, non memangnya gak kenal?"
"Nggak, Pak. Saya adik temen nya kakak cantik tadi. Ini pertemuan pertama kami, Pak."
"Owalah, seperti itu rupanya. Dia itu Non Angela."
Oh, itu toh Angela?
"Emm, maaf, Pak. Itu kenapa ya bisa di kursi roda begitu? Apa kecelakaan atau memang bawaan lahir?"
"Kecelakaan, Non. Katanya sih karena menyelamatkan pacarnya cuma sekarang udah jadi mantan."
"Hah, mantan? Kok tega banget sih udah diselamatkan tapi malah ninggalin?"
"Hahaha. Bukan ninggalin, lebih tepatnya non Angela yang meninggalkan. Katanya dia gak tega kalau sampai pacarnya harus ngurus dia yang cacat."
"Duh, ya. Baik banget kak Angela itu."
"Ini jangan bilang-bilang ya, Non. Sebenarnya awalnya mereka itu dijodohkan, bukan karena saling cinta. Makanya non Angela mundur karena merasa gak enak dan gak pantas."
"Oh begitu rupanya. Kasian ya kak Angela. padahal cantik banget loh dia."
Supir yang mengantarku itu tersenyum tapi seolah sedang meledek. entah karena apa.
Sebelum sampai ke rumah Ayumi, aku mampir ke toserba dulu untuk membawa camilan. Rencananya Hilda pun akan datang. Aku sudah membayangkan bagaimana serunya kami berkumpul nanti. Ini adalah pengalaman pertamaku. bermain ke rumah teman.
Setelah sampai aku takjub melihat rumah Ayumi. Ternyata dia bukan sekedar anak orang biasa. Rumahnya besar.
Aku menekan bel yang ada di depan pagar rumahnya.
"Non, saya tinggal dulu ya."
"Iya, Pak. Hati-hati di jalan. Sampaikan salam saya buat kak Angela."
"Baik, Non."
Setelah mobil itu pergi, di saat yang bersangkutan Ayumi keluar.
Kami berteriak histeris sambil berjingkrak kegirangan. Bagaimana tidak, ini pertama kalinya kami berkumpul bersama usai sekolah. Tidak berselang lama setelah aku dan Ayumi sampai di kamar, Hilda pun datang. Ayumi segera pergi keluar untuk menyambut kedatangan Hilda.
Dia pun tidak kalah histerisnya begitu kami semua berkumpul di dalam.
"Tumben banget Lo bisa keluar terus ngajak kita kumpul di sini."
"Iya, Da. Kebetulan orang tua gue gak ada, kedua kakak gue juga sibuk. Ya udah, gue ke sini aja dan kita bisa kumpul."
"Eh, gimana kalau kita pakai piyama aja. Gue ada lebih dari satu kebetulan. Ukuran kita gak jauh beda ini kan? Tunggu ya gue ambil dulu."
sungguh dadakan sekali, kami bertiga mengadakan pesta piyama.
Setelah memakai piyama, kami menggelar makanan dan minuman di atas meja pendek. Sementara Ayumi meminta kakak nya, Arden, untuk memasang infokus. Kami akan nonton bersama.
Aku sangat bahagia, benar-benar bahagia. Ternyata rasanya seperti ini kumpul bersama sahabat. Nonton, ngemil, sambil saling bercerita satu sama lain.
Drrttttttt. ponselku bergetar. Aku melihat ada nama Bryan di sana.
"Halo, Bang."
"Di mana, Dek? Udah sore tapi rumah masih sepi. Kamu sama kak Alan?"
"Enggak."
"Terus di mana?"
"Rumah temen."
"Ngapain?" tanyanya terkejut. "Kamu udah ijin sama kak Alan belum?"
"Belum."
"CK, kamu di mana sekarang? Biar Abang jemput."
"Gak mau, ah! Nanti dulu. Masih asik ini."
"Abang gak mau tahu, sharelok atau Abang kasih tau kakak kalau kamu gak ada di rumah."
Saat sedang berbicara dengan Bryan, panggilan lain masuk. Aku mematikan sambungan dengan Bryan, dan menerima panggilan dari Alan.
"Udah selesai? Kakak tunggu di depan."
"Di depan mana?"
"Rumah temen kamu."
Hah? Kok dia bisa tahu aku di rumah Ayumi?