NovelToon NovelToon
Menjemput Cahaya

Menjemput Cahaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Spiritual
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Lianali

SPESIAL RAMADHAN

Sekuel dari cerita Jual Diri Demi Keluarga.

Setelah melewati masa kelam yang penuh luka, Santi memutuskan untuk meninggalkan hidup lamanya dan mencari jalan menuju ketenangan. Pesantren menjadi tempat persinggahannya, tempat di mana ia berharap bisa kembali kepada Tuhannya.

Diperjalanan hijrahnya, ia menemukan pasangan hidupnya. Seorang pria yang ia harapkan mampu membimbingnya, ternyata Allah hadirkan sebagai penghapus dosanya di masa lalu.



**"Menjemput Cahaya"** adalah kisah tentang perjalanan batin, pengampunan, dan pencarian cahaya hidup. Mampukah Santi menemukan kedamaian yang selama ini ia cari? Dan siapa pria yang menjadi jodohnya? Dan mengapa pria itu sebagai penghapus dosanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15_Kunjungan Fahri

Di Pesantren Darussalam

Suara azan Zuhur berkumandang dari masjid utama pesantren, menggema ke seluruh penjuru. Para santri dan santriwati yang tadinya sibuk dengan kegiatan masing-masing segera beranjak, bersiap untuk melaksanakan salat Zuhur berjamaah. Beberapa dari mereka bergegas ke tempat wudu, sementara yang lain sudah merapikan mukena dan sarung, berjalan menuju masjid dengan tertib.

Di dalam masjid, jajaran santri membentuk saf yang rapi. Para santriwati berada di bagian belakang, dipisahkan oleh tirai sederhana. Pengurus pesantren, mulai dari ustaz, ustazah, hingga santri senior, juga turut serta dalam barisan, menunjukkan keteladanan kepada para santri yang lebih muda.

Suasana hening seketika saat iqamah dikumandangkan. Semua larut dalam kekhusyukan, berdiri tegap dengan hati yang tunduk dalam doa. Setelah rakaat demi rakaat ditunaikan, doa-doa dipanjatkan dengan penuh harap, meminta keberkahan dan kemudahan dalam menuntut ilmu.

Begitu salat selesai, para santri kembali ke aktivitas masing-masing. Beberapa melanjutkan mengaji, yang lain kembali ke kelas untuk mendalami kitab kuning, dan ada pula yang bertugas di dapur untuk membantu persiapan makan siang.

Di antara mereka, seorang santri bernama Nisa berjalan cepat menuju salah satu ruangan di asrama santriwati.

Santi tengah membereskan kamarnya, saat suara lembut memanggil namanya.

"Santi!"

Ia menoleh dan mendapati Nisa berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tenang. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Santi sedikit waspada.

"Iya, ada apa, Mbak Nisa?" tanyanya, menyandarkan sapu yang baru saja digunakan.

Nisa tersenyum tipis, "Bu Nyai Halimah memintaku untuk memanggilmu. Katanya, ada yang ingin menjenguk mu. Dan sekarang sudah menunggu di gazebo rumah Kiyai."

Santi mengernyit, "menjenguk?" tanyanya setengah tak percaya.

Selama ini, hampir tak pernah ada yang datang mencarinya. Adik-adiknya? Tidak mungkin. Mereka masih di pesantren dan tidak diizinkan keluar tanpa izin khusus. Lalu siapa?

Melihat kebingungan di wajah Santi, Nisa menimpali dengan lembut, "iya, ada yang menjenguk mu. Ayo, ikut denganku."

Santi mengangguk pelan, meskipun pikirannya terus bertanya-tanya. Ia merapikan barang-barangnya sejenak sebelum berjalan bersama Nisa menuju gazebo.

Langit siang ini cerah, meskipun angin masih terasa sejuk setelah hujan yang turun tadi subuh. Cahaya matahari yang menembus celah dedaunan menciptakan bayangan-bayangan kecil di tanah. Suasana pesantren selalu tenang seperti ini—nyaman, menyejukkan, dan jauh dari hiruk-pikuk dunia luar.

Gazebo yang dimaksud terletak di halaman rumah Kiyai Nasir. Bangunan kayu sederhana itu berdiri kokoh di antara pohon-pohon rindang. Angin berembus pelan, membuat dedaunan bergoyang perlahan. Tempat itu terasa teduh, seolah menyimpan ketenangan di dalamnya.

Namun, saat Santi tiba di sana, langkahnya terhenti seketika.

Di dalam gazebo, Kiyai Nasir duduk dengan tenang seperti biasa, mengenakan jubah putih bersih dengan sorot mata teduh yang selalu dipenuhi kebijaksanaan.

Namun, yang membuat Santi benar-benar diam di tempat adalah sosok lelaki yang tengah berbincang dengan Kiyai.

Fahri.

Lelaki itu mengenakan kemeja sederhana berwarna biru langit, dengan lengan tergulung hingga siku. Rambutnya tertata rapi, dan ada ketenangan yang khas dalam raut wajahnya.

Santi merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak tahu harus bagaimana.

Kiyai Nasir menyadari kehadirannya lebih dulu dan langsung menyambutnya dengan senyum hangat.

"Ah, Santi, sudah datang."

Fahri menoleh ke arahnya, dan mata mereka bertemu sesaat. Santi buru-buru menunduk, merasa dadanya semakin berdebar tak terkendali.

Fahri tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan sebagai sapaan.

Santi akhirnya melangkah masuk, meskipun kakinya terasa sedikit kaku. Ia duduk di hadapan mereka dengan sikap sopan, berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang.

Kiyai Nasir menghela napas kecil sebelum berbicara, "ini, Ustadz Fahri datang menjengukmu, Santi."

Santi melirik sekilas ke arah Fahri, kemudian kembali menunduk.

"Terima kasih, Ustadz," ujarnya pelan.

"Ya, sudah, kalian bisa mengobrol," kata Kiyai lagi, "yapi berhubung kalian bukan mahram, saya tetap akan mendampingi. Meskipun saya percaya pada Ustadz Fahri, tapi tetap saja agama melarang yang bukan mahram mengobrol berdua-duaan."

Kiyai Nasir menatap Fahri dengan lembut, "tidak apa-apa, kan, Ustadz Fahri?"

Fahri tersenyum kecil, "tentu saja, Kiyai. Tidak ada masalah untuk itu."

Sejenak, hanya suara angin yang berembus pelan di antara mereka.

Kemudian, Fahri membuka suara, "bagaimana kabarmu, Santi?"

Santi mengangkat kepalanya sedikit, lalu menjawab pelan, "Alhamdulillah sehat, Ustadz. Kalau Ustadz sendiri?"

"Alhamdulillah, sehat juga," jawab Fahri dengan nada santai.m, "saya ke sini hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Meskipun saya yakin, di sini kamu pasti baik-baik saja."

Santi meremas jemarinya di pangkuan, "seharusnya Ustadz tidak perlu repot-repot datang kalau hanya untuk memastikan saya baik-baik saja."

Fahri tersenyum tipis, "ah, tidak merepotkan, Santi. Lagipula, sekalian melepas rindu dengan Kiyai Nasir dan pesantren Darussalam ini."

Santi tidak menjawab, hanya mengangguk kecil.

Fahri kemudian merogoh tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar foto.

"Saya juga ingin menyampaikan kabar tentang adik-adikmu," ujarnya, "kamu tidak perlu khawatir, mereka baik-baik saja di pesantren Darul Hikmah. Minggu lalu saya baru saja menjenguk mereka. Ini, saya sengaja mencetak foto mereka untukmu."

Santi menatap foto-foto itu dengan tangan sedikit bergetar. Wajah adik-adiknya yang tersenyum menyapanya dari balik lembaran kertas. Matanya langsung berkaca-kaca, dan tanpa bisa ditahan, air mata mengalir di pipinya.

"Terima kasih banyak, Ustadz," bisiknya, "aaya sudah banyak merepotkan Ustadz..."

"Jangan berpikir begitu, Santi. Kamu tidak merepotkan saya. Dan saya tidak merasa kamu dan adik-adikmu merepotkan saya," ucap Fahri sambil tersenyum.

Sementara itu, dari kejauhan, di teras rumah Kiyai, Adam duduk sambil menyeruput teh. Namun, pikirannya tidak sedang menikmati minuman itu.

Tatapannya mengarah ke gazebo, tepat ke tempat di mana Fahri dan Santi sedang berbicara.

Bu Nyai Halimah, yang baru saja keluar dari dalam rumah, mengikuti arah pandangannya. Menyadari sesuatu, ia tersenyum samar sebelum bertanya, "sedang memperhatikan apa, Adam?"

Adam tidak langsung menjawab. Ia menaruh cangkir tehnya, lalu bertanya, "orang yang bersama Kiyai Nasir itu siapa, Bi?"

Bu Nyai melirik ke gazebo sebelum menjawab, "oh, itu Fahri. Yang waktu itu Bibi dan Paman ceritakan padamu. Orang yang membawa Santi ke sini."

Adam mengangguk pelan. Pandangannya tak lepas dari Santi yang masih memegang foto-foto adik-adiknya dengan ekspresi emosional.

"Mereka terlihat akrab, ya, Bi?" gumamnya pelan.

Bu Nyai tersenyum kecil, "ya, begitulah. Ustadz Fahri memang dikenal baik dan dermawan. Banyak karyawannya yang ia sekolahkan. Santi salah satu orang yang beruntung bertemu dengannya."

Adam terdiam.

Entah kenapa, dadanya terasa sedikit sesak melihat pemandangan itu.

Di kejauhan, Santi masih menunduk, mengusap air matanya dengan ujung kerudungnya.

Fahri terdiam sejenak, memperhatikan Santi yang masih sibuk mengusap air matanya dengan ujung kerudung.

Setelah beberapa saat, Fahri merogoh saku kemejanya, mengeluarkan sebuah amplop putih. Ia menggenggamnya sejenak sebelum akhirnya menyodorkannya ke arah Santi.

"Oh ya, Santi," ujar Fahri dengan suara tenang, "ini ada sedikit rezeki untukmu. Maaf tadi saya tidak sempat membeli bingkisan. Soalnya tadi pagi hujan terus, dan di kota sedikit macet. Sebagai gantinya, saya berikan ini saja."

Santi menatap amplop itu dengan ragu. Ia belum langsung menerimanya, melainkan mengalihkan pandangannya ke arah Fahri, mencari kepastian dalam sorot matanya.

"Saya tidak tahu apakah ada sesuatu yang kamu butuhkan di sini," lanjut Fahri, "jadi lebih baik kamu yang menentukan sendiri. Silakan gunakan uang ini untuk membeli apa yang kamu mau, atau untuk memenuhi kebutuhanmu di sini."

Santi menatap amplop itu sekali lagi sebelum menggeleng pelan, "tidak perlu, Ustadz," ujarnya dengan suara lembut, tetapi tegas, "terima kasih banyak, tapi di sini semua kebutuhan saya sudah ditanggung. Saya tidak butuh uang ini Ustadz. Sekali lagi terimakasih banyak Ustad."

Senyum tipis menghiasi wajahnya, menunjukkan ketulusan dalam penolakannya.

Fahri menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil. Namun, ia tetap tidak menarik kembali amplop itu.

"Tidak baik menolak rezeki, Santi," katanya lembut, "terimalah. Saya benar-benar ikhlas."

Santi masih tampak ragu. Jemarinya saling meremas di pangkuannya, seolah sedang berusaha menahan sesuatu.

Melihat ekspresi Santi yang masih bimbang, Kiyai Nasir yang sejak tadi memperhatikan akhirnya ikut berbicara.

"Nak Santi," ujar beliau dengan suara lembut, tetapi penuh kebijaksanaan, "kadang, menerima kebaikan dari orang lain juga merupakan bagian dari adab. Jika Ustadz Fahri memberikan ini dengan niat baik, maka tidak ada salahnya menerimanya. Apalagi, kita tidak pernah tahu kapan kita akan benar-benar membutuhkan sesuatu."

Santi menggigit bibirnya pelan. Ia merasa sangat tidak enakan kepada Fahri, orang yang semulanya begitu asing baginya, tapi begitu perduli kepada dirinya dan adik-adiknya.

Setelah beberapa saat, akhirnya ia mengulurkan tangannya, mengambil amplop itu dengan gerakan pelan.

"Baiklah, Ustadz," ujarnya lirih. "Saya terima. Terima kasih banyak."

Fahri tersenyum tipis, "bagus. Jangan pikirkan terlalu banyak. Anggap saja ini titipan dari Allah melalui saya. Pesan saya hanya satu, kamu harus belajar dengan sungguh-sungguh di sini. Niatkan semua karena Allah. Timba ilmu sebanyak-banyaknya di Pesantren Darussalam ini."

Santi mengangguk dengan semangat, "pasti Ustadz, pasti saya akan mengingat terus pesan Ustadz. Pasti," jawabnya teguh.

Di kejauhan, Adam masih duduk di teras rumah Kiyai, memperhatikan mereka dengan tatapan yang sulit ditebak.

1
Susi Akbarini
kalao suka halalin aja..
jgn asal nyosor..
bahaya donk..
kan udah jadi ustad..
😀😀😀❤❤❤❤❤
Susi Akbarini
sayang di pesantren gak ada cctv..

myngkin saja ada yg lihat mereka lagi ambil vairan pel atau saat nuang di lantai..
❤❤❤❤❤
Susi Akbarini
kalo suka ama santi..
halalin aja.

😀😀😀❤❤❤❤
Susi Akbarini
adam terciduk..
😀😀😀❤❤❤❤❤
Diana Dwiari
bakal ketahuan ga ya.....
Lianali
cerita yang penuh makna.
Susi Akbarini
Adam ..
dingin..
menghanyutkan..

❤❤❤❤❤❤😉
Susi Akbarini
sebagai mantan penikmat wanita.

pasti Adam.paham Santi punya daya tarik pemikat..

mudah2an..
Adam.mau halalin Santi lebih dulu...
❤❤❤❤❤
Susi Akbarini
oalah..
mudah2an karena sama2 pendosa..
jadi sama2 mau neryonat dan menyayangi..
❤❤❤❤❤
Susi Akbarini
tatapan Adam seperti menginginkan Santi..
Santi jadi gak kuat..
😀😀😀❤😉❤
Susi Akbarini
mungkin Adam ada rasa ama Santi.

atau jgn2 Dam pernah tau Santi sblm mereka ktmu di bus.

mungkinkah hanya Adam yg tulus mau nikahi Santi..
mengingat ibu Adam kan udah meninggal.. .
jadi gak ada yg ngelarang seperti ibu Fahri..
❤❤❤❤❤❤
Diana Dwiari
ada yang panas nih.....
Diana Dwiari
ah.....jangan2 Ros adalah gadis yg diinginkan fahri
0v¥
kenapa klo fahri ama santi, kenapa umi nya fahri tidak setuju, jgn karena masa lalunya santi kelam, semua dimata Allah sama klo benar 2 mau tobat di jalan Allah,
Susi Akbarini
duuhhhhh....
jadi penasarannn...
siapa akhirnya jodoh Santi..
❤❤❤❤❤❤
Susi Akbarini
waduuuhhhh..
saingan terberat Santi datang..
😀😀❤❤❤❤
Susi Akbarini
berasa nonton film ayat2 cinta..
😀😀😀❤❤❤❤
Susi Akbarini
Adam
Susi Akbarini
mungkinkah mereka berjodoh???
❤❤❤❤❤
Susi Akbarini
bukan orang baik yg bagaimna?
jadi penasarannn..
❤❤❤❤❤❤
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!